Tjinta Boekoe


Perhatikan gambar di atas!

Pertanyaannya adalah : ini buku sampai ancur begini karena :
1. SERING DIBACA
2. BUKU BAJAKKAN
3. TERLALU CINTA SAMA BUKUNYA
4. GAK DIRAWAT DENGAN BAIK

Opsional :
A. Jawaban 1 dan 3 Benar
B. Jawaban 2 dan 4 Benar
C. Jawaban 1,2,dan 3 Benar
D. Jawaban 4 Benar
E. Jawaban 1,2,3 dan 4 Benar

Tuliskan jawabanmu di lembar komen yang tersedia.
Betul : nilai +4
Salah : nilai -1
Tidak mengisi : nilai 0

===Sukseskan Gerakkan Tjinta Boekoe=== 





==============================sotoy mode : ON===============================
Read More

Hari-Hari Terakhir


Waah…, tak terasa waktu berlalu begitu cepat.
Episode Rumah Sakit tinggal menghitung hari dan episode farmacy community (apotek) akan segera dimulai, insya Allah. Sungguh sangat cepat waktu itu berlari yaaah. rasa2nya belom puas niih, keliling2 Bukittinggi. Hee… (tapi kalo disuruh nambah hari PKP lagi, ga mau aaaah. Hihi)

Tapiiii, sungguh, di hari-hari terakhir ini (eih, minggu2 terkahir ding!), aku sangaaaaaaaaaaaaat menikmati PKP ini. Sungguh sangat! Meski banyak deadline laporan mengejar-ngejarku (huwaaa…dikejar2 dung!), yang membuatku mesti begadang…dang…dang lagiiih. Huuuft. Dan, meski jerawat bertumbuhan dengan berseminya bagaikan Sakura di bulan Maret (halaaaah, lebaynyaa! Hee…). Ada banyak warna rasa. Ada banyak warna kisah. Dan juga ada banyak pelajaran. Sungguh, aku begitu bunyaaaaak memperoleh sesuatu yang tak bisa ditara dengan rupiah di sini. Pengalaman. Ilmu. Tentang rasa. Tentang kemanusiaan.

Ada warna-warni seperti pelangi. Merah jingga kuning kelabu, hijau muda dan biru. Meletus balon… (loh, kok jadi nyanyi balonku yah? Hihi, ngaco!) di sini. Warna rasa bahagia, pilu, sedih, senang. Semuanya menyatu dalam satu rangkaian episode bernama : PKP-RS. Hee…

Kisah lucu…
Pernah suatu kali aku lagi ngumpul2 sama anak2 sehabis memberikan obat pasien dan ikut visite dokter. Tiba-tiba datang dua orang satpam. Karena ngerasa kaga punya salah, yawudah, kucuekin ajah tuh satpam. Eh, tak dinyana, satpamnya ngomong ke aku,
“Bu, tolong yaaah, anak-anaknya dibawa keluar dulu! Ini lantai mau dipel sama satpamnya!”
Aku bengong! Asli!
Haaaaaaaaaaaaaa???
Dipikirnya aku ini emak-emak apa! Masa’ tampang se-imut ini (halaaah!!) dikirain emak-emak beranak lima! Haduuuuh, gak salah tuwwh???
“Eih, bukan anak saya, Pak.” Kataku.
“Lho? Bukannya anaknya tho? Jadi, anak siapa?”
“Kalo yang ini, ibunya ini. Kalo yang ini, ibunya yang itu. Nah, kalo yang ini, ibunya yang di sana tuh.” Kujelaskan.
“Hoo..begitu yah?”
Akhirnya, aku kemudian mengembalikan anak-anak itu ke ibunya. Heee…(Padahal, bukan aku yang ngajak mereka loh! Mereka ynag datang sendiri ke “markas”kami, tho. Hee…) Eh, gak taunya, temen2 sekelompok yang dengerin ciloteh para satpam itu jadi ngakak abis-abisan. Besok2nya, aku sering diledekin, “Bu, bawa anaknya keluar bu. Lantai mau dipel.” Huwaaaa…..huhu…T_T

