Bloggie, aye 'bayar di muka' yaaah, program #oDoP kali ini. Maksudnya, hari ini aye posting dua, besok absen. Soalnya mau seharian di rumah sakit, in syaa Allah. Ga efektip bawa lepi sambil jagain anak yang sakit. Ga ada tempat naro' lepi yang strategis, hehe :D
Ini kisah tentang seorang anak yang diasuh oleh 'khadimat/pembantu'. Ini kisah nyata yang aku temui di lapangan. Sebut saja Bunga, anak usia sekolah dasar yang sehari-hari diasuh oleh pembantu. Sementara sang orang tua super duperr sibuknyaa. Sampai-sampai lupa menyanyakan sekedar PR anak atau gimana kabar anaknya hari ini.
Sehari-hari, si 'anak' diasuh oleh pola pikir ala pembantunya. Sungguh, aku sama sekali tidak bermaksud menyalahkan pembantu, memandang rendah atau merasa diri lebih. Aku paham, karena keterbatasan (atau ketidakmauan) mereka untuk sekolah, maka mereka mengenyam pendidikan ala kadarnya saja. Sudah lulus SD aja udah syukur banget. Aku rasa, ketidakmauanlah faktor utama mereka tidak melanjutkan sekolah. Berbagai program pemerintah yang mewajibkan sekolah 9 tahun dengan biaya gratis semestinya bukanlah alasan untuk tidak melanjutkan sekolah. Banyak yang lebih susah tapi memiliki kemauan keras, maka tekad itulah yang mengantarkan mereka sampai sarjana. Berbeda dengan mereka yang tidak memiliki kemauan untuk bersekolah. Berbagai upaya pun dilakukan, tetap saja tidak mau. Dulu, kata ibuku, di kampung ibu ada yang kaya raya, punya sawah yang luas, tapi anaknya tidak mau sekolah. Saat itu, ibu yang dibesarkan di keluarga yang serba kekurangan, di mana nenek, amak ibu, sering disindir dengan ucapan, "harus punya sawah yang luas dulu baru bisa menguliahkan anak." Tapi bahan bakarnya ya itu, tekad. Alhamdulillaah ibu bisa sekolah juga, meski dengan bersusah payah.
Back to topik lagi (ude kemane-mane ceritenye nih :D), anak yang dibesarkan oleh pembantu sedikit banyaknya akan terpengaruh oleh pola pikir sang pembantu.
Misalnya, pembantu memberi harapan palsu pada anak, "Sabar ya. Lima menit lagi ibumu juga pulang." Padahal ibunya masih 5 jam lagi baru pulang. Anak kemudian belajar berbohong.
Contoh lainnya, sang suami istri sudah komitmen untuk mengajari sang anak dasar-dasar akidah semacam tidak ada yang namanya hantu. Tapi kemudian pembantu mengacaukannya dengan menakut-nakuti anak, "Ada hantuu, ada hantuuu" agar si anak cepat masuk ke kamar mereka. Atau, 'mengasuh' anak dengan memperdengarkan tontonan gosip dengan baju yang tak layak ditonton anak-anak (dan juga orang dewasa tentunya). Akan dibawa ke mana sang anak yang dibesarkan dengan pola pikir seperti ini sementara ibunya yang cerdas dan sarjana sibuk 'membesarkan' orang lain (atau perusahaan orang lain).
Tapi, kondisi setiap orang tidaklah sama. Kita tentu tidak dapat menyalahkan seorang ibu yang bekerja, apalagi itu dibutuhkan oleh keluarga. Ibuku juga bekerja di luar. Hanya saja, tidak boleh keluar dari koridor bahwa bagi seorang ibu dan istri, keluarga tetaplah prioritas utama. Mau jadi apapun di luar; hakim, dokter, apoteker, perawat, psikolog, engineer, arsitek, guru, dosen, yaa boleh-boleh saja, selama tidak meninggalkan yang prioritas. Pendidikan anak terutama. Jangan mentah-mentah diserahkan kepada khadimat. Karena al ummu al madrasatul 'ulaa :D.
Allahu'alam.
*Ini nasehatnya terutama ditujukan untuk diriku sendiri. Masih harus banyak belajar aku tentunya :)
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 Comment:
Post a Comment
Feel free to accept your comment. Spam comment will be deleted and blocked