Carikan Mozaik

“Ng..ng…emm…brmmm…” Gumaman tak jelas keluar dari mulut mungil Iza. Tak ayal, gumaman itu cukup membuat kepalaku tertoleh pada tubuh mungil yang tengah beringsut di ruang tengah. Ruang itu telah dibuatnya berantakan. Tangannya sibuk meraih model huruf-huruf berwarna-warni berbahan dasar plastik. Kuteruskan pekerjaan mengupas bawang yang sempat terpenggal sejenak. Setidaknya, dari dapur ini aku masih bisa mengawasinya.

Tiba-tiba,

Brakk!

Terdengar seperti sesuatu yang jatuh. Aku terkesiap. Segera kutinggalkan goreng ikan yang sedang kumasak dan berlari ke ruang tengah. Ya Allah!

”Izaa....” Panggilku panik. Tubuh mungil itu kini dipenuhi tumpukan buku-buku. Segera kuselamatkan gadis kecilku itu. Tumpukan buku yang menindihnya kembali kutaruh di atas meja. Aku sangat ceroboh menaruhnya terlalu dekat dengan pinggiran meja. Pasti dia sudah mengacak-acaknya.

”Izaa..., tidak boleh ya. Nanti, kalau bukunya jatuh lagi menimpa Iza, kan sakit.” Terangku padanya. Rupanya ia sedang mengamuk. Meraih segala sesuatu dan berusaha memukulkannya ke mana pun ia bisa. Wajahnya memerah. Jika dia sudah mengamuk, tak ada satu barang pun yang aman darinya.

”Iza kenapa sayang?” Kucoba mencari matanya. Tapi, tak sedikit pun mata bundar dengan cahaya yang berpendar itu membalas tatapanku. ”Iza marah ya? Sama siapa? Sama Bunda?” Kupegang kedua bahunya lembut.

Barangkali sia-sia saja jika aku berharap untuk disahut. Betapa pun sangat rindunya aku dipanggil ”bunda” oleh malaikat kecilku itu. Sebab, hanya gumaman yang tak jelas yang keluar dari mulut mungilnya. Hanya itu. Tak lebih.

”Ng..ng...,grrrhhh...” Iza masih saja mengamuk dan berusaha melepaskan diri dariku. Lalu melempar semua mainan yang dipunyainya ke mana pun dia bisa. Aku benar-benar dibuatnya panik. Badannya yang sangat bongsor tak sanggup kutahan. Sungguh, aku dibuatnya kelelahan.

”Iza, hayo, bilang ke Bunda, Iza kenapa? Ayo sayang.” Aku mencoba menenangkannya. Segera kuambil kartu ”ekspresi” yang berada dalam map binder tersusun bersama tumpukan buku-buku. Sebuah PECS (Picture excange communication system). Kuarahkan padanya ekspresi wajah orang senyum –meski aku tahu itu bukan ekspresi yang tepat-- tapi, sungguh aku ingin ’mentitrasi’ saja. Gadis kecilku itu menggeleng segera. Respon yang membuatku tersenyum, lega. Kuacungkan ekspresi murung. Lagi-lagi menggeleng. Lalu, ekspresi marah. Gadis kecilku itu mengangguk cepat. Lagi-lagi, sungguh ada kebahagiaan lain yang menyeruak di bilik hatiku. Sungguh, ini semua telah cukup membuatku bangga. Bangga yang tentu bukan apa-apanya bagi ibu lainnya. Dan, kalau aku boleh menamakannya, ini adalah anugrah dari Allah atas usaha panjang kami yang melelahkan.

”Kenapa sayang?” Tanyaku. Mencoba mengulas senyum. Tangan kecilnya serabutan memilih kartu-kartu dalam map binder yang berisikan gambal, simbol, dan foto. Koleksi gambar itu tidak hanya mewakili kata benda melainkan juga emosi dan perasaan. Tangan Iza mengambil satu gambar kucing.

”Ohh..., Iza sebel sama kucing ya?”