Kisah sedih…
Jika ngomong kisah sedih sihhh, buanyaaaak banget! Kisah-kisah yang menguras air mata. Membuat hati ini meringis. Melihat tubuh-tubuh tergeletak itu. Melihat anyirnya bau darah. (waah…, sungguh kalo dituliskan, sangatlah buanyaaak sekali)

Kisah “manggaritih”….dan helaan nafas…
Kadang, geram jugah…, melihat aku yang ga bisa berbuat apa-apa. Aku geram pada diriku, pada system yang dibentuk dan pada ketidakmampuanku untuk berbuat. Sungguh, aku ga punya power walaupun aku tahu. Ada beberapa kondisi yang memerlukan terapi dan aku tahu terapinya. Tapiii, meresepkan obat haruslah dari dokter yang notabene harus menunggu (sampai esoknya). Ga ada aturan yang membolehkan apoteker untuk ngasi obat langsng, apalagi di rumah sakit. Aku kasihan sama pasiennya. Tapi aku ga bisa berbuat apa-apa. Oohh…(Lalu, di manakah posisiku saat perubahan itu kelak? Hmm…setidaknya, aku telah menuliskannya. ~__^)

Kisah “stress”
Ketika dikejar-kejar laporan, case study report yang pelik. Kisah hunting data rekam medic. Dan jugah, kisah keruwetan membaca tulisan dokter.

Kisah “episode perburuan ilmu”
Yuup, karena tujuan utamanya adalah ini, maka tent saja ini adalah episode yang penting! Sungguh, banyak kisahnya. Dan memang benarlah, dokter itu pinter2. Apalagi yang spesialis (ya iyalaaaah, namanya juga dokter kan ya? Hehe.). Tapi, dokter juga manusia, punya khilaf dan salah. Semoga kedepan, semua tenaga medis ini memang adalah mitra kerja, bukan atasan-bawahan, dan bekerja nafsi-nafsi. Biar saling mengingatkan, slaing bersinergi untuk dunia kesehatanlebih baik.


Aah….sebanyak apapun itu kisahnya, aku mendapatkan banyak hal di sini. Sungguh.

Kemudian, aku kembali belajar, bahwa setiap waktu yang berlalu dan kesempatan yang terabaikan itu, adalah sesuatu yang takkan pernah kembali. Takkan pernah. Maka, sudah selayaknyalah aku harus menjadikan kisah itu, meski pahit atau pun manis, sebagai potongan-potongan fragmen mozaik hidup. Yah, potongan mozaik hidup untuk kusatukan dalam sebuah papan puzzle. Aku hanya ingin menyimpannya dalam salah satu folder dihatiku. Hingga, jika suatu saat nanti, ketika keretaku sudah berlalu jauh, aku masih bisa kembali belajar darinya. Atau setidaknya, mengulaskan sebingkai senyum ketika kembali mengingatinya. Aku ingin, setiap jenak perjalananku ini, meberiku pelajaran. Memberiku hikmah…
Read More

Layaknya Lock and Key


“Assalaamu’alaykum? Pak, alah makan Pak? Baa rasonyo kini? Lah ado ansuran, Pak?”
heee…, ini pertanyaan rutin pagi2 kalo udah monitoring.
“Ndeh, lun ado ansuran lai doh Nak.”
Atau,
“Alhamdulillaah, lay ado ansuran kini, Nak.”
(tambahannnya, “Lai ado ansuran jo perkembangangannyo. Kalau kapatang bamanuang-manuang surang, kini lah pandai galak-galak surang!” Wakakaka…, ngaco banget!!! Ga ding! Yang belakangan mah becandaan ajah!)

Humm…sekarang pertanyaannya adalah “Kenapa obat itu adayang berefek ada yang tidak?”
Hayyoo…kenapa coba?
Knapa? Knapa? Knapa?

