Titik saturasi!
Yah, jenuh. Aku benar-benar mencapai titik jenuh. Jenuh atas semua ini. Tolong jelaskan padaku, apa yang harus aku lakukan. Ini sama saja dengan menyuruhku melarutkan segelas gula dalam segelas air. Sampai dunia kiamat pun takkan pernah larut. Lalu, akan kunamakan apa lagi semua ini?
Aku jenuh atas ketidakbiasaan ini. Aku jenuh menjadi makhluk asing di rumahku sendiri. Aku jenuh dengan atmosfir kehidupan yang sama sekali tak lagi sama. Aku kehilangan semuanya. Aku kehilangan Kak Faiz, juga Rhian. Tak ada lagi Kak Faiz dan Rhian yang dulu.
”Maaa..., Ian mau mandiii. Mandiin yaaa...” Satu wajah cute dan innocent muncul di balik daun pintu kayu jati. Teriakan kecil itu semakin membuat saturasi yang mengendap di otakku jadi mengkristal. Membatu. Beku.
”Mandi sendiri sana!” Usirku galak.
”Ih...Mamaaa...” Bocah tiga tahun itu mengkerut. ”Mama jahat!” Teriaknya, lalu berlari meninggalkanku. Di kondisi seperti ini, kedar emosiku memang sangat meningkat tajam.
Tiba-tiba aku tersadar atas kesalahan fatalku. Ya ampun, bahkan Rhian turut menjadi korban. Padahal, aku baru saja sedang berusaha membangun hubungan baik dengan pangeran kecilku itu. Mencoba terbiasa dengan perubahan. Mencoba berdamai dengan keadaan. Lantas, apa yang barusan kulakukan? Oh my God! Segera kususul langkah kecilnya yang berlari meninggalkanku.
”Iaan..., di mana kamu sayang? Iaan....” Kupanggil namanya. Tak ada sahutan.
”Iaaaa...n.” Panggilku lagi.
Tiba-tiba,
”Mbak Ina! Ayo, kita maen pelang-pelangan.” Terdengar teriakan cadel dari arah kamar mandi. Lalu terdengar guyuran-guyuran air. Suara itu makin ribut dan makin ribut, ditingkahi teriakan dan suara tawa.
Huh! Perempuan itu lagi! Dasar sumber petaka! Kehadirannya di rumah ini sudah cukup membuat aku terguncang! Dasar penghacur rumah tangga orang lain. Tak tahu diri! Sejak kedatangnnya suasana rumah ini menjadi sangat aneh. Membuatku seperti alien nyasar di bumi, padahal aku adalah ratu di rumah ini. Dia? Siapa dia!? Hanya seorang pembantu rumah tangga. Sekali lagi kubilang, PEMBANTU! Arghhh…! Ini benar-benar sangat menyebalkan.
”Grrhh....” Sosok mungil itu keluar dengan menggigil. Disusul kemudian dengan satu sosok lainnya yang menunduk takut-takut.
”Ngapain aja kamu sama Rhian di dalam?” Tanyaku ketus.
”Eng...anu Bu, mandiin Rhian.” wajahnya semakin dilipat.
”Kenapa sampai teriak-teriak gitu?”
”Mama kok malah cih?? Kan Cuma maen pelang-pelangan...” Rhian ikut membela. Bahkan anakku lebih berpihak padanya!
”Ian, sini mama pasangin baju. Kamu, cepet ke belakang sana!” Usirku sambil menarik lengan Rhian.
”Permisi,Bu.” gadis itu berlalu dengan takut-takut.
”Mama kok malah cama Mbak Ina? Kan Mbak Ina gak calah!” Protes pangeran kecilku itu.
”Rhian sayang, kamu tahu gak?” Aku mencoba melunak. Meredakan emosi yang sudah sampai di puncak ubun-ubun.
”Enggak!” Jawabnya polos.
”Maen guyur-guyuran itu gak baek.”
”Emangnya kenapa, Ma?”
”Nanti airnya masuk ke telinga. Telinga kamu bisa infeksi.”
”Incek..fi? incekfi tuh apaan, Ma?”
Ups, aku lupa kalau aku bukan tengah berbicara dengan relasi bisnis. Tapi, dengan anak usia tiga tahun yang kritis, sangat suka protes dan sangat suka bertanya. Sang pangeran kecilku yang cerdas.
