BIARKAN IA LEKANG (1)

Ada satu titik cahaya nun jauh disana. Seperti satu bintang yang bercahaya di gelapnya semesta. Tiba-tiba, bintang itu membesar dan terus membesar, seolah-olah menubrukku. Hey, ada apa ini? Dimana aku?
”Mae, untung kamu sudah sadar!” Teriakkan itu yang pertama kudengar ketika otakku masih sibuk menerka-nerka tentang keberadaanku. Bahkan, mataku masih mengerjap-kerjap, tengah berusaha menyesuaikan ribuan partikel cahaya yang berseliweran.
Wajah Ina yang pertama kali hadir dihadapanku. Berikut peralatan aneh yang melingkupi sekujur tubuhku, pun ditempat yang aneh. Gemuruh koloni-koloni manusia bergerombol di ruangan yang tengah kutempati seperti dengungan lebah.
”Aku di...dimana, Ina?” Tanyaku lemah.
”Kamu di rumah sakit, Mae.” Ujar Ina.
”Rumah sakit?!” Tanyaku terperanjat. Sungguh, ini semua mengherankan. Bagaimana bisa aku berada di rumah sakit? ”Bagaimana mungkin?” Aku berusaha bangkit dari ranjang serba putih.
”Stt..., Mae, kamu gak boleh bangun. Kata dokternya kamu harus ’beres’” Ina menahan tubuhku agar tetap diam.
”Beres? Beres ngapain, Na?” Otakku malah harus bekerja keras memahami maksud kalimat Ina. Padahal, aku sendiri tak mengerti bagaimana aku sampai berada disini. Apalagi rumah sakit. Memangnya aku kenapa?
”Pokoknya harus ”beres” gitu deh kata dokter.” Ina berusaha menjelaskan.
”Apanya yang beres, Na? Uang perawatan disini?”
”Bukan ah! Itu tuh, yang harus istirahat terus di tempat tidur. Pokoknya gak boleh jalan-jalan. Bolehnya Cuma ditempat tidur.”
”Oh,...itu bedrest namanya Ina.” aku pernah mendengar istilah ini di tivi.
”Ya gitu deh...”
”tapi, bagaimana bisa aku sampai di rumah sakit, Na?”
”Wah, kamu pasti lupa ya Mae. Tadi, waktu kita lagi kerja, tiba-tiba kamu pingsan. Ya udah, kami bawa kerumah sakit deh...”
Kucoba mengingat-ingat kejadian yang diceritakan Ina. Ah, iya! Aku baru ingat. Tadi, aku sedang tak enak badan. Demamku naik turun dan badanku terasa sangat pegal-pegal. Tapi, kupaksain pergi kerja. Yah, mau gimana lagi? Kalo’ gak kerja, gimana bisa makan? Dan setelah itu, aku benar-benar tak tahu lagi apa yang terjadi dengan diriku.
”Makasih ya Na udah nganterin aku.” Kutatap gadis lugu, rekan kerjaku itu. Seorang gadis desa yang tak tamat SMP yang benar-benar sangat polos dan apa adanya. Seulas senyum menghiasi bibir kering gadis berponi dengan rambut sebahu yang dikepang dua itu. Lalu, perlahan dia mengangguk.
”Na, gak kerja?”
”Aku dah minta ijin tadi.”
”Oh...gitu.” Aku mengangguk-angguk. ”Eh, yuk kita pulang. Aku mau kerja lagi!” Aku mencoba bangkit.
”Tidak Mae! Sudah kubilang kamu harus ’beres’, eh...maksudku... eng....apa tadi? Bedrest ya?? Iya, kamu harus bedrest!”
”Tapi aku udah gak pa-pa. Liat! Seger kan?” Aku berusaha bangkit dan menampakkan wajah sesegar mungkin. Tapi,...tiba-tiba.....,”Hueee..k.” Lontong yang kutelan tadi pagi sebelum kerja tiba-tiba berhamburan keluar. Tergopoh-gopoh Ina mernyodorkan kantong plastik hitam. Aroma gulai yang amis bercampur zat-zat lain yang sebelumnya berdomisili di lambungku kini berpindah ke kantong hitam yang disodorkan Ina. Gadis itu segera menggosok punggungku hingga adegan yang sangat menyiksa itu berakhir. Oh, betapa melelahkannya.