Belum selesai kubercakap –lebih tepatnya berkomunikasi-- dengan malaikat kecilku itu, tiba-tiba aroma sesuatu memenuhi ruangan. Ada asap hitam dari arah dapur. Ya Allah, gorenganku! Cepat-cepat kuberlari ke arah dapur. Fiuff..., oh melelahkannya.

***

Hari ini hari ibu. Dua puluh dua desember. Terkadang, aku ingin bertanya, apa hadiah yang diinginkan oleh seorang ibu di hari yang bersejarah ini? Kado? Diajak jalan-jalan? Atau hanya sekedar untaian puisi pertanda sayang? Entahlah. Barangkali tak ada yang bisa kuharapkan dari malaikat kecilku itu. Tak ada. Untuk apa aku berharap?

Siang yang terik, ketika jutaan para ibu lainnya mungkin sedang merayakan hari istimewa ini bersama anak-anaknya, aku malah berada di pinggiran kolam renang khusus untuk anak-anak. Iza sangat suka berenang. Aku biarkan saja ia berbahagia dengan pelampung berbentuk bebek berwarna orange itu. Wajahnya benar-benar sumringah ketika menciduk cairan bening itu. Aku berani melepasnya sendiri sebab siang ini cukup sepi.

Di tempat duduk yang tersedia di pinggiran kolam, aku tercenung. Menatapi tubuh mungil itu dengan warna rasa yang tak dapat kudefinisikan. Kalau boleh, ingin rasanya aku meratapi nasibnya.

Dahulu, dulu sekali masih lekang di ingatanku betapa besar mimpiku untuk menjadi sekolah pertama bagi anakku. Jauh sebelum akad sakral itu terucap, semua buku-buku yang berkaitan dengan mendidik anak dan dunia parenting telah kulahap habis-habisan. Alasannya sederhana saja, aku ingin jadi ibu dengan persiapan. Tidak hanya learning by doing. Bukan sekedar punya anak lalu membesarkannya tanpa ada sesuatu yang berarti yang ingin kuhadirkan.

Masih segar di ingatanku betapa dengan penuh semangat kutulis di papan organizerku tentang cita-cita besarku untuk menjadikan anak-anakku generasi Rabbani, anak-anak cerdas yang insya Allah akan menjawab tantangan masa depan umat, calon pemimpin masa depan, sosok yang berilmu, sosok yang ditunggu kedatangannya. Betapa aku sadar dengan sesadar-sadarnya, bahwa untuk mempersiapkan itu semua tak cukup dengan mata kuliah dua SKS. Tak cukup hanya dengan persiapan sesaat. Sebab, jika ingin memperbaiki bangsa, maka yang harus perbaiki terlebih dahulu adalah kaum ibunya. Karena itu, kupandangkan tekad dengan begitu kukuh.

Dan masa itu pun datang. Masa di mana aku diamanahkan-Nya sebagai seorang ibu. Tak terkira bahagiaku kala itu. Kembali kususun draft dan masterplan tentang apa saja yang harus kupersiapkan. Persiapan fisik, tentu saja. Aku tak mau kekurangan gizi dan asupan zat-zat penting membuatnya bodoh dan cacat. Persiapan ruhiyah dan kejiwaan, sangat penting. Ini adalah bagian yang paling esensial bagiku. Sebab, sebagai sekolah pertama bagi anak, tentulah aku akan menjadi contoh ikutannya. Lalu, tak ketinggalan info-info yang berkaitan dengan itu. Tentu saja. Percuma saja berbuat tanpa ilmu, bukan?

Waktu pun berlari begitu kencangnya yang terkadang membuatku begitu tertatih mengikutinya. Tak ada kecurigaan sedikit pun ketika aku mengamati perkembangan Iza, anak pertama –yang mungkin sekaligus menjadi anak terakhirku sebab pasca melahirkannya, rahimku diangkat karena kista di mulutnya—yang cendrung lebih lamban dari teman sebayanya. Sementara Rahmah, anak tetanggaku yang usianya hanya berselisih tiga hari dengan Iza sudah demikian pesat perkembangannya. Umur satu tahun, dia sudah berlari dengan kencang dan mulai mengucapkan sau persatu kata-kata. Iza di umur yang sama belum bisa apa-apa. Hanya bisa tidur di box bayinya. Kalau terjadi sesuatu padanya, dia hanya menangis, mengamuk, atau menceracau tanpa kutahu maknanya.

