RUMAH SAKIT IMPIAN



Jika memasuki rumah sakit, apa yang pertama kali terbayang? Hmm…, bau obat, kesibukan, rintihan penderitaan, perawat judes, dokter konseling yang ga’ nyampe 1 menit, antrean puanjaaaaaaaang, hmm… apa lagi yah? Hoho, tentu saja, itu semua adalah kondisi umum Rumah Sakit yang lebih sering qta temui saat ini (baca : Rumah Sakit Pemerintah). Kalo’ swasta sih, agak lebih baik.

Nah, sekarang, memang sudah digalakkan pembenahan pelayanan rumah sakit, biar imej rumah sakit kaga serem-serem macam tuuh. Rumah sakit dibikin kaya mall, jadi nyang datang ke rumah sakit pun yaaah…dengan hati riang gembira. Gak berasa seperti rumah sakit.
Jadi, Ketika dipertanyakan, “Buat apa ke rumah sakit???” Jawabnya –versi ESQ--, “Bersenang-senang.” Hehe.

Kalo rumah sakit yg ada mall nya yang dikenal dengan “shopping hospital” itu, di mana para dokternya, perawatnya, dan semua-mua tenaga medisnya pake pakaian SPG (eit, apa yah istilahnya…??), telah berhasil membuat para pasien gak berasa seperti pasien. Dengan kata lain : imej rumah sakit yang sereeem itu bisa berubah. Kesimpulan : salah satu proses penyembuhan tidak hanya mengandalkan obat-obatan yang diresepkan, tapi juga ketenangan, kesenangan jiwaaa. Ketenangan batin, kali yaah.
Maka, ijinkan pula diriku membuat sebuah “rumah sakit impian” versi diriku. Hihihi…maksain. (jangan2 ada yg malah bilang, Siapeee loooo?? ^^)



Pernah denger orang Tanya, “Nih Rumah sakit ada mesjidnya kagak yah?”. Hummm… kayaknya pernah deeh.
Tapi pernah kagak, ada orang pada tanyain, “ini Mesjid, ada rumah sakitnya kagak yah??”
Hahaha…, langka banget tentunya (atau tidak pernah???).
Paling juga bilang, “Mesjid yaa mesjid, rumah sakit yaa rumah sakit laaaah!”. Atau paling kezzzzaaam, “Kamu ini gila apa yaaa, masak Mesjid yang ada rumah sakitnya?????” wheuheuheu….

Mesjid yang ada rumah sakitnya???
Hmm…, seperti apa yah?

Penelitian membuktikan bahwa, sebagian besar penyakit fisik disebabkan oleh penyakit “jiwa”. Maksudnya, karena berat mikir, jiwa yang tak tenang, hmm…what the else? Beban hidup. Ketidakbahagiaan. Pokok’e, permasalahan “jiwa” deeh. Penyakit fisik kemudian menjadi akibat dari penyakit “jiwa”. Missal, kerana dililit hutang yang berlipat-lipat, anak yang durhaka, beban hidup semakin berat, akhirnya seorang wanita paruh baya menderita penyakit jantung. Hehe, contoh yg standar. Tapi, yg penting, yaaa..gitu deeh.

Nah, berarti pengobatan yg Cuma mengandalkan model konvensional saja tidak cukup kan? Nah, berarti tujuan diadakannya model “shopping hospital” itu kan juga karena biar orang-orang dapet kesenangan…kebahagiaan…(duniawi saaaahaaajaaaa) kan?

Bagaimana dengan Rumah Sakit Impian yang tadi kumaksud?

Adalah di sebuah tempat yang asri, terlihat megah berdiri sebuah mesjid sebagai core of activity. Lalu, disebelahnya terdapat beberapa gedung yang juga megah, tapi didesain senatural mungkin. Ada taman-taman yang indah. Dirancang seperti villa. Lalu, tenaga medis di sana memang “in” 24 jam. Tak perlu “ngelaba” dengan menjadi dokter,perawat, farmasist, ahli gizi di rumah sakit lain karena semuanya kebutuhan hidup telah terpenuhi oleh jasa medic dari Rumah sakit itu saja.

