Anak Mama Anak Papa

Anak Mama-Anak Papa^^
Hehe…lagi-lagi ini adalah cerita komentator, bukan pelaku sejarah. Cerita tukang pengamat yang punya hobbi mengamati lingkungan. Jiyaaahh…

Alhamdulillaah, aku berkesempatan untuk mengamati macam tipe pola asuh anak dan akibat yang ditimbulkannya kemudian. Hee… Lagi-lagi, ini hanya karena aku menyukai sesuatu yang berbau psikologi anak (ahayy, bau psikologi? Bau apah coba? Hihi). Dan lagi, perlu berulang kali kujelaskan, bahwa aku tidaklah memiliki ilmu tentang ini. Jadi, apa yang aku tuliskan ini adalah murni hasil pengamatanku sahaja yang sangat mungkin salah, walau pun mungkin juga ada benarnya (haha). Jika dirimu….(iya! Dirimu yang lagi baca ini!) punya pengetahuan, punya sesuatu yang bisa dikritisi, punya masukan, punya latar belakang basis keilmuan di bidang ini, atau pun punya pendapat berbeda, tafadhol di share aja yaah…)

Ini soal “Anak Mama-Anak Papa” yang cukup sering (mungkin tidak banyak) kita temukan di sekeliling kita. Perkara, beda-membedakan anak.

Adalah sebuah keluarga yang memiliki tiga orang anak. Ketiganya kini sudah memasuki tahap remaja akhir atau pun dewasa. Pada mulanya, aku cukup heran dengan sebaran kedekatan antar mereka. Anak pertama yang tak pernah bisa akur dengan sang ibu. Anak kedua yang ling-lung merasa tak memiliki siapa-pun dan anak ketiga yang tidak begitu dekat dengan bapaknya. Keherananku semakin bertambah ketika sang anak pertama seperti menyimpan api permusuhan dengan sang ibu. Tak pernah ada kecocokan. Bahkan, tak jarang si ibu menangis sesegukkan melihat tingkah polah sang anak yang begitu jauh darinya. Padahal, si ibu itu sangat mencintai anaknya. Apapun upaya, dilakukannya untuk memenuhi keinginan sang anak. Tapi, tetap saja ia tak mengerti kenapa anaknya tampak tak mencintainya.

Aku bukannya merasa keluargaku lebih baik! Bukan! Hanya saja, aku melihat, ini sesuatu yang sangat aneh (bagiku! Dilihat dari kacamataku! Tentu saja, kamu atau siapapun itu, bisa jadi punya pandangan yang berbeda yah?!). Bagaimana mungkin seorang anak merasa begitu tidak cocok, begitu jauh, begitu (limit mendekati) benci pada ibunya yang jelas-jelas mencintainya, memberikah kehidupan padanya, dan memberikan yang terbaik untuknya? Bagiku, ini mengherankan! Sebab, bagi semua anak, ibu adalah sosok paling luar biasa yang menjadi madrasah mereka. Dan bukankah, kedurhakaan anak—sekecil apapun itu—adalah hal ihwal dari segala kesusahan hidup sang anak itu sendiri di kemudian hari? Sesuatu yang Alloh tunjukkan secara nyata akibatnya selagi di dunia. Kedurhakaan anak pada sosok yang telah mempertaruhkan nyawanya demi kehidupan sang anak itu sendiri.

Akhirnya, aku memperoleh kesempatan untuk mendengar curahan hati sang ibu, dan curahan hati sang anak tersebut, pada dua waktu yang berbeda. Si anak bercerita, tentang ketidakcocokkannya dengan ibunya. Dan si ibu pun bercerita, betapa sulitnya meraih dan mencairkan kerasnya hati sang anak. Dari cerita itu, kesimpulanku terpolar pada satu titik : adanya pola asuh “anak mama-anak papa” (anggap saja istilahnya begini yah. Hee….). Entah ini penyebabnya atau tidak, Allahu’alam. Hanya saja, aku cukup tergelitik dengan pola asuh ini.