Pada awalnya, aku mengira ini semua hanya perkembangan alamiah yang tidak menimbulkan masalah. Barangkali saja anakku memang lebih progresif dibandingkan yang lain. Aku membiarkan saja dia berkembang dengan sendirinya, sembari memberikan suplemen ASI yang cukup. Namun, di tahun kedua, belum ada perubahan yang begitu signifikan terhadap tumbuh kembangnya. Lain dengan anak tetanggaku yang bahkan sudah bisa berkomunikasi dengan orang sekelilingnya.

Ketika aku mengkomunikasikan masalah ini kepada Uda Faiz, suamiku yang sedang bertugas di sebuah perusahaan kayu di Kalimantan, beliau hanya mengatakan ”Tidak usah terlalu dipikirkan Fa’. Insya Allah, lambat laun Iza akan berkembang dengan baik.” Walau aku cukup tenang dengan pernyataan Uda Faiz, tapi, sungguh ada kekhawatiran besar yang menggelayuti persendian batinku. Naluri keibuanku tetap mengatakan ada sesuatu yang tidak beres.

Hatiku semakin kisut ketika menyaksikan Rahmah sudah bisa sedikit-sedikit membaca. Dia mulai hafal beberapa do’a, menyebutkan angka dari satu sampai sepuluh dalam bahasa arab dan inggris. Berbeda sekali dengan Iza. Aku benar-benar curiga, ada sesuatu yang tidak beres dengan anakku. Sampai umur tiga tahun pun dia belum bisa berbahasa dengan baik, bahkan hanya untuk menyebutkan kata ”bunda”. Ia tak acuh dengan perintah sederhana yang kukatakan padanya meskipun sudah sangat sering kuulang-ulang. Yang paling menyedihkan lagi, dia tak pernah mau menatapku setiap aku berbicara padanya. Dia seperti punya dunia sendiri.

Hingga kemudian kucoba membawanya ke berbagai tempat yang dianjurkan banyak orang. Mulai dari dokter anak, psikiater, pengobatan alternatif, psikolog anak. Semuanya sudah kucoba. Pada akhirnya, aku benar-benar harus terhenyak dengan kenyataan yang harus kuhadapi. Kenyataan yang sedikit pun tak pernah terlintas dalam alam pikiranku. Kenyataan yang membuat langit di atas kepalaku seakan mau runtuh menimpaku. Kaki yang menopang tubuhku seperti sangat goyah untuk menyangga tubuh ini. Aku harus menerima kenyataan itu, bahwa anak semata wayangku salah satu penderita autisme. Yah, gangguan perkembangan yang menyangkut interaksi sosial, perilaku, dan bahasa para penyandangnya. Sebuah penyakit gangguan sistem syaraf/neurologi kompleks yang membutuhkan penanganan intensif, seumur hidup!

Buyar sudah semua cita-citaku. Buyar sudah impianku untuk menjadi seorang madrasatul ‘ula bagi seorang calon pengusung peradaban. Buyar sudah keinginanku untuk menjadikannya bintang cerdas yang bersinar cemerlang. Mimpi-mimpiku itu telah mengalami dilatasi yang begitu jauh. Sungguh jauh! Berharap dia bisa menguasai sepuluh kata sehari saja sudah menjadi impian bagiku saat itu. Sangat jauh dari obsesiku yang kutulis beberapa tahun sebelumnya, ketika aku sangat menginginkan anak yang cerdas yang barangkali sudah hafal juz ‘amma di umurnya yang tiga tahun. Atau, sudah dapat bercakap-cakap bahasa Inggris di umurnya yang masih dini. Semua seperti carikan mozaik yang tak bersesuaian. Aku sudah sangat capek untuk mencocokannya. Sungguh.

