Boulevard dan Sore Jingga

Boulevard dan kotempelasi. Boulevard dan sekaan air mata. Boulevard dan sebuncah senyum sumringah.
Haha, boulevard selalu punya lantunan melodi indah untuk melukiskan segenap rasa. Dan entah mengapa, setiap melewati boulevard ini, selalu saja warna rasanya berbeda. BERBEDA. Pun begitu dengan sore ini.

Segalanya SEMAKIN menyadarkanku, bahwa SEJAUH APA KITA MELANDASKAN SEGENAP HARAP PADA MANUSIA, maka SEJAUH ITU PULA KITA MEMANCANGKAN SEBUAH KEKECEWAAN untuk dituai di kemudian harinya. Maka, berbahagialah dan merdekalah mereka yang tak melabuhkan dermaga harap, pada manusia, yang juga sama dhaifnya. Pada manusia yang juga sama lemahnya.

Jikapun pada akhirnya harus menyeka air mata, maka biarlah itu sebagai perwakilan atas luapan rasa semata. Tapi, keyakinan itu haruslah seteguh-teguhnya tersandar pada-Nya saja. Seberat apapun persoalan kita, maka cukuplah Dia saja, cukuplah Dia saja, cukuplah Dia saja tempat kita bergantung.

Mungkin begitulah hikmahnya mengapa aku harus dihadapkan pada banyak kondisi di mana harapan-harapan itu hanyalah menjadi catatan asa saja. Banyak hal. Sungguh.
Sedih? Iya, tentu saja. Bohong jika aku tak bersedih. Setelah harapan itu terlambung begitu tingginya, tiba-tiba jatuh berserakan, menyisakan puing-puingnya saja. Tapi, semakin ia terjadi, semakin nyata sudah bagiku, bahwa ketika harapan itu sudah tersandar hanya pada-Nya saja, maka tak sedikitpun lagi ada KECEWA. Bersedih bukan berarti KECEWA. Karena sedih, bagiku hanya luapan rasa. Sedih, bukan berarti aku kecewa dengan setiap apa yang telah Dia tetapkan. Karena, tetap saja, apapun ketetapan-Nya, adalah sebaik-baik catatan episode hidup. Jika terasa berat, maka Allah telah punya jawabannya. Bahwa Dia tak pernah meletakkan beban di atas pundak hamba-Nya, melainkan setara dengan kesanggupannya semata. Tak pernah melebihi. Aku selalu yakin akan hal itu.


Boulevard dan Sore Jingga. Juga sekaan air mata. Menatap langit Depok yang hampir mendung. Tanpa peduli puluhan anak-anak dan remaja dengan berbagai aktivitas mereka. Atau, motor-motor yang lewat dan melihat dengan tanda tanya. Ah, maaf, aku sedang tak ingin peduli dengan apapun yang sedang kau herankan dariku. Ya, aku memang sedang berusaha menahan bendungan yang ingin segera tumpah dari pelupuk mata. Mengawang!
Ah sudahlah. Biarlah, yang silam menjadi milik masa lalu saja. Biarlah.
Sudah, cukup sudah. Kebas sudah rasa itu, kurasa.
Meski dulu memang pernah menjadi catatan harap, tapi sekali lagi, aku sudah belajar banyak dari harapan yang tak pernah menjumpai kenyataan. Mungkin juga--tentang harapan ini--aku akan mendapati hal yang sama. Mungkin. Bukan aku lelah berharap, tapi, segalanya memang sudah kupasrahkan pada-Nya.
Cerita kita, pasti ada ujungnya. Dan mungkin sudah menjumpai ujungnya. Ujung yang mungkin tak pernah menjadi ekspektasi orang-orang yang pernah berada di posisi sepertiku. Juga tentang semilir anginnya. Sudah,  sudah tak lagi menerbangkan debu-debu kota, atau sekedar menggoyangkan dedauan. Dan hawa ini adalah telah tanpa angin. Lebih tepatnya, aku sedang mencoba menghentikan semilirnya. Ya, kisah ini, cerita ini, mungkin telah berjumpa muaranya. Telah berjumpa ujungnya. Telah berjumpa kesudahannya. Mungkin.
Karena aku memilih pergi, dari potongan fragmen ini. Sesedih apapun itu. Sedramatis apapun itu.

Boulevard dan sore jingga, serta sekaan air mata.
Terima kasih telah menemaniku sore ini.
Terima kasih telah menyediakan kotak-kotak balok yang membuatku seperti tengah menghitungnya dengan tepekur. Tidak. Aku tidak sedang menghitung berapa jumlah balokmu, Boulevard. Aku hanya tidak sedang berani mengangkat wajah saja. Untuk satu kesedihan di siang menjelang sore ini.

Percayalah, setelahnya, aku insya Allah merasa lebih baik. Setelah menumpahkan ini.
Oke, selamat tinggal jingga. Selamat tinggal jejak langkah.

Ada satu hal yang lebih utama untuk kukejar. Mungkin tak berlebihan jika kusebut itu OBSESI. Sebelum kereta kehidupan berhenti di stasiun akhir--untuk kemudian menuju kehidupan yang sesungguhnya--aku sangat ingin berharap bisa merampungkan sang obsesi itu. Aku ingin, menjadi bagian dari itu. Sungguh. . .

Maannajah!
Lupakan silam, dan hadapi hari depan dengan semangat!
Karena aku tak pernah tau, kapan berakhirnya episode ini. Bahkan, bisa jadi sejenak lagi.
Hayoo, siapkan bekal!

2 comments:

  1. Maannajah uniqu sayang!!! ya, biarlah air mata di sore jingga itu menjadi pembasuh luka, insyaallah, dg ketegaran dan asa yg slalu tersandarkan pada yang selayaknya (Allah) kita akan menjadi kuat... Smangat uniiiii...!!! Raihlah mimpi dan obsesi uni dg smangat dan sll ceria ^^ love u bcoz Allah

    ReplyDelete
  2. siiip dedewku syg, jazakillaahu khoir dew...ingatkan uni selaluuu.... Luv U coz Allah too dedeeeeeewwww...^^

    ReplyDelete

Feel free to accept your comment. Spam comment will be deleted and blocked