”Infeksi, sayang.” Ralatku, membuat kening wajah tampan itu berkerut. ”Maksudnya, entar kalo’ masuk air, telinganya jadi bau, sakit, dan bernanah. Gak mau kan?” Aku selesai memasangkan piyama untuk pangeran kecilku.
”Gak mauu...” Rhian menggeleng ngeri. Kuulaskan sebingkai senyum untuk permataku yang tampan itu. Sungguh, seperti ada ribuan mil jarak yang memisahkan kami, hingga aku seperti tak mengenal sosok cerdas itu lagi. Dia bukan orang lain, tapi anakku! Sosok yang deminya kupertaruhkan nyawa. Tapi, sungguh, ada yang hilang!
”Eh, Mama...Ian maunya pake baju koko.”
”Kenapa baju koko sayang?” Tanyaku heran. Bahkan aku tak terbiasa dengan permintaannya ini.
”Kan mau ke mesjid. Ian udah janji cama Papa.” ke Mesjid? Sejak kapan kebiasaan ini berlaku? Mau tak mau, kuikuti jua permintaan pangeran kecilku itu.
Dengan gaya eksekutif muda, Rhian mematut dirinya di depan kaca. Lalu, mulai berkacak pinggang. Aku dibuatnya gemas. Dan, ini semua berhasil membuat kejenuhanku sedikit menguap, berganti ketidakmengertian. Ah, pangeran kecilku yang cerdas dan tampan!
”Ma, cuklon ya...” Katanya kemudian dengan wajah ceria.
”Cuklon? Apaan tuh sayang?” istilah apa lagi ini?
”Cuklon itu artinya makaciih.” terangnya seperti seorang guru kepada murid.”Ian pegi dulu Ma,...Calamu’alaikum.” Langkah-langkah kecilnya meninggalkanku. Aneh! Aku benar-benar dibuatnya heran. Aku seperti murid kelas satu SD yang sedang belajar kalkulus. Sunggu-sungguh tak mengerti.
Beberapa saat kemudian satu sosok juga berbaju koko memasuki kamar, tempat di mana aku terpaku saat ini. Kamar yang kukunjungi hanya ketika pulang dari kantor untuk menciumi si tampan Rhian dan menyelimutkannya, atau ketika pagi-pagi, sebelum berangkat kerja, ketika pangeran kecilku itu masih terlelap. Sosok itu mengulum senyum teduh.
”Mama, mau ikut tidak? Jarang-jarang loh, liat Mama pulang maghrib begini.” tawar sosok itu. Aku bengong. Asli.
”Eng...” otakku sedang sibuk mencerna, ada apa ini sebenarnya?
”Ayolah Mamaa, ikut yuu...k” Sosok yang berada di belakangnya ikut merajuk.
”Eng...emm..., Mama di rumah aja ya sayang?”
”Yaaah..., cayang cekaleee..”
”Ya udah. Yuk Ma, kami berangkat dulu. Eh jangan bengong terus donk, kayak sapi ompong tuh.” Sosok itu mencoba bercanda. Canda yang sesungguhnya kurindu. Sudah sangat lama sekali. Aku hanya mengangguk saja, sembari melempar senyum.
Ah, Kak Faiz. Benarkah perubahan itu adalah suatu keniscayaan? Bukankah ia adalah suatu yang nisbi? Kalaupun iya, apakah harus secepat ini? Sungguh, aku tak siap dengan kejutan-kejutan ini. Tak siap dengan jalan kita yang tak lagi linear! Seperti tak lagi bersisian.
”Gimana kalo’ Dek Lia gak usah kerja aja? Kan udah ada Rhian.” Tawarnya suatu hari, jauh sebelum aku menyadari perubahan ini. Aku terbelalak kaget mendengar permintaannya waktu itu.
”Apa? Kak Faiz pasti bercanda ya?”
”Ini serius Dek.”
”Masalahnya, sayang banget Kak. Karir Lia kan lagi menanjak? Kita sudah punya begitu banyak relasi bisnis. Perusahaan kita Cimanggis sudah buka cabang.”
”Lalu, kompensasinya kamu harus pergi pagi pulang malam, begitu?”
”Yahh...itu kan sudah konsekuensi, Kak. Lagian, Rhian itu anak yang cerdas. Dia punya daya tangkap yang tinggi. Tidak salah kalau dia masuk les dan sekolah. Itu baik untuk perkembangan otaknya.”