Semenjak kecil, sang anak sudah dibesarkan dengan paradigm bahwa ia adalah “anak papa”. Pun, pada kenyataannya, sang Papa memang menunjukkan kasih yang berlebih padanya di banding anak lainnya. Sang papa sering pula menyebut “anak sayang papa” padanya, tapi tidak pada anak lainnya. Sedangkan anak bungsu adalah “anak mama”, anak sayang mama. Sangat mungkin, sang anak yang merasa tak begitu cocok dengan ibunya ini semenjak kecilnya sudah ditanamkan pada amygdalanya tentang ibunya yang lebih sayang pada adiknya sehingga dia merasa “tak berhak” memiliki ibunya. Bisa saja, kesedihan yang terpendam di alam bawah sadarnya ini yang kemudian membuat ia merasa “ditinggalkan” dan merasa ibunya begitu jauh darinya—bahkan (merasa) membencinya. Sebagai akibatnya, ia menaruh sebuah kebencian ataupun mulai merentang jarak dan jauh dengan ibunya. Semua ini adalah sangat mungkin. Ini pelajaran berharga bagiku, untuk tidak membeda-bedakan siapapun. Anak terutama, yang hampir 24 jam selalu bersama, yang pola asuhnya adalah tergantung bagimana orangtuanya mendidiknya. Ini ternyata juga berlaku pada penempatan sikap kepada adik-adik, pada tetangga, dan juga soal pertemanan (walaupun dalam pertemanan, tetap saja ada sebentuk kluster-kluster kedekatan dan sangat berbeda case-nya dengan relasi anak-orang tua). Tapi, setidaknya, ini soal bagaimana bersikap dan tidak menunjukkan perbedaan yang begitu meruncing tersebut. Sebab, amat besar ternyata after effect-nya, terutama pada anak. Apalagi, ketika sang anak sudah memasuki dunia yang luas.

Ada contoh lain yang kuamati dengan rentang usia anak yang tak jauh beda dengan case di atas. Pola asuh yang diterapkan amatlah baik. Tidak ada istilah anak mama-anak papa. Setiap anak diperlakukan dengan sama, dengan tetap memperhatikan karakter masing-masing anak. Bahkan, ketika kedua anaknya memperoleh nilai berbeda (anak pertama mendapat nilai 7 dan anak kedua mendapat nilai 8), pada keduanya tetap diberikan apresiasi yang sama, “Bagus! Kalian semua sama pintarnya! Ke depan, pasti bisa lebih baik!”. Tanpa ada perbedaan, “Kakak pintar sih. Dapat tujuh. Tapi adek lebih pintar, nih adek dapat delapan”. Memperbandingkan anak (apalagi di hadapan mereka) adalah boomerang yang akan mengancam perkembangan mereka.

Ada mode kesalahan yang lain. Mungkin ada sebagian orang tua yang berusaha memotivasi anaknya dengan seolah menasihati anaknya untuk menjadikan kakaknya sebagai teladan dan khudwah. Misalnya, “Dek, coba tengok deh si Kakak. Kakak selaluuu juara satu. Kakak rajin. Kakak ngerjain PR-nya sendiri. Masak sih Adek begini?”
Ups! Ini bisa saja ‘membunuh’ si Adek. Secara tak langsung di alam bawah sadarnya, ada beban berat yang dititipkan pada si Adek, bahwa ia haruslah menyamai si Kakak. Padahal, PASTI kemampuan si Adek berbeda dengan kakak. Jaman yang membesarkan si Adek juga berbeda dengan si Kakak. Teman-teman dan lingkungan luar keluarga yang membesarkan mereka juga berbeda. Karakter mereka berbeda. Lalu, bagaimana mungkin si adek harus mencapai apa yang kakaknya capai? Membiarkan mereka berkembang sesuai bakat dan potensi mereka masing-masing adalah pilihan terbaik.