Kegiatan penyembuhan, selain menggunakan peralatan kedokteran yang modern dan canggih, juga ada pendekatan spiritual di sana. Intinya, mesjid sebagai “core of activity” daah. Selain asupan obat-obatan konvensional, juga asupan “ketenangan” moral, ketenangan jiwa, kebahagiaan hakiki. Jadi si pasien tidak merasa rumah sakit sebagai tempat para si pesakitan, melainkan sebagai tempat menyenangkan, di mana di sana ia memperopelh ketenangan jiwa, motiviasi, suntikan spiritual. Para tenaga medisnya tak perlu pake “baju yang menyeramkan”, kecuali untuk kegiatan2 yg membutuhkan sterilitas tinggi kayak bedah.

Ehm…, itulah yang kumaksud dengan rumah sakit impian di sini.

Nah, maksudku di sini bukan segala sesuatu mesti dilakukan di mesjid. Yaa tidak lah! Di sini, hanya sebuah subtitusi, eitt..bukan ding…”re-arrangement” (hehe, kayak reaksi gugus fungsi di kimia organic ajah) antara posisi mall dan posisi mesjid. Atau bahasa lainnya (pemaknaan), “kesenangan yang sifatnya sementara” dan yang sifatnya ‘hakiki’. Atau, bahasa lainnya kesenangan yg sifatnya duniawi dan yang sifatnya ukhrawi (halaah, ada gak yaah, istilah macam ni?). Jadi, substansinya di sini bukan pada “tempatnya”, tapi, kepada tujuan penggunaan atau pemaknaannya. Hihihi…ribet yah?

Suatu saat, aku merindukan kehadiran rumah sakit yang seperti ini.


Nah..nah..nah…, ini versi aku sebagai seorang pasien rumah sakit.

Bagaimana dengan RUMAH SAKIT IMPIAN VERSI FARMASIS???

Jika boleh jujur, sejauh ini peran farmasis di kebanyakan rumah sakit itu berada di wilayah abu-abu, bukan? Antara ada dan tiada. Ada ga ngaruh, gak ada juga ga’ ngaruh. Iya tho?! Sering kali orang mempertanyakan, “Ihh, farmasis itu ngapain aja siiih?”. Kalau dosen2 menamakannya, “lahan yang tidak tergarap”.

Nah, jika memang seperti ini, gimana doong?

Baiklah, dimulai dari membangun sebuah mimpi.

“Sebuah rumah sakit, di mana pelayanan yang serba sinergis dan satu kesatuan dengan tujuan dan arah yang sama. Buakn saling kles dan saling ujuk kehebatan profesi masing-masing. Bekeja sama, bukan sama-sama bekerja.
Dokter sebagai AHLI PENYAKIT & AHLI DIAGNOSA (bukan AHLI OBAT…, sekali lagi, BUKAN AHLI OBAT!!) lalu, di sana ada Farmasis sebagai AHLI OBAT, melakukan “ADVISE” terhadap obat yang harus digunakan Pasien, mengevaluasi dan memberikan saran/komentar atas resep yang diberikan dokter. Lalu PERAWAT melaksanakan fungsinya dalam perawatan, dan ahli gizi memberikan advise yang berkaitan dengan gizi pasien.”

Jika memnag sudah begini, tentulah medication error yang sering terjadi DAPAT TERHINDARKAN. Kualitas hidup pasien dapat ditingkatkan. Dan kematian akibat kesalahan obat dapat terhindarkan.

Alangkah buruknya jika 56 % (intinya, LEBIH DARI SEPARUH) pengobatan di Rumah Sakit mengalami KESALAHAN dalam OBAT alias MEDICATION ERROR terjadi SETIAP HARI!!! Masya Allah. Lalu, siapakah yang tdak mengambil peran di sini? Siapakah yang luput? Tentu saja seorang FARMASIS, bukan? Ah, andai saja semua menjalankan peran tanpa ada ego keprofesian. Andai saja…farmasis itu ada di sana, dimana pekerjaan ini hanya bisa dilakukan olehnya. Andai saja…

Tapi, jika harus jujur lagi bila ditanyakan kepada diriku (dan sarjana farmasis maupun apoteker pada umumnya, di decade ini), jika pun PERAN ini harus dilakukan sekarang, BANYAK YANG TIDAK MAMPU MELAKUKANNYA.