Sejauh penerawanganku (hahay, sejak kapan pulak suka menerawang2 niiih? Heee), obat hanya akan berefek jika telah berikatan dengan reseptor. Ikatan antara obat dan reseptorlah yang kemudian menghasilkan apa itu yang disebut dengan efek, yang pada ujung-ujungnya akan menjadikan “sehat”. Mekanisme kerjanya tentulah berbeda-beda sesuai jenis obat dan jenis penyakit. Namun, secara umum, demikianlah…

Mari kita bahas soal obat dan reseptor! Hee…Obat berikatan dengan reseptor itu adalah sebuah kesesuaian. Ia hanya akan berikatan dengan reseptor yang pas saja. Ibarat kunci dan gemboknya. Lock and key bahaso awaknyeh. (haaa??? Bahaso awak? Hee…). Gembok baru bisa kebuka kalo dengan kunci yang sesuai kan yah?

Nah…nah…, begitu pula halnya dengan cinta. (hahay, si Fathel ngomongin cinta?? Hmm….tapi kan cinta terbagi “seven”. Gak hanya “cinta” yang itu tuh saja. Hehe). Yaaph, cinta itu seperti obat dan reseptor! Cinta itu adalah “kesesuaian ruh” antara sang pencinta. Betul tak? Ini kata Ibn Qoyyim loh. Kalo kata orang kimianya, ada “chemistery” antara si pencinta dengan yang dicintanya.

Cinta itu, laiknya antara reseptor dan obat, antara gembok dan kunci, adalah kesesuaian. Kesesuaian itu akan menghasilkan sesuatu yang luar biasa! Sebab cinta pun adalah alam yang memberikan keluasan. Memberikan energy. Memberikan power bahkan meloncati logika dan akal sehat manusia. Bahkan sesuatu yang sama sekali tak ada dibenak para manusia, tapi dengan cinta, ajaib!, semuanya menjadi terlakoni. Ia menjadi kekuatan yang mendorong. Subhanallah…, begitu hebatnya cinta. (Kadang-kadang, aku malah berpikir apakah cinta itu jika di-kimia-kan adalah gabungan dari serotonin, adrenalin, dopamine, norepinefrin, feniletilamin, haaah..apa lagi yaah? Hee… Abiiiis, semua efek yang dihasilkan oleh zat-zat di atas juga akan dihasilkan oleh cinta. Hayuuu, ada yang mau menelitinya? Hee…)

Tapi, bagaimanakah menghadirkan cinta?
Ah, cinta tentulah tak bisa dipaksa. Karena ini soal rasa! Kalaulah menyangkut soal rasa, maka susyeeeeeeh. Jika ada kesusuaian ruh, maka barulah ada cinta. Aku ngerasain sekali dah. Aku tuh bisanya “gombal”, bisanya say “luph U….luph U” yaah…sama akhwat tertentu jugah. Ga semuanya.
(Heee…, koq jadi ngaur yah ini tulisan? Tapi, ah biarlah!)



Ahh, ndak ngerti aku cara upload photonya yang sekarang jadi riweh begituuwhh!! huhu
Read More

Taujih Rabbani


يَاأَيُّهَا النَّاسُ أَنْتُمُ الْفُقَرَاءُ إِلَى اللَّهِ وَاللَّهُ هُوَ الْغَنِيُّ الْحَمِيدُ

إِنْ يَشَأْ يُذْهِبْكُمْ وَيَأْتِ بِخَلْق ٍ جَدِيد ٍ

وَمَا ذَلِكَ عَلَى اللَّهِ بِعَزِيز ٍ

وَلاَ تَزِرُ وَازِرَة ٌ وِزْرَ أُخْرَى وَإِنْ تَدْعُ مُثْقَلَة ٌ إِلَى حِمْلِهَا لاَ يُحْمَلْ مِنْهُ شَيْء ٌ وَلَوْ كَانَ ذَا قُرْبَى إِنَّمَا تُنْذِرُ الَّذِينَ يَخْشَوْنَ رَبَّهُمْ بِالغَيْبِ وَأَقَامُوا الصَّلاَةَ وَمَنْ تَزَكَّى فَإِنَّمَا يَتَزَكَّى لِنَفْسِه ِِ وَإِلَى اللَّهِ الْمَصِيرُ


Wahai Manusia! Kamulah yang memerlukan Allah, dan Allah Dialah Yang Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu), Maha Terpuji.

