Lubang

Lubang...
Semakin dalam lubang itu kau gali, maka semakin sulitlah kau menimbunnya.
Maka, jangan kau gali dan lagi-lagi kau gali lagi.
Biarkan saja ia di sana. Tertimbun dengan sendirinya.
Bersama abrasi oleh sebab hujan ataupun tumpukkan debu oleh sebab panasnya mentari



Cukuplah ini terakhir kalinya kau ungkit lagi cerita itu
Biarlah neuron-neuronmu saja yang akan mendelesinya
Sebab, semakin kau coba delesi, semakin ia menancap kuat…
Semakin kuat kau hapus, semakin kuat kejelasan dan semakin kuat pula nyatanya ia

Sama seperti lubang yang kau gali itu…
Semakin kau berusaha untuk menggali….maka semakin dalam ia…
Semakin kau terus coba tuliskan—meski itu adalah sebuah penyangga ketegaran—sungguh semakin menjelaskan bahwa kau tak sedang tegar
Jika benar-benar sudah “nol”, seharusnya kau tak perlu lagi tuliskan ini…
Bukankah episode ini sudah berakhir?
Ada episode baru, Fathel.
Episode dengan segenap ujiannya…

Sudahlah Fathel…
Kau tak boleh begini. Tak boleh terus begini.
Meski saat ini adalah lembah grafik kosinus segala semangatmu, sekaligus titik nadhir kelemahanmu…
Tapi kau tak boleh membiarkan dirimu terus berada di lembah kosinus itu…
Bukankah kemarin kau sudah keluar dari belenggu itu,
Bukankah kemarin kau sudah “zero”?
Bukankah kemarin kau sudah “tawar”?
Kenapa kau coba kaitkan belenggu itu kembali di lehermu?

Sudahlah Fathel…
Selalu indah takdir-Nya untukmu…
Burukpun kau lihat, sungguh segalanya adalah Baik…
Ujian…
Tak sedikitpun suratanmu tertukar dengan orang lain…
Jadi, apa lagi yang kau khawatirkan?
Bukankah hanya ada dua penyikapan saja, untuk segala keadaan itu?
Syukur dan Sabar.
Dua hal itu sudah cukup, Fathel.


[Lag-lagi, catatan LABIL…]
_______________

sumber gambar di sini

0 Comment:

Post a Comment

Feel free to accept your comment. Spam comment will be deleted and blocked