KESETIMBANGAN REAKSI ITU TERJADI PADA HATI KITA

”Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kamu kepada sesuatu yang memberi penghidupan kepadamu, dan sesungguhnya Allah membatasi antara manusia dan hatinya dan sesungguhnya kepada-Nyalah kamu akan dikumpulkan” (Qs. Al Anfaal [8] : 24)

A + B (reaktan)---> C (product)


Saudaraku, barangkali telah akrab ditelinga kita tentang adanya reaksi kimia dan kesetimbangan reaksi kimia tersebut. Yah, suatu reaktan yang bereaksi akan menghasilkan produk, dan kerap kali untuk mencapai suatu reaksi harus melewati suatu energi aktivasi.

Suatu reaksi yang bersifat refersibel (bolak balik) akan sangat gampang dipengaruhi oleh gaya luar. Pengaruh itu meliputi konsentrasi, suhu, volume, dan tekanan. Saudaraku, ketika salah satunya ditingkatkan, maka akan terjadi pergeseran reaksi hingga kembali dicapai titik setimbang. Jika konsentrasi reaktan ditingkatkan, maka reaksi akan bergeser kearah produk, sehingga tercipta kembali kondisi yang setimbang. Begitu pula halnya jika suhu, tekanan, dan volume ditingkatkan. Masing-masingnya akan mempengaruhi kesetimbangan rekasi kimia.

Saudaraku, demikian pula halnya dengan hati kita. Hati dalam bahasa arab disebut qalb. Secara etimologi, qalb artinya bolak-balik. Artinya, hati adalah sesuatu yang tidak konsisten, sangat gampang diberi pengaruh.

Hati berfungsi untuk memahami ayat-ayat Allah yang terhampar dipermukaan semseta dan termaktub dalam mu’jizat terbesar Rasululla SAW. Yah, karena hati itu sifatnya sensitif, maka seyogyanya dengan hati itu sendiri manusia dapat memahami ayat-ayat-Nya. Dan hati akan selalu diikuti oleh pendengaran, dan penglihatan.

”maka, apakah mereka tidak berjalan dimuka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar? Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta ialah hati yang di dalam dada.” (Qs. Al Hajj[22] : 46)

Apapun pengaruh yang diberikan kepada hati, maka ia pasti akan mempengaruhi hati itu. Dari ayat diatas sudah sangat jelas, bahwa yang buta itu ternyata bukan mata sebagai indra, tapi adalah mata hati manusia itu sendiri.

Jika hati senantiasa terpapar zat toksik bernama dosa, maka hati itu akan teroksidasi sehingga yang tersisa adalah karat-karat hitam yang menutupi hati itu sendiri. Secara alami, sesuai dengan sunnatullahnya, segala sesuatu yang teroksidasi pasti meninggalkan karat. Pun demikian halnya dengan hati. Karat itu menutupi mata hati, dan mengalangi masuknya cahaya ilahi. Hingga sensitifitas hati itu menjadi berkurang dan tak lagi bisa membedakan mana yang baik dan buruk. Tak ada lagi bashirah imaniyah.
”Allah telah mengunci mati hati dan pendengaran mereka, dan penglihatan mereka ditutup. Dan bagi mereka siksa yang amat berat (Qs. Al Baqarah [2] : 7)

Sebaliknya, ketika hati itu diberi pengaruh baik, seperti berkumpul dengan orang-orang shaleh, mentadabburi ayat-ayat Allah, dan amalan-amalan lain yang meningkatkan afinitas ruhiyah, maka kesetimbangannnya bergeser ke arah kebaikan.

Sungguh berkumpul dengan orang-orang yang memiliki ruhiyah bagus itu sedikit banyaknya akan mempengaruhi ruh yang lainnya. Sebab, suatu hati atau ruh itu benar-benar sangat sensitif dan akan mengalami kesetimbangan terus-menerus. Jika diisi maksiat, maka titik hitam bernoda itu akan memberikan kesetimbangan dan sedikit lebih bergeser ke arah kemaksiatan. Dia akan menimbulkan kekeruhan yang membuat hati kelam secara perlahan. Begitupun sebaliknya. Jika dibarengi dengan sesuatu yang meningkatkan afinitas ruhi meskipun hanya bertemu dengan orang-orang yang memiliki energi ruhi yang bagus saja telah memberikan kesetimbangan ke arah kebaikan, apalagi dibarengi dengan saling menyemangati, saling mengingatkan.

Saudaraku, sungguh hati itu benda yang amat-amat sensitif. Tapi, tak sedikit juga yang tak lagi mengacuhkan sensitifitas hati tersebut. Bersyukurlah ketika kita masih dikaruniakan-Nya sensitifitas hati tersebut. Sensitifitas yang gampang mengalami kesetimbangan, sehingga sedikit saja ada noda, akan langsung mengirimkan signal kepada kita, bahwa telah terjadi pergeseran rekasi ke arah keburukan. Sensitifitas hati akan menjadi reminder dikala kita lupa. Sungguh, sebuah rasa bersalah, sebuah rasa tak enak ketika kita melakukan suatu keburukan itu akan menjadi pengingat bagi kita. Jangan pernah abaikan bisikan-bisikan hati ini, sebab, jika kita mengabaikannya, bisa jadi syetan mengambil celah untuk membuat kita terlena sehingga tak lagi mengacuhkan panggilan-panggilan hati tersebut. Sehingga kita menjadi kebal dengan panggilan-[anggilan hati ini. Kita tetap saja berbuat dosa meskipun hati telah mengingatkan, maka justru ini semua yang membuat hati itu menjadi kelam. Sudah menjadi sunnatullahnya, segala sesuatu akan melakukan adaptasi terhadap lingkungannya. Pun begitu halnya dengan hati. Jika ia terus-menerus diabaikan, diapun akan berorientasi sehingga kita tak lagi peka terhadap peringatan-peringatan dari hati kita. Dan, inilah hati orang-orang yang tertutup, hati yang tidak lagi sensitif dengan maksiat. Ia telah beradaptasi dengan maksiat sehingga apapun kebaikan takkan sanggup menembusnya.


Sungguh, sensitifitas hati itu akan menurunkan Energi aktivasi. Energi aktivasi adalah besarnya energi agar suatu reaksi dapat berjalan sempurna. Lihatlah, ketika sensitifitas hati itu tak ada, maka puncak Ea (energi aktivasi) lebih besar sehingga reaksi sulit berjalan, sehingga tak ada lagi reminder kepada diri kita untuk segera menghentikannya. Berbeda dengan orang yang memiliki sensitifitas hati, dengan Ea yang kecil, dia sudah dapat bereaksi menjadi reminder bagi diri kita.
Saudaraku, sungguh antara kita dan hati kita sendiri ada hijab. Bukankah Allah telah membatasi antara manusia dengan hatinya? Maka, semoga hati kita adalah hati yang senantiasa diarahkannya kepada kebaikan. Semoga kita termasuk orang-orang yang masih sensitif hatinya terhadap kemaksiatan sehingga ketika sedikit saja terkontaminasi, telah memberi ”alert” terhadap diri kita. Semoga hati kita bukanlah hati yang tidak lagi peka, dan sudah beradaptasi dengan maksiat sehingga karatnya semakin menutupi dan menghalangi cahaya masuk ke hati. Na’udzubillah...

Yaa muqallibal quluub, tsabit qalbii ’alaa diinik wa tho’aatik. Wahai Dzat yang membolak-balikkan hati, tetapkanlah hati ini atas agama-Mu dan atas ketaatan kepada-Mu.”

0 Comment:

Post a Comment

Feel free to accept your comment. Spam comment will be deleted and blocked