”Tuh kan, apa kubilang?? Kamu tuh harus ’beres’ eh...bedrest!” Aku tersenyum kecut. Sungguh, adegan barusan cukup menguras begitu banyak tenagaku. Sebab, kalau boleh jujur, aku paling benci dengan sesuatu yang bernama muntah.
”sebentar lagi, kita ke bangsal penyakit dalam. Kamu di rawatnya disana.”
”Emangnya ini dimana?”
”IGD katanya. Aku juga gak ngerti. Tuh, Delima yang ngurusin. Maknya kan pernah dirawat disini.”
”Oo...” Kupejamkan mata. Baru aku sadari betapa sangat lelahnya tubuhku. Bagaikan sebungkus tulang dan daging yang tergelatak begitu saja. Tanpa tenaga. Tanpa daya. Dengan sisa-sisa tenaga, kumencoba berdamai dengan lelah. Hingga, kurasakan ranjang serba putih yang kutempati seperti bergerak, entah kemana, aku tak tahu. Samar kulihat wajah Ina dan Delima, lalu beberapa orang berpakaian serba putih tengah mendorongku, berikut ranjangku ketempat yang aku tak tahu. Mungkin bangsal penyakit dalam, seperti yang dibilang Ina.
* * * * *
Suasana hening ditingkahi siulan jangkrik. Seperti tak mau kalah, beberapa ekor nyamuk pun ikut bernyanyi, berdengung, dan berhasil membangunkanku dari tidur panjang yang sama sekali tak indah. Perasaan tak enak dan seperti ingin muntah kembali menyergapku. Perutku sangat lapar, tapi, nafsu makanku seperti menguap begitu saja.
Kusapu seluruh ruangan dengan pandanganku yang berkunang-kunang dan buram. Di pinggir ranjangku, Ina terlelap dengan posisi duduk dan kepalanya tertelungkup persis disisi badan kerempengku yang tergeletak pasrah. Dengkuran berirama tak beraturan seperti menciptakan melodi tersendiri yang membuat hatiku teriris pilu. Ah Ina, pasti kamu sangat kecape’an.
”Ya Allah.... kumohon, sembuhkanlah orang-orang yang sakit di rumah sakit ini semuanya!” Teriakkan itu tiba-tiba menyentakkanku. Beberapa orang menggeliat, merasa tidurnya terganggu. Tapi kemudian, mereka terlelap lagi.
”Ya Allah! Kumohooo...n!” Teriaknya lagi. Suara itu kini lebih keras. Persis disebelah kanan ranjangku. Seorang wanita muda terilah terisak-isak disana. Tangannya tengadah. Seperti berdo’a. Aku dibuatnya merinding.
”Sudahlah Wati, sudahlah....” seorang wanita setengah baya menghampirinya dengan wajah sangat mengantuk. Wanita itu mengelus bahu sang gadis penuh kasih sayang.
”Tidak Tante. Aku pengin berdo’a.”
”Iya, tapi kamu harus istirahat, sayang.”
”aku pengin berdo’a Tante. Lihat..., Allah pasti akan mengabulkan do’aku!” tiba-tiba dari bibirnya yang ranum menyeringai tawa.
*******
Ada sepuluh orang pengisi bangsal penyakit dalam ini. Di pojok sana, namanya Buk Sani, katanya terkena lever. Kalo’ yang dipojok sebelah kanan, namanya Dini, mahasiswa.


(be continued)

1 comment:

  1. "ud'uniy fastajiblakum...Hihihi...betul ga ni...salam kenal...ana temannya beni..blog uni diperkenalkan dengan meriahnya malam tadi oleh dia...^_^

    ReplyDelete

Feel free to accept your comment. Spam comment will be deleted and blocked