Lalu, ada lagi yang lainnya. (hee…banyak banget yah “adalagi-adalaginya”? heuu….maklum, punya hobbi ‘mengamati orang’! Hehe). Ada bapak yang bilang sama anaknya ketika anaknya dapat nilai 100 “Waaaahh, Kamu dapat 100,Nak? Ini baru namanya anak Papa dan Mama namanya.” So What? Berarti, kalo Cuma dapat 99 bukan anak Papa-Mama dong? Jadi, si anak merasa, setelah mencapai nilai 100, barulah dia diakui sebagai anak dari orang tuanya. Si anak berupaya untuk mencapai nilai seratus bukan karena dia mengoptimalkan potensi yang dia punya melainkan hanya agar dia diakui sebagai anak. Beruntung memang dia bisa selalu dapat seratus. Bagaimana kalau dia tidak mencapai itu semua? Si anak bisa saja frustasi ketika ia tidak bisa menjadi anak dari orang tuanya sendiri. Hmm….sebenarnya, masih banyak sih yang ingin diriku ceritakan. Tapiiii, ini udah puanjaaaaaang banget! Bagi yang parno buat ngebaca tulisan panjang, biasanya yang begini nih hanya dilewatkan saja. Hehe. Hanya saja, hasil pengamatan-pengamatan itu membuatku kembali banyak belajar. Toh, jika pun aku berada di posisi sebagai orang tua, belum tentu aku dapat menjalankannya dengan sebaik apa yang aku tuliskan. Sebaik teorinya. Kenyataannya, pelajaran realita jauh berbeda dengan pelajaran teori. Tapi, mempelajarinya (kendatipun kemudian pada pelaksanaannya tak sebaik itu) tetap lebih baik dari pada tidak ada sama sekali. Ini tentu berlaku untuk semua ilmu, bukan hanya dalam hal children education. Iya tho?! Dan lagi, sesedikit apapun itu, sesederhana apapun itu, membagikannya tetaplah lebih baik dari pada menyimpannya sendiri. Oleh sebab itulah, aku—yang memang jelas-jelas bukan praktisi dan bukan pula memiliki ilmu tentang ini—tetap berusaha menuliskannya, meskipun ini semua masihlah sangat sederhana. Hayuk….hayuk….mari berbagi.

Dari An Nu’man bin Basyir ra., bahwasannya ayahnya membawanya ke hadapan Rasulullah saw dan berkata: “Sesungguhnya saya telah memberikan seorang budakku pada anakku ini.” Kemudian Rasulullah saw bertanya: “apakah semua anakmu diberi budak seperti yang diberikan pada anak ini?” Ayah menjawab : “Tidak.” Rasulullaah saw lantas bersabda : “tariklah kembali pemberianmu itu.” Dalam riwayat lain dikatakan : “Rasulullaah saw bertanya : “Apakah kamu berbuat seperti itu kepada semua anakmu?” Ayah menjawab : “Tidak.” Beliau bersabda : “Takutlah kamu sekalian kepada Allah dan berlaku adillah kepada anak-anakmu.” Kemudian ayah menarik kembali pemberian itu.”
Dalam riwayat lain dikatakan: “Rasulullaah saw bertanya: “Wahai Basyir, apakah kamu mempunyai anak selain ini?” Ayah menjawab : “Ya.” Beliau bertanya lagi : “apakah semua anakmu diberi budak seperti yang diberikan pada anak ini?” Ayah menjawab : “Tidak.” Beliau bersabda : “Kalau begitu, janganlah kamu mempersaksikan kepadaku karena sesungguhnya aku tidak akan menjadi saksi terhadap perbuatan yang tak adil.”
Dalam riwayat lain dikatakan : “persaksikanlah kepada selain aku.” Kemudian beliau bertanya : “Bukankah kamu merasa senang bilamana anak-anakmu sama dalam berbakti kepadamu?” ayah menjawab : “Benar”. Beliau lantas bersabda : “Kalau begitu, janganlah kamu membeda-bedakan pemberian pada anak-anakmu.”
(HR. Bukhari dan Muslim)

0 Comment:

Post a Comment

Feel free to accept your comment. Spam comment will be deleted and blocked