Mari sedikit bercerita tentang sesuatu yang tak penting ini. Maaf, mungkin ini tak terlalu penting. Tapi, jika kau berminat membacanya, silakan saja. Karena aku, menulis di blog ini (sekali lagi), hanya untuk memuarakan kanal rasa, tak peduli adakah yang membacanya atau tidak. Hee... Meski begitu, aku masih tetap berharap, ada sesuatu yang bisa aku bagi, entah itu hikmah, ataupun sedikit masukan walaupun mungkin belum bisa memberikan sebuah solusi. Aiihhh, panjang beneer mukaddimahnya Fatheeel. Kaya baru punya blog ajaaah. Hee.... Iya siih baru punya blog, baru lima tahun. Hihihi....
Hemm... Aku sudah mulai dengan rutinitas yang hemm...bisa jadi seperti sebuah adegan berulang yang akan tetapi memang menyerap nyaris seluruh energi, entah itu tenaga, waktu, juga materi. Pagi-pagi, sudah harus siap-siap. Setengah 6 start! Kalo saja telat dari jam 5.30 itu artinya aku akan ketinggalan kereta yang memang sudah aku tag jadwalnya. Kereta tujuan Manggarai, Tanah Abang, sampai Angke. Dan jika ketinggalan kereta, itu artinya, aku akan dihadapkan pada masa-masa sulit yaitu kegencet di kereta hingga hampir 40 menit hingga 1 jam lamanya. Lumayan, bikin mual. Soalnya tas yang segede gaban itu menekan gastrik yang menyebabkan ter-trigernya agresor yang ada dilambung melebih protektornya sehingga membuat efek refluks (haiiihhh, bahasa apaahh iniiiih Fatheeeell?!!). Kereta yang sudah aku tag itu sih biasanya juga penuuh sangat, tapi masih lumayan jika dibandingkan dengan kereta setelahnya. Dan selalulah aku berangkat dengan kereta yang sama setiap hari kecuali 1 kali.
Rutinitas selanjutnya adalah, ketika sampai di stasiun Cawang hingga Tebet, saatnya beringsut menuju gerbong campur, gerbong ke-7, karena gerbong 8 (gerbong wanita) ndak dapet peron. Ndak kebayang juga harus lompat setinggi itu dengan rok, plus ransel segede gaban. Hee....
Rutinitas selanjutnya adalah menunggu kereta dari Bekasi, tujuan Jakarta Kota untuk berhenti di stasiun Cikini. Dari Cikini, jalan kaki menuju rumah sakit dan mampir di kantin WS, kantinnya psikiatri.
Rutinitas selanjutnya adalah memesan secangkir kopi susu hangat pada ibu berkaca mata dengan tahi lalat di dagunya. Saking seringnya, si ibu sudah hapal tuuh pesanan akuuh, "Secangkir kopi susu hangat, yang manis." Hehe....
Ngomong-ngomong soal kopi sebenernya sejak aku masih orok dulu, aku sensitif teradap kafein. Setiap kali minum kopi, walau hanya seujung sendok teh doang, bikin jantung berdegup ndak jelas. Cepeeeett bangeett. Jadi deg-deg an gittuuuh kaya orang demam pangggung mau presentasi, kaya orang yang mau ucep ijab qabul (emang gituuuh yaahh? Hahaha, aku juga ndak tau sih. Tanya yang udah pengalaman ajah), kaya mahasiswa ketemu dosen killer, pokoknya kaya orang yang ketemu sesuatu yang bikin jantungnya deg-deg an deehh. Mungkin kalo direkam pake elektrokardiogram, bakalan ketahuan deehhh ada sedikit gangguan pada kelistrikan jantung. (Kalo gangguan di kelistrikan KRL siiih sebenernya juga parah yaah? hihihi.....). Tapi, tampak-tampaknya, rutinitas ngopi itu memang terpaksa harus dilakukan. Pada akhirnya, jantungku bisa berdamai juga dengan kopi, walaupun belum sepenuhnya bisa. Tapi setidaknya, ampuh untuk bikin mata melek. Sebab, ngantuk ketika di ruang rawat, apalagi ICU atau HCU, akan sangat mengganggu. Hehehe...
Okeehh, lanjuuuttt. Rutinitas selanjutnya adalah caww menuju ICU, dan pinjem kunci otomatis biar bisa masuk. Soalnya hanya orang-orang dengan ID-card lah yang bisa masuk ruangan ICU dan aku yang ID-cardnya tak dapat berfungsi sebagai kunci, tak bisa masuk tanpa meminjam kunci apotekernya. Hehehe... Sesampainya di ICU, cuci tangan! Ups, jangan pernah sepelekan cuci tangan. Dan bahkan cuci tangan pun harus sesuai SOP nya. Hehehe... Mau tau SOP cuci tangan? Siiipp, intip guideline WHO ajaahh yaahh. Heee.... Masuk ruang ICU yang penuh kesibukan. Lalu, liat kondisi pasien terutama yang memang mau diangkat jadi kasus. Dan, ICU selalu saja tak pernah sepi dengan kegawatan. Huhu. Pertama kali masuk ICU dan HCU, aku tuuh tak bisa mendefinisikan rasa inii (halaah, lebay banget siiihh??). Rasanya begitu dekat dengan pintu-pintu kematian dan dengan segala kesekaratan dan ketidaksadaran. Tapi, mereka butuh farmasis. Mereka perlu diberikan obat yang telah dikaji secara mendalam antara risk dan benefitnya, cito atau tidaknya.