”Justru itu tidak baik untuk perkembangannya. Rhian tak hanya harus cerdas secara intelektual, tapi pribadinya, agamanya, emosinya, semuanya. Dia butuh figur seorang ibu. Lagian, penghasilan Kakak sudah jauh lebih dari cukup, Dek. Buat apa semua harta dunia itu?”
”Aduh, gimana ya Kak?! Dunia bisnis adalah impian Lia sejak dulu. Masak sih harus dilepas begitu saja? Masalah Rhian, gampanglah! Lia udah konsul dengan banyak psikolog mengenai masalah pendidikan anak. Lia juga sudah meng-hunting berbagai referensi di buku-buku parenting, majalah, dan di internet. Apa itu masih kurang?”
”Percuma saja referensi sehebat apapun kalau gak ada aplikasinya. Pagi-pagi kamu sudah pergi. Lalu pulangnya sudah malam. Kapan kamu punya waktu untuk Rhian?”
”Kan hari minggu Lia selalu full untuk Rhian.”
”Tak cukup hanya dengan satu hari saja, Dek. Pun hari minggu itu kamu masih sering kerja. Jarang sekali kamu punya waktu. Iya kan?” Aku tak menjawab. ”Dek, anak itu butuh teladan. Ibu adalah sekolah pertama bagi anak-anaknya. Akan jadi apa Rhian nantinya kalau Adek hampir-hampir tak punya waktu untuk dia?”
Perbincangan itu seperti mengambang begitu saja. Tak ada penyelesaian. Aku tetap dengan pendirianku. Pun juga beliau. Aku sesungguhnya heran dengan permintaan itu. Sangat berbeda sekali dengan Kak Faiz yang dulu kukenal pertama kali ketika sama-sama menjadi pengurus Badan Eksekutif Mahasiswa di almamater kami. Kak Faiz yang seorang mentri di kabinet lembaga yang cukup bergengsi di tataran kampus dulunya, tentu akan sangat mengerti betapa loyalnya aku terhadap organisasi. Betapa aku hanya akan menjadi pesakitan jika harus berdiam diri di dalam rumah. Tapi sekarang??
Hingga, suatu hari, tak lebih berselang dua bulan setelah itu, lagi-lagi ada kejutan darinya. Tiba-tiba Kak Faiz yang dulunya sangat anti dengan pembantu karena telah dikecewakan beberapa kali dan mengumumkan tidak akan pernah lagi mengangkat pembatu, tiba-tiba ingin mengangkat seorang pembantu untuk Rhian. Meskipun Kak Faiz tak pernah membahasakannya pembantu. Tapi, tetap saja pembantu kan?
”Sarinah itu anaknya santun, Dek. Gak neko-neko. Dia tamat SMA dan pernah mondok dulunya. Masih keluarga jauh Kakak. Dan yang baru Kakak tau, ternyata dia saudara sepersusuan Kakak. Dahulu, ibu kakak sakit sehabis melahirkan Kakak. Masnya Sarinah yang seumuran dengan Kakak akhirnya harus berebut air susu ibunya karena beliau menawarkan air susunya untuk Kakak.” Kak Faiz mencoba berargumen waktu itu. ”Kalau Dek Lia memang belum bisa berhenti dari pekerjaan, akan lebih baik rasanya kalau kita meminta Sarinah untuk membantu kita menjaga Rhian. Apa kamu mau, Rhian dikasih obat tidur terus sama pembantu-pembantu kita dulunya itu, biar Rhian gak bawel? Atau, apa kamu masih bisa berlapang dada dengan pembantu yang pemalas yang kerjanya selalu nonton gosip? Atau kamu mau, Rhian dititipkan terus diberbagai tempat yang katanya les dan sekolah diusianya yang masih tiga tahun?”
“Apa?! ini tidak adil, Kak! Pokoknya Lia tidak setuju!”
”Kamu tetap harus setuju!”
”Lia tidak mau! Bukankah sekolah, les, dan semacamnya itu sudah cukup untuk menjaga Rhian?”
”Setuju tak setuju, saya akan tetap meminta Sarinah.”
”Kakak egois!”
”Kamu yang egois!”