Perjalanan hidupku bersama Iza selanjutnya adalah perjuangan yang sangat melelahkan. Ditambah lagi, Uda Faiz sangat jarang sekali pulang karena jarak Kalimantan-Sumatera Barat itu sangat memakan biaya besar dan waktu yang lama. Uda Faiz harus naik kapal berhari-hari untuk sampai di sini. Ongkos pesawat di kala itu benar-benar tak terjangkau oleh kami. Kami bersepakat, lebih baik biaya pulang yang tiga kali setahun dialihkan saja menjadi dua kali atau bahkan sekali setahun saja untuk menambah biaya pengobatan Iza. Mengurus kepindahan pun sangat sulit. Aku sendiri tidak bisa lagi intens mengajar di semua sekolah menengah swasta karena harus intensif merawat Iza. Satu-satunya sumber dana utama memang dari kiriman Uda Faiz. Kadang-kadang, juga dari honorku menulis.

Memasuki tahun ketujuh usia Iza, belum ada perubahan yang berarti. Aku potang-panting ke sana-kemari mencari jalan. Bertanya kepada banyak orang. Mencoba melenyapkan fakta tentang banyaknya mata yang menatap iba kepada Iza. Berbagai upaya kulakukan. Mencari berbagai referensi di mana pun termasuk di dunia cyber. Apalagi, di kota kecil bernama Solok belum begitu populer pengobatan dan sekolah khusus anak autis. Aku harus bolak-balik ke Padang untuk melakukan terapi Iza setiap bulannya. Itu semua butuh dana yang tidak sedikit. Hingga seorang kenalan memberitahuku mengenai sistem komunikasi PECS (Picture excange communication system). Setidaknya, dengan usaha yang panjang dan sangat melelahkan ini akhirnya sedikit banyak aku bisa berkomunikasi dengannya.

”Coba sama Mak Datuak itu Fa’. Mana tahu nasib Iza bisa berubah.” Tawar ibuku suatu hari. Yang dimaksud oleh ibu adalah dukun kampung di pelosok kecamatan Kubung.

”Aduh, gimana ya Bu? Syifa’ menghargai usaha ibu untuk menolong Iza. Tapi,...itu kan syirik Bu. Pakai jin-jin segala.” Alasanku.

”Kamu ini, selalu saja indak menuruti kata ibu. Ibu yakin sekali kamu dulunya tasapo di jembatan ketika kamu hamil Iza. Waktu itu kamu sempat demam tiga hari. Iya kan? Juga waktu Iza lahir, kamu tak mau membungkus bawang putih di kainnya Iza. Itu kan penangkal palasik.”

Waktu itu kutanggapi dengan senyum saja. Sebab, walau bagaimana pun sangat sulit memberikan penjelasan kepada Ibu. Paham nenek moyang itu sudah sangat melekat pada diri beliau. Aku sudah mencoba berkali-kali sebelumnya. Namun tak ditanggapi ibu. Aku tak mau mendebat beliau lebih panjang. Sebab aku hanya takut melukai perasaan wanita yang telah membesarkanku dengan penuh kasih sayang itu.

Kadang, aku begitu bersemangat mencari terapi baru untuk penyakit Iza. Namun, di lain kesempatan aku juga merasakan suatu keputusasaan. Akankah aku harus terus mengeloninya seumur hidup? Apakah salah jika aku berharap dia sedikit lebih mandiri. Terlalu berlebihankah aku jika aku berharap untuk dipanggil ”Bunda” oleh anakku? Bukankah itu semua adalah keinginan yang sederhana?

Bahkan, sampai saat ini aku selalu kesulitan jika menanganinya jika sedang mengamuk. Pernah suatu hari, laptop yang kubeli dengan susah payah --agar aku bisa menulis di kala aku sedang menemaninya terapi untuk menambah pemasukan-- dalam beberapa menit saja telah disulapnya menjadi barang rongsokan akibat keusilannya mengotak-atik dan menghempaskannya. Fiuff..., sungguh sangat melelahkan. Aku jatuh-bangun, terombang-ambing.

