Aku dan Rel Kereta

Setiap orang mungkin memiliki kebiasaan unik yang berbeda dengan orang lain. Atau, entah hipotesaku salah? Hihi... Aku sendiri sebenarnya punya beberapa kebiasaan unik di wisma dulunya yang sering 'dikritisi' temen-temen. Hehe, anggap saja itu the unique of Fathel. Hahaha. Salah satu kebiasaan itu adalah, aku terbiasa mengenakan kaos kaki terlebih dahulu sebelum mengenakan jilbab. Hihi... Kata teman-teman, itu adalah hal yang aneh, secara memasang kaos kaki seharusnya menjadi urutan terakhir dalam runtutan episode berpakaian (halaah, pake episode segala!) tepat ketika mau berangkat saja, sebelum memakai sepatu atau sendal. Tapi, aku memang sudah terbiasa, yaa memang sulit juga ngerubahnya. Hehe...

Nah, salah satu kebiasaan lainnya adalah, aku terbiasa melintasi palang kereta ketika palang jalan itu sudah diturunkan. Artinya, sebenarnya sudah ada palang melintangi jalan pertanda akan ada kereta lewat. Dan aku, selalu menyeruak di bawah palang itu, dan mengambil posisi satu langkah di depan palang. Dan itu, masih jauh dari rel kereta. Sekitar 3-4 meter. Kebiasaanku menyeruak di bawah palang ini juga sebenarnya sudah berlaku semenjak dulu, dan tak pernah satu kali pun bapak-bapak penjaga palangnya berkomentar. Alasannya sebenarnya adalah aku malas saja berdiri di samping para motor dan para mobil, nda tahan asapnya. Udah gitu ada yang ngerokok juga. Selain itu, biar aku bisa langsung jalan begitu palang diangkat, karna kalo aku berdiri di belakang palang, aku akan saingan dengan pengendara motor, dan mereka pasti lebih cepat! Jadi, memilih posisi satu langkah di depan palang adalah posisi terbaik menurutku.

Tapi, berbeda dengan sore ini. Sepulang dari ITC Depok, aku dan Nany mendapati palang kereta sudah diturunkan. Seperti biasa, aku langsung mengambil posisi dengan menyeruak di balik palang. Tapi tak dinyana, aku diteriaki (bahkan di-sumpah-serapah-i) oleh segerombol (mungkin) pemulung (entah buruh).
"Woi! Ada kereta yang lewat tuh!"
"Tunggu neeng!" Teriak bapak di seberang.
"Maen serobot aja Lo!"
"X%(*^%%$#...."
"$^&*)#@^&*(..."
Dan seabrek kata-kata kasar lainnya yang memang sengaja tak aku tuliskan. Heh? Ngapain juga mereka harus berkata kasar? Pun kalo aku ketabrak kereta, memangnya ada urusannya dengan mereka? Nda perlu berkata kasar juga kaaan? Sangat mengherankan! Entah karena mereka dibesarkan di lingkungan yang memang terbiasa dengan sumpah serapah, jadi kata-kata kasar dianggap biasa, atau entah bagaimana.

Lagian, alhamdulillaah aku masih normal ko, dan juga tidak niat menabrakkan diri di kereta. Siapa sih yang mau menabrakkan diri ke kereta? Siapa sih orang normal yang mau melintasi rel ketika kereta lewat? Aku kan hanya melintasi palang dan berdiri satu langkah di depannya yang jarak ke kereta masih 4 meteran. Wong  kalo berdiri di peron ajah jarak ke kereta nda nyampe setengah meter juga nda papa ko. Aku juga sadar dengan sesadar-sadarnya bahwa akan ada kereta lewat. Ko pada sewot ajah siih??? Heuu....

Tapi, aku mencoba diam aja. Nda ada gunanya juga perang mulut ama tuh bapak-bapak buruh. Malah Nany yang geram banget. Hehe. Tapi, biarlah. Anggap saja mereka orang-orang yang memang sangat peduli sama aku dan ndak rela membiarkan aku sedikitpun berjalan menuju rel. Anggap saja mereka memang sangat care sama aku kan yah?! Kalo saja mereka tak peduli, mereka nda mungkin tereak-tereak begitu, dan mungkin mikirnya gini, "biarin ajah tu orang kelindes kereta. Emang gue pikirin. Anak bukan emak bukan. Bukan siapa-siapa. Nda ngerugiin gue juga." Justru karena mereka pedulilah makanya mereka berteriak-teriak begitu--meski dengan kata-kata yang memang tak enak didengar telinga. Ya, mencoba berpikiran positif saja sama bapak-bapak itu. Semoga niat baik mereka buat ngingetin aku dibalasi kebaikan oleh Allah.

Ijinkan aku memetik pelajaran dari peristiwa ini. Bahwasannya, pertama, tidak semua maksud kita (bahkan maksud baik sekalipun) dipahami baik dan dipahami sama oleh orang lain. Maka, sebaliknya, jangan langsung men-judge sesuatu yang dilakukan orang lain salah sebelum kita benar-benar mengetahui maksud sebenarnya di balik tindakan seseorang itu. Jangan sampai, dugaan dan prasangka kita dikedepankan sehingga langsung menyalahkan tindakan orang lain yang belum tentu juga salah (ini nasihat terutama untuk diri sendiri yang begitu spontaneus menilai! Makanya Fathel, sediakan seluas-luasnya ruang husnudzon sebelum kamu mengetahui dengan sejelas-jelasnya maksud orang lain itu). Pelajaran kedua, ketika kita mencoba menjadi orang-orang yang berbeda dari kebanyakan orang-orang, maka bersiaplah menuai banyak suara dari berbagai lini. Tapi, sepahit dan seberat apapun, tetaplah berada di baseline-baseline kebenaran! (ini ngucepinnya mah gampang tapi ngelaksanainnya susaah pisaaan!). Di jaman serba edan begini, pemimpin baik adalah hal yang langka. Nda korupsi adalah hal langka. Ketika seorang berada di lingkungan yang serba korupsi lalu ada satu orang yang bertahan untuk tidak korup, biasanya pilihannya hanya dua, kalo nda merasa tersingkir dan terasing (plus berbagai cemooh, caci maki, de es be), kalo nda yaa disingkirkan. Kebanyakn yang terjadi kan begitu yaa? Maka penting sekali sebenarnya kita MEMBIASAKAN yang BENAR, bukan MEMBENARKAN yang BIASA! Biar kita dan bangsa kita tak lagi membenarkan korupsi karena sudah terbiasa. Mari biasakan yang benar!

Siip...
Mari kembali Berbenah Fathel!
Semangaaaaaaaattt!

2 comments:

  1. hehehe..., kaus kaki duluan ya, hmmm... berdiri di dalam palang kereta api.... dari dua hal ini pun kita bisa memetik pelajaran; makasih banyak ya, Mbak. Yang jelas, betapa penting membiasakan yang benar, bukan sebaliknya.

    ReplyDelete
  2. @ mahabbah : hehe, iyaaa...siipp, spakatttt.... :)

    ReplyDelete

Feel free to accept your comment. Spam comment will be deleted and blocked