Jika Dia mengkehendaki, niscaya Dia membinasakan kamu dan mendatangkan makhluk yang baru (untuk menggantikanmu).

Dan yang demikian itu tidak sulit bagi Allah.

Dan orang-orang yang berdosa tidak memikul dosa orang lain. Dan jika seseorang yang dibebani berat dosanya memanggil (orang lain) untuk memikul bebannya itu tidak akan dipikulkan sedikitpun, meskipun (yang dipanggil itu) kaum kerabatnya. Sesungguhnya yang dapat engkau beri peringatan hanya orang-orang yang takut pada (adzab) Tuhannya (sekalipun) mereka tidak melihat-Nya dan mereka yang melaksanakan shalat. Dan barangsiapa menyucikan dirinya, sesungguhnya dia menyucikan dirinya untuk kebaikan dirinya sendiri. Dan kepada Allah-lah tempat kembali. 

(Qs. Faatir : 15-18)


Read More

Bunga-Bunga Kertas


Hehe…, kalo yang anak kelompok 1 PKP-A RS periode II Apt I 09/10 (halaaaah, iniih ribet banget yaaah, hee…) pasti udah pada ketawa-ketiwi ajah kalo aku udah ngeluarin selembar kertas ketika ada anak-anak bersamaku (bersama kamiii, maksudnyaaa, hee…). Seperti biasa, aku akan membuatkan bunga-bunga kertas untuk mereka. Bunga tulip dengan empat kelopak untuk anak perempuan. Dan, kodok-kodok kertas, untuk anak laki-laki. Hmm…biasanya teman-teman sekelompok ngikut, bikinin kapal-kapalan dari kertas jugah. Iish…issh…global warming! Hehe.

Yaah, hanya bunga-bunga kertas saja. Untuk kemudian, mereka tinggalkan begitu saja ketika telah berjumpa dengan mainannya yang lain. Tak apa. Aku bahagia melihat mereka senang. Aku bahagia saja. Meski kemudian, teman2 pada nyeletuk, “bueklah surang lay.” Hahaha. Aku hanya bisa tertawa saja.

Lain episode interne, lain pula dengan neurologi. Ada banyak lagi kisah di sini. Pernah suatu kali, ketika ada banyak anak-anak yang mengelilingiku, memberikan tes matematika dan bahasa Indonesia kepada mereka, aku ga nyadar ternyata ada banyak mata yang tengah memperhatikan kami. Waduuuhhh, jadi tengsin abiiiis, waktu nyadar kalau buanyaaaak orang memperhatikan. Hadduuuh…

Hari ini, aku clingak-clinguk kiri kanan. Kenapa aku tak melihat Faizah yaah? Kemanakah Bocah delapan tahun yang ceria itu? Hingga waktu pulang tiba, aku tak kunjung berjumpa dengannya. Waaah…, aku khawatir terjadi sesuatu dengan ayahnya yang baru dua hari ini keluar dari ICU menuju bangsal. Tapi, aku ga sempat mengunjungi bangsal ayahnya karena ayahnya bukan pasien neurologi. Sementara di neurologi sendiri, aku harus mencatat beberapa rekam medic, ikut visite, memberikan obat pasien, memberikan konseling obat pulang dan memberikan kartu minum obat mandiri, menghunting vital sign. Huaaahhh, hari ini benar2 limited time!!

Hoooo, koq jadi bercerita puanjang lebuar dan curhat-curhat segala yaaah. Padahal tadinya niatnya mau cerita soal kecerdasan emosi anak niih… okeh…okeh…, back to topic again dah!

Faizah…hmm…nama yang kusuka. Hee…Aku begitu terkesan dengannya. Dengan perkenalan kami pada mulanya. Umurnya baru delapan tahun. Kelas 2 SD, di sebuah sekolah di kota yang juga sangat kusuka, Padangpanjang. Sudah cukup lama ia tak bersekolah karena harus menemani ibunya menjaga ayahnya yang masuk ICU. Namanya ICU, so pasti pasien parah2.