”Ng..ng...” Panggilan dari Iza membuyarkan lamunanku. Aku menoleh padanya sembari melempar senyum. Hingga mendekati usia delapan tahun ini, Iza hanya bisa mengucapkan gumaman yang tak jelas. Tak lebih dari itu.

”Ada apa sayang?” Aku menyampirkan sehelai handuk kepadanya seraya membantunya menuju ruang ganti. Gadis kecilku itu menurut saja ketika kudandani dia. Setelah semuanya selesai, tangan kecilnya mengambil binder map dan mengacungkan foto rumah kami kepadaku. Kembali kuulaskan senyum.

”Iza mau pulang ya?” Tanyaku. Malaikat kecilku itu mengangguk. Sungguh, respon seperti ini adalah hal yang biasa bagi kebanyakan ibu-ibu dengan anak-anak yang normal. Tapi bagiku, ini sudah sangat luar biasa. Respon yang sungguh kutunggu bertahun-tahun. Perlu usaha yang begitu panjang untuk bisa sampai seperti ini. Yah, baru seperti ini.

Perjalanan pulang kujalani dengan lebih riang. Lebih ringan. Apalagi, sore ini kami akan menjemput ayahnya Iza ke bandara BIM di Padang Pariaman. Setelah delapan tahun, akhirnya Uda Faiz bisa mengurus pindah ke Padang. Wajah Iza diliputi tawa yang berbeda dengan hari sebelumnya. Barangkali dia mulai faham, bahwasannya kami akan menunggu kedatangan ayahnya.

Sesampai di rumah, gadis kecilku itu langsung menyodorkan pakaian baru yang kubelikan beberapa hari yang lalu. Meski ketika kuhadiahkan pertama kali padanya, gadis itu tak acuh. Dia tak menghiraukanku dan sibuk dengan bonekanya tanpa peduli padaku. Seolah-olah aku tak ada. Ia hanya memanggilku jika dia membutuhkanku saja. Namun, agaknya saat ini dia mulai paham. Oh, sungguh betapa bahagianya hatiku. Cepat-cepat kupasangkan untuknya.

Setengah jam kemudian, kami telah duduk di depan teras rumah, menunggu travel yang akan membawa kami ke bandara. Iza, seperti biasa sibuk dengan alam pikiran dan dunianya sendiri. Namun, dia lebih cerah. Sangat riang sekali. Beberapa kali dia melompat-lompat.

Hingga,

”Ng...brmm...zzrr” Panggilnya. Aku menoleh. ”Ng...brmm...nda” Panggilnya lagi.

”Ada apa sayang?”

”Saa...saayy yang...Ndaa...” Ucapnya. Bola mata bening itu berpendar. Wajah lugu itu menatapku sesaat. Hanya sesaat.

Allahu akbar!!!

Segera kupeluk erat malaikat kecilku itu. Oh Allah, the dream comes true! Betapa aku bermimpi mendengarkan dia mengucapkan kata ”sayang” kepadaku. Carikan mozaik itu seolah kutemukan kembali untuk kupasangkan pada puzzle kehidupan ini. Oh, sungguh semuanya seperti terbayar. Kelelahan seperti tertebus. Adakah yang lebih membahagiakan dari ini semua? Atau, inikah hadiah spesial untukku dihari yang istimwa bagi para ibu ini?***END***

4 comments:

  1. alo kk.. :D *kayak kenal aja* hmm, baca cerita nya kok jadi ingat novel "Moga Bunda Disayang Allah" ya? hehehe..

    ReplyDelete
  2. hehehe...

    iya yah Sya??

    kk blum pernah baca tuh...

    ^^

    ReplyDelete
  3. hohoho..
    tp gk mirip mirip amat sii kak..
    ^^

    ReplyDelete
  4. hehehe....


    cerpennya Thasya mana nihyy...

    kakak tunggu yah..

    _^

    ReplyDelete

Feel free to accept your comment. Spam comment will be deleted and blocked