Nah, di ICU ada yang menarik sekali bagiku. Di sana, ada yang namanya "parade". Jangan bayangkan parade itu ada orang menari-nari di hadapan pasien biar bisa menghibur pasien loh yaaa. Wong pasiennya ndak pada sadar gituuuh. Kesadaran mereka kebanyakan sopur coma. Parade itu istilah untuk pembahasan kasus pasien di mana timnya terdiri dari, 1. dokter specialis Anastesi (Sp.An, KIC) 2. residen ICU dan dokter jaga, 3. Ners 4. Farmasis 5. Ahli Gizi. Kelima paramedis ini ngumpul, lalu mendiskusikan kasus pasien. Nah, kita mahasiswa PKL farmasi klinis, PPDS gizi, bahkan PPDU pun disuruh ikutan, meski aku siih masi diem ndak ngomong apa-apa, soalnya aku masi ora mudeng ama istilah-istilah internal RS yang membuat aku kesulitan memaknai apa sih yang sedang mereka bicarakan. Tapi, alhamdulillah sebagian besar sih aku paham. Hee. Tapi, Serius deh, baru kali ini aku liat tim sekeren itu di Indonesia. Di luar negeri mah emang gituuuh. Tapi di Indonesia? Ini pertama kalinya aku liat, ada tim yang saling bersinergis ngebahas kasus pasien dari bidang masing-masing. DOkter dan perawat mendiskusikan diagnosa dan tindakan yang diberikan kepada pasien, farmasisnya merekomendasikan pengobatan yang terbaik untuk pasien, dan ahli gizi merekomendasikan diet pasien sesuai status klinisnya. Keren kaaan? Kerreeen bangeeett menurut akuuuhh. Tak ada ego profesi karena semuanya kompeten di keahlian masing-masing. Kagum deehh. Serius!
Naahh, sampailah aku di inti cerita yang mau aku sampein. Btw, mukadimahnya puanjaaaaang bener yak? Hehehe....
Di sana, aku menyaksikan ada 3 kasus yang sangat mengusik. Tiga kasus tersebut pada mulanya ingin aku bahas DRP nya (drug related problem), tapi kasus yang ke-tiga diminta ama temenku jadi aku nda jadi ambil kasus itu. Tak apa, aku siih easy ajah. Yang menarik menurutku bukan kasusnya tapi etcausa dari kasus tersebut. Etcausa nda yah? Atau apalah namanya...
Kasus pertama, adalah seorang ibu, baru melahirkan anak, akan tetapi kehamilannya sangat sulit, ada kasus PEB, ada kasus HELLP syndrome (aku nda mau jelasin lebih detil lagi karena hanya akan memperpanjang tulisan ini. Kalo mau, sok, tafadhol gugling sendiri yaa. Hee...). Intinya adalah, itu adalah kasus berat pada kehamilan. Kalau ada yang tertarik mau bahas dengan aku, silahkan telpon atau SMS ke 08566756732 (hahahaha, kepedean amat yah akuuhh??). Komplikasi dari smua itu lah yang kemudian memperberat kondisinya yang hingga kini telah terjadi banyak kerusakan organ, terutama organ vital seperti jantung, hati, dan lain sebagainya. Masya Allah, begitu besar perjuangan seorang ibu, demi anaknya. Allahu akbar... Jadi terenyuh deehh. Wong melahirkan normal saja sudah luar biasa sakitnya, apalagi ini dengan komplikasi pendarahan berat dan gangguan fungsi hati pula, ditambah platelet yang menurun. Luar biasanya seorang ibuu... Tapi, cobalah simak fakta berikutnya. Kasus pasienku yang kedua adalah, seorang anak jalanan yang dicampakkan ibunya. Masya Allah.... Sudah sedemikian rupa perjuangannya mengandung si anak, ternyata mudah saja baginya mencampakkan anaknya. Si anak dibesarkan dengan lingkungan jalanan yang kumuh, hingga kini 16 tahun umurnya. Padahal, dibelahan bumi lain, bahkan tak jauh dari sana, mungkin ada puluhan wanita yang amat sangat menginginkan kehadiran seorang anak dalam kehidupannya... Nah, kasus yang ketiga jauh lebih mengenaskan. Ini kebalikannya. Seorang anak, membacok ibunya yang sedang memasak dengan cara memukuli kepala si ibu dengan benda tumpul berkali-kali lalu mengirisnya dengan pisau cutter. Si ibu segera pendarahan hebat, dan sampai saat ini belum sadarkan diri. Parahnya, serpihan pisau cutter itu masih tertinggal dalam otak si ibu. Ya Allah. Melihat pasien dengan kondisi menyedihkan itu benar-benar bikin sedih dan bergidig ngeri. Mengapa ada seorang anak yang tega membalasi kasih sayang ibunya itu dengan cara yang amat sangat kejam, di mana mungkin di belahan bumi lainnya, bahkan mungkin tak jauh dari sana, ada banyak anak-anak yang begitu ingin membaktikan dirinya pada ibunya dan ayahnya, tapi mereka tak lagi miliki kesempatan itu.
Aku sebenarnya begitu spechless ketika menuliskan tiga kasus di atas. Cukuplah kita bersama-sama ambil ikmahnya yaaa... Bahwa, kesempatan untuk bisa mendapatkan anak, atau kesempatan untuk berbakti pada kedua orang tua itu adalah mahal harganya. Maka, selagi kita memiliki kesempatan yang berharga itu, jangan pernah menyiakannya apalagi mengakhirinya diengan cara yang tragis sebagai mana dua kasus terakhir di atas.. semoga ini menyadarkan aku dan kita semua....
0 Comment:
Post a Comment
Feel free to accept your comment. Spam comment will be deleted and blocked