Kebanyakan anak-anak pada umumnya, ketika bertemu orang baru, pastinya sangaat malu2 dan cuek saja. Jika ga orang tuanya yang memperkenalkan, biasanya si anak akan memilih untuk diam dan mengekor sama si ibu atau bapaknya. Trus, kebanyakan anak umur segitu kalo membeli suatu jajanan, jarang menawarkan “Kak, makan kue yuuuk.” Paling, waktu diminta dengan becanda, “Dek, minta kue dong.” Si anak langsung menyembunyikannya.

Nah, itulah yang berbeda dari Faizah.
Dia justru yang memulai memperkenalkan diri. “Akak…nama kakak siapa? Aku Faizah, Kak.”
Lalu, ketika dia punya makanan, dia menawarkan, “Kak, inii, ambillah.”
Jika melihat eluarga pasien yang baru dia kenal justru dia bertanya,
"siapo yang sakik Pak, Buk? Alah bara hari di siko?"
Wah...wah...orang dewasa ajah kadang lupa bertanya demikian.
Dan, satu hal lagi, dia itu berani sangaaat! Ketika anak-anak di umur segitu akan takut dan ngeri melihat orang2 dalam kondisi sakaratil maut, Faizah malah salah satu anak yang sangat berani. Sepanjang di rumah sakit ini, dia sudah 8 kali melepas orang-orang sakaratil maut. Masya Allah…

Nah..nah…, Menurutku, dia memiliki kecerdasan emosi yang bagus! Berbeda dengan yang lainnya. Sungguh, dia memang berbeda.
Dan aku menyukai keceriaannya. Dia begitu mudah berteman. Bahkan anak yang sangat introvert sekalipun yang sangat selektif memilih teman malah bersahabat dengannya.

Meskipun Faizah, di umurnya yang sudah 8 tahun ini belom bisa membaca. Membacanya Cuma satu dua kata. Dia masih sulit membedakan huruf M dan N, ga tau bentuk huruf T. bahkan mengeja namaku saja dia tak bisa. Berhitung pun jugah masih banyak yang ragu-ragu. Bukan berarti dia bodoh jugah, sebab, beberapa perkalian dia sudah bisa. Tapi, di sisi lain, dia memiliki kecerdasan emosi. Dan hal ini patut diapresiasi.

Lagi-lagi di bangsal neuro, aku mengenal anak lain, yang seumuran persis dengan FAizah. Namanya Aura. Ketika kedua anak ini “kusandingkan”. Kubikin permainan semacam cerdas cermat matematika begitu, Aura cendrung lebih banyak menjawab ketimbang Faizah. Tapiiii, di segi kecerdasan emosi, Faizah jauh lebih menang dari pada Aura.

Lalu, ketika aku memberikan soal-soal matematika dalam permainan itu, datanglah seorang ibu menghampiri kami. Dan ikut dalam permainan kami. Lalu, dia nyeleutuk pelan ke aku, “Haaah? Lah kelas 2, alun juo bisa mambaco lai doh!? Anak ambo, TK nyo baru lah lancar mambaco.” Secara tak langsung si ibu merendahkan kemampuan Faizah dan secara tak langsung si ibu juga menilai bahwa Faizah termasuk salah satu anak yang “bodoh”. Waktu si ibu bilang begitu, aku hanya bisa….senyum saja. Mungkin juga kebanyakan orang lain menilai hal yang sama. Banyak juga teman2 yang nyeletuk,
“HAaahhh.., masak siiih, belum bisa baca???”.

Tapiii, menurutku, di sanalah letak masalahnya. Kebanyakan orang masih mengagung-agungkan kecerdasan intelektual semata dan mengabaikan kecerdasan emosi sang anak. Anak-anak dituntut untuk bisa matematika, berhitung, bahasa Indonesia, bahasa inggris de es be, tapi lupa dengan kecerdasan emosinya. (wah…., sbenarnya siiih, para pakar udah banyak “melirik” ke arah kecerdasan emosi ini yaaah? Tapii, tampak2nya pola pandangan umum masyarakat masih sama. Masih mengedepankan kecerdasan intelektual).