Jujur, aku memang sangat malu, ketika ditanyakan mengenai hal-hal ini semua. Semakin kuliah, semakin terasa banyak yang TIDAK TAHU, dan semakin TAK BERILMU rasanya. Semakin ditanya tentang OBAT-OBATAN dan hal2 yang terkait, malah semakin melongos, bengong. Semoga, ini semua pun, semakin memotivasi kita (terutama diriku sendiri) untuk kemudian LEBIH BANYAK BELAJAR.

Sekali lagi, semua berawal dari membangun sebuah mimpi, agar para professional memang diletakkan pada profesi yang tepat. Dan mimpi kita adalah, “SEBUAH SINERGISITAS PELAYANAN MEDIS” khususnya di sini adalah peran farmasis. (spesialisasi yg bgian RS dan komuniti, tentunya. Akan berbeda jika titik konsentrasinya adalah bagian analisis (BPOM, dsb), saentis (riset obat), dan industry (product). Toh, peran bagian ini juga sangat penting, saking luasnya cakupan ilmu farmasi tu)

Maka, tiada yang dapat kita lakukan, selain “BELAJAR LEBIH BANYAK”. Tiada jalan lain, selain BELAJAR LEBIH KERAS! DARI TITIK NOL!
Semoga ini menjadi motivasi bagi kita semua terutama bagiku untuk lebih baik lagi. Suatu saat nanti, insya Allah, rumah sakit impian ini akan terwujud. Nah, sekarang tergantung pada kita, apakah kita ingin mengambil peran atau tidak.

Mungkin, ini hanyalah sebuah mimpi dari seseorang yang “masih” ingusan di bidang ini. Tapi aku yakin, insya Allah teman-teman pun punya mimpi yang sama yang ingin kita bangun bersama. Suatu saat nanti,…cepat atau lambat…

Aku, sebagai orang yang lebih dari 4 tahun memasuki sebuah dunia yang bernama farmasi, baru MENYADARI (dengan kesadaran penuh) bahwa pekerjaan ini adalah pekerjaan yang sangat mulia. (dulu-dulu sih, tauuu…, tapi sebatas teori doang. Tauu, tapi hanya sebatas itu saja). Sekali lagi, Aku baru tau, ternyata pekerjaan ini adalah pekerjaan mulia dengan ladang amal saangaaat besar. Kenapa, karena farmasis tengah “memegang nyawa” pasien (memegang disini bukan berarti seperti tuhan, yaa tidak laaah!). Karena “nyawa’ pasien tengah dipertaruhkan. Salah dalam mengambil keputusan dapat mengakibatkan kehilangan nyawa seseorang. Sesuatu yang sangat fatal. Jika benar, maka pun, seorang farmasis telah menyelamatkan nyawa seorang pasien (tentu saja atas kuasa Rabb, sang Maha PEmilik Nyawa). Nah, kejadian salah dalam pemberian obat ini sebenarnya peran siapa yang tidak optimal?? Ketidakteatan yang terjadi karena apaaa? KARENA AHLINYA TIDAK MELAKSANAKAN TUGASNYA, BUKAN?? Siapa ahlinya? Dokter? Tidak! Dokter hanya ahli penyakit. Lalu siapa? TENTU SAJA FARMASIS!!!

Baiklah!
Mungkin saatnya berubah.
Saatnya kembali menggarap lahan yang terabaikan.
Di mulai dari mimpi, lalu aksi nyata.
Karena, harapan itu masih ada. Hehehe.

(cihaaaaaaa…, koq diriku jadi crita menggebu-gebu begini yah?? Hihih… anggap saja ini curhat dariku. Hihihi)




Al Hurriyyah, baiti janati,pengujung Syawal 2009

2 comments:

  1. Salam kenal.
    Saya juga pernah memikirkan tentang rumah sakit impian saya. Rumah Sakit Farmakoterapi, dimana di sana terapi obat benar-benar diterapkan sebaik mungkin dan serasional mungkin. Dimana semua teori-teori farmakologi hingga farmakokinetika diterapkan untuk tujuan terapi yang paling baik untuk pasien.

    ReplyDelete
  2. yaph..

    semoga terwujud Mas...

    qta semua sama-sama menginginkan perbaikan pelayanan kesehatan di Indonesia, khususnya di bidang farmasi

    ReplyDelete

Feel free to accept your comment. Spam comment will be deleted and blocked