Hal yang aku takutkan itu terjadi. Petaka itu datang ketika perempuan kampungan dengan pakaian aneh itu hadir di rumah kami. Perempuan berikut dengan pakaian serba longgar dan jilbab yang panjang. Bagaimana mungkin aku bisa menerima ini semua? Sedang untuk menerima keputusan Kak Faiz secepat ini aku sesungguhnya tak siap, apalagi perempuan itu adalah perempuan yang sangat tak biasa. Bukankah aku paling anti dengan perempuan macam begituan? Aku tidak bisa menerima begitu saja kehadiran seorang perempuan yang selama ini teman-teman sejawatnya habis kucaci-maki. Kolot. Kampungan. Gak bisa berdandan atau sedikit lebih modis. Dan mungkin saja pengikut aliran sesat. Jangan-jangan dia ingin meracuni fikiran Rhian, lagi!
Tapi, bagaimana pula aku hendak menentang keputusan Kak Faiz? Aku sudah terlalu mengerti dengan karakternya yang keras kepala. Hitam baginya hitam dan putih baginya putih. Jika dia sudah bilang putih, siapa yang sanggup merubahnya jadi hitam? Lagian, aku tak ingin terus-terusan bertengkar dan adu argumen dengannya.
Oh, adakah yang lebih menyiksa dari ini semua? Adakah yang lebih menjemukan dari ini semua? Tolong, tolong beri tahu aku.
”’Amma ya tacaaa aluun. ’aninnabail ’ajiim. Allajiii hum fii hii muktalipuun. Kalla caya’lamuuu..n. ” Suara cadel Rhian membuyarkan lamunanku. Aku tersentak. Membaca apa pangeran kecilku itu? Serta merta aku keluar dari peraduanku. Yah, lagi-lagi kamar! Tempat persembunyian paling ampuh.
”Membaca apa sayang?” Tanyaku? Oo...oww, rupanya permataku sedang belajar Al-qur’an. Ya ampuu..n, apakah ini kebiasaan baru juga?? Bahkan aku tidak tahu bahwasannya yang tengah dibaca Rhian itu adalah bagian dari ayat-ayat yang ada dalam Al-Qur’an kalau saja tidak melihat langsung dia memegang kitab itu.
”Mama udah colat?” Rhian mengalihkan perhatian dari hafalan Al-Qur’annya. Aku tersentak! Bahkan Rhian mengingatkan aku untuk sholat. Sementara sosok berpakaian koko putih yang tengah bersama Rhian itu seperti membiarkan saja aku terkejut dengan bingkai senyumnya yang terkulum.
”Eh..., astaga...belum.” Dari tadi aku terlalu asyik melamun hingga tak menyadari putraku itu sudah kembali dari mesjid. Dan sholat? Boro-boro! Ah, sungguh betapa sering dengan entengnya aku meninggalkannya, dengan tanpa rasa berdosa. Bagiku, ibadah toh hanyalah di mesjid saja. Kehidupan dunia dan ibadah itu kan berbeda. Kalau memang sama dan sejalan, gak mungkin kan di kitab suci tertulis kata dunia dan akhirat yang terpisah?
”Mama, enggak boleh bilang astaga. Kan enggak ada altinya. Kata Mbak Ina, bilangnya astakfilullah...”
”Astaghfirullah sayang. Bukan astakfilullah...” Ralat sosok yang dari tadi hanya menyaksikan aku digurui oleh anak umur tiga tahun.
”Iya.... gitu dee. Mama cepet colat yaa. Ental, dengelin Ian ngaji ya Ma. Mama kan pulangnya malam telus. Enggak pelnah liyat Ian ngaji. Iya kan Ma?”
Dug! Kalau bukan anakku, tentulah aku sudah mencubitnya. Seorang Yulia, top maneger diberbagai perusahaan berkelas, yang kiprahnya sudah skala nasional, lulusan terbaik fakultas ekonomi universitas nomor satu di Indonesia dengan predikat cumlaude, tiba-tiba diajari anak kecil.
Persaanku benar-benar tak menentu. Sungguh aku tak dapat mendefinisikan entah bernama rasa apa yang kini bersemayam di bilik dadaku. Malu. Kesal. Heran. Marah. Ah, entah apa lagi. Semuanya seperti menjadi satu membentuk godam yang siap menghantam kepalaku kapan saja. Aku seperti makhluk paling goblok sedunia. Di mana letak harga diriku? Menguap. Menyublim.
”Dek, subhanallah. Lihat! Rhian sudah nyaris hafal surat-surat di juz 30. An-Naba’, An-Nazi’at, ’Abasa,...semuanya.” Kak Faiz berkata dengan wajah sumringah ketika kupaksa menyeret langkah ke ruang tengah itu setelah menunaikan perintah pengeran kecilku yang benar-benar asing dimataku. Setidaknya saat ini. ”Tau gak, Dek? Gimana Rhian bisa hafal?” Masih dengan semangat yang sama Kak Faiz bercerita. Aku hanya menggeleng kecut.