Ketika anak-anak sudah pinter matematika saja dianggap sukses, dianggap cerdas dan diapresiasi. Tapiiii, amat sangat jarang sekali anak-anak yang seperti Faizah ini diapresiasi. Kebanyakan lebih cendrung dipandang bodoh, diremehkan. Seharusnya, dia patut diapresiasi jugah! Karena Faizah bukan anak yang idiot. Dia cukup bisa koq menangkap pelajaran2 seperti matematika. Aku sudah membuktikannya ketika mengajarinya matematika dan ketika mengajarinya membaca.

Makaaa, menurutku siiih, sudah saatnya kita (dan juga terutama para pendidik apalagi orang tua) memandang sisi kecerdasan anak itu secara global, ga hanya sisi-sisi intelektual saja, tapi juga sisi emosional. Dan yang paliiiiing penting itu, sisi spritualnyaah! Maka, hayuuu..kita revolusi pola didik anak yuuuuk.
Hayuu….!


*Aiiihh, ngomong2 kaya’nya aku lebih tertarik ngambil S-2 Psikologi Anak ketimbang ngambil S-2 Pharmacy Klinik niiiih. Haayyooo…, beri aku pilihan. Hehehe. Atau, jadi PNS sahaaajaaaa??? Hehe, GJ mode : ON!
Read More

Hanya Sebentar Lagi...


Padang, terasa begitu hangat bagiku. Juga tawa-tawamu, saudarimu. “Kegilaan” para jompo’ers. Tentang peri kewismaan yang penuh suka (dan sedikit duka, heee).

Jika bukan karena urusan skripsi mungkin aku ga bakalan ke Padang hanya buat satu malam saja (haduuuuh, belom kelar2 jugah urusan tanda tangan iniiih yaah?) dan alhamdulillah bertepatan jugah dengan TEKAD se-Sumbar, jadinya sekali mendayung, dua tiga pulau terlampaui (nah loh, mendayungnya pake tenaga apa tuh? Sampai2 sekali dayung bisa melewati tiga pulau??? Hihi, sotoy!)

Tapiiii, kemudian, aku tercenung. Wah…wah…, ga berasa yah, sungguh begitu cepat waktu itu berlalu. Agustus depan insya Allah, Jompo’ers sudah harus bubar, dan wisma Hurriyyah qta akan berubah komposisi lagi dengan adik2. Kita, para jompo’ers ini bakalan”terdepak”. Huhu. Status kita bukan lagi para “jompo’ers” lagi dong? Lalu apa? Pencaker atau pengangguran? Atau pengacara? Hee…

Sekarang, sudah akhir April. Jika Allah masih memanjangkan umur qta, maka, hanya 3 bulan saja lagi kebersamaan ini. Indahnya ukhuwwah ini. Lalu, setelahnya, kita akan memilih arah yang berbeda barang kali. Tak lagi bisa bersama-sama, seperti hari ini.

Di perjalanan ke Bukittinggi lagi, tiba-tiba aku jadi tercenung. Kadang, aku merasa gamang untuk meninggalkan manisnya kebersamaan ini. Meninggalkan suasana kampus yang menyenangkan. Kadang, sungguh aku merasa gamang. Orang-orang bilang, dunia setelah ini jauh lebih “mencekam” (hoo…, koq mencekam yah?). Jika tak punya buffer yang cukup kuat untuk bisa survive di “pH” seekstrem apapun, maka akan sangat gampang dipengaruhi oleh lingkungan. Orang-orang bilang, dunia setelah ini akan lebih banyak warnanya, juga warna kelabunya. Aku jadi teringat cerita-cerita kita, tentang satu per satu mereka yang terjun ke dunia ini, begitu banyak yang mengalami dilatasi. Jauh…sungguh jauh…
Oohhh…, satu do’aku, semoga Allah menjadikan kita semua istiqomah di jalan-Nya. Allahumma aamiin.

