Aku dan Wanita Itu

Menatapi wajahnya yang sendu, memang ikut menyerap energi kesedihan dari kedalaman hati. Pias. Meski tertawa, tapi terdengarnya sumbang. Aku bukan siapa-siapa bagi wanita itu. Tapi, segenap permasalahannya, ikut serta menyeretku pada kesedihan yang mendalam. Sangat mendalam. Sebagai perempuan, aku merasakan sekali bagaimana sakitnya. Jika aku berada di posisinya, mungkin aku tak sekuat dia, tak setegar dia...

Ingin sekali aku menyemangatinya. Tapi, yang keluar dari lisanku hanyalah kata-kata saja. Hanya sekedar kata. Yang jika aku menjadinya, entah aku bisa menjalaninya atau tidak. Entah kenapa, kadang aku sering menyama-nyamainya dengan diriku dan masa laluku dulu. Padahal, dua persoalan itu tentu saja sangat jauh berbeda. Hanya saja, ia memiliki ujung yang sama. Ya, sama-sama sedih. Sama-sama menyedihkan... Mungkin kami sama saja dalam berandai (meski pengandaian itu tiadalah boleh), bahwasannya andai saja, kami bisa melupakan segala lalu itu seperti halnya menghapuskan coretan pinsil. Dan, tentu saja itu adalah absurd adanya...

Sudah berlalu sekian lama. Ternyata masih saja ada seberkas titik yang tersisa. Titik yang kemudian mampu menguras air mata, bahkan di saat tertawa sekali pun. Titik yang juga kemudian mematahkan semburat harap. Bahkan, mungkin juga meninggalkan sebentuk ketakutan. Ketakutan untuk menghadapi hal yang setara...

Tapi, yakinlah, bahwa dunia ini hanyalah sejenak saja. Untuk apa menyesali hal yang luput jika kebersamaan dengannya hanya akan mengantarkan kita pada keburukan. Allah lebih tau apa yang terbaik buat diri kita, bahkan setidaksuka apapun kita terhadap hal itu... Percayakan saja pada-Nya....

0 Comment:

Post a Comment

Feel free to accept your comment. Spam comment will be deleted and blocked