”Sarinah itu ternyata sudah hafal sepuluh Juz waktu dia mondok dulunya. Sambil membereskan rumah, dia menghidupkan kaset murattal juz 30. Dan itu terus berulang-ulang. Eh, gak taunya ternyata memori Rhian merekam semua itu. Sama seperti ketika pembantu kita yang dulu ngidupin kaset dangdut. Ingat gak, Rhian juga sampai hafal lagu dangdut karena keseringan dengar kaset dangdut. Kakak bahkan sampai takjub lho, Dek. Dan, satu hal lagi, Rhian juga hafal begitu banyak do’a-do’a. Yang Adek bilang emang benar. Rhian memang anak yang cerdas. Semua berkat Sarinah yang telah ngajarin Rhian. Ah, beruntung yaa... kita meminta Sarinah sebagai pengasuh Rhian. Coba aja kalau yang ngajarin Rhian banyak hal kayak gitu adalah Dek Lia, pasti akan lebih baik lagi.”
Blarrr!!!
Seperti dismbar petir. Kata-kata Kak Faiz seperti listrik voltase tinggi yang siap menyentakkanku dengan sengatannya. Aku seperti tersentuh pagar kawat yang mengandung muatan listrik itu. Sakit. Perih. Dan, sudah terakumulasi.
”Kenapa sih Kak, Sarinah melulu? Dari kemaren-kemaren Kakak selalu saja membanding-bandingkan Sarinah dengan aku! Aku terlalu jelek di mata Kakak!” Aku meledak. Sesungguhnya aku tak dapat lagi menyusun huruf agar menemukan padanan kata yang tepat untuk mewakili nama rasa yang berkecamuk dihariku. Air mata. Marah. Kecewa. Kesal.
”Lho, kenapa Dek Lia marah? Seharusnya bangga dong!”
”Kak Faiz tidak mengerti!” cetusku. Segera kutinggalkan sosok yang terbengong-bengong itu. Tak kuhiraukan lagi wajah tak enak dan rasa bersalah perempuan brengsek yang tengah mengajari Rhian hafalan ayat sholat itu. Semuanya sungguh menyebalkan!
***
Di kamar, aku tergugu. Kutumpahruahkan semuanya. Sudah cukup rasanya aku bertahan dengan rasa aneh tak bernama ini, dengan perubahan drastis yang terjadi di rumah ini setelah kedatangan perempuan itu. Tentang perubahan Kak Faiz yang semakin membuatku tak mengenal sosoknya, dengan sikap kritis Rhian yang sering memojokkanku, dengan semuanya! Benar-benar mencapai titik saturasi.
”Maa, kok enggak pake jib..lab kayak Mbak Ina?? Jiblab itu kan bagus, Ma.” perkataan Rhian beberapa hari yang lalu, ketika aku mengantarkannya tidur, seperti hadir begitu saja tanpa kucegah. Bahkan, bibirku kelu untuk menjawab pertanyaannya itu. Jilbab seperti Sarinah, perempuan kolot itu? Oh no!
”Maa, tidul yuk. Tapi, kata Mbak Ina, halus baca do’a dulu. Bacain dong Maa..” Ini ujarnya di lain kesempatan. Otakku seperti diperas untuk mengingat do’a ketika hendak tidur. Walhasil, tetap saja aku tak berhasil me-recall memori do’a akan tidur itu. Sebab, sudah lama sekali aku tak membacanya. Sudah sangat lama.
”Maa do’anya gini loh, pertama baca kul huwallahu ahad dulu. Abis tu, kul’audzubilabbil falaq tiga kali. Telus, kul ’audzublabbinnas tiga kali. Baru baca do’anya. Gitu Ma.... yuk mama, kita baca cama-cama.”
Aku merasa menjadi orang paling tolol sedunia dihadapan Rhian. Bahkan, semua orang boleh mengklaim aku idiot. Bodoh. Dungu. Entahlah. Aku capek . Sungguh. Capek aku mengarikan dan mecoba berdamai dengan semua ini. Mungkin esok. Atau lusa.
Syakuro, Jumadil Awwal 1429 H
“special for my Madrasatul ‘ula”
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 Comment:
Post a Comment
Feel free to accept your comment. Spam comment will be deleted and blocked