Ahh, ini mungkin karena sisi melankolisku saja kali yaah? Hanya saja, kemudian aku teringat salah satu pesan sahabatku yang kini nun jauh di sana, yang dahulu kami pernah bersama.
“Tidaklah masalah tempat di mana pun, lingkungan mana pun. Yang penting itu adalah azzam yang kokoh.” Yaph, benar! Karena, suasana seperti ini, insya Allah ga hanya ada di wisma, tapiii, di mana pun itu! Sebab, yang terpenting itu sebenarnya adalah “buffer”nya agar tetap stabil di kondisi seperti apapun, dengan “pH” kehidupan seberapa pun, seekstrem apapun. Buffer ruhiyah,komitmen, azzam, action, community, tarbiyah, muhasabah, jugah mu’aqobah (agar ga gampang mentolerir kelalaian diri!!).

Walau bagaimana pun, satu penggal kehidupan wisma ini, bagiku adalah sepotong kenangan indah. Pahit manis perjuangan yang kita rasakan bersama. Meskipun hanya sebentar lagi, sungguh, aku sebenarnya masih ingin menikmatinya. Menikmatinyaaa. Sungguh.

Sumangaik, saudari2ku!
Hamasah!





Special buat Nany-chan-ku, selamat berjuang buat sidang sarjananya yang tinggal menghitung hari. Jugah buat Lilis-ku yang jugah akan segera menyandang gelar S.Si, insya Allah. Semangat!! K’Jen luphU…luphU yang hobby pulkam, hee…, hayyuuu, K’Jen, selesaikan segerraaa! Jugah buat Uul-ku Cayank, semangat buat seminar hasilnyaaaaa. Buat Nina Rahimi, ishbir yaa ukhty…, insya Allah stiap kesulitan bakalan ada kemudahannyaah. Yakinlaah ituu. Semangadh! Jugah buat Yeyen-qyu…, jangan lama2 di Bekasi dunk. Hayuu…cepet balik ke Padang! Heee…Setelah urusan skripsimu kelar, barulah balik lagih ke Bekasi! Heee…

Jugah,NRD’ers deeh, buat Titi-qyu…, hayuu..Titi, harapan itu masih ada! Wisuda Juli Menunggu. Hee… Dhy-Silvir jugah, hayyuu Dhy, kamu pasti bisa! Restu? Apa kabarmuuu? Oce?? Mba Vin? Mega?

Barokallaah jugah bwt Ithri, Ade dan Bu Neg. ^^

FS Pharmacistz’05 sekaliyaaan…Ujul, Chepi, Mumut, Nana…, Barokallaahu…Smangadh bwt kuliayah Apotekernyaaah.
Lira-qyu, Itax cantiq, QqTito cayang, Omay, Yeyen Ramadhani, hayuuu…smangadh!
Samangadh!!

Jugah…yang ga kalah penting, buat Ima dan dirikuuu…smangadh buat PKP… Hosyh…hosyh…, tinggal 2 bulan lagiiiiiiiiih, insya Allah…(waduuh, udah ngosh-ngosh-an niih)
Read More

Akak....Trima Kasih Yaah!



Akhirnya kita berjumpa lagi Kak, di depan ruang rekam medic. Hoo…sungguh sumringah hatiku melihatmu. Sudah nyaris tiga minggu kita tak berjumpa, sejak perkenalan pertama kita di samping ruang konseling terpadu (hoo..kalo perjumpaan pertama mah di visite bangsal neuro yah akak? Hee…).Dua minggu ini ternyata dirimu terkena DBD, dan… Astaghfirullah…bahkan aku tidak tahu! Entah karena kesibukkan di bangsal interne, atau aku hanya sibuk dengan diriku sendiri, atau entah karena apa. Memang sih, agak mengherankan, kenapa aku tak pernah melihatmu beredar di rumah sakit ini dua minggu belakangan. Padahal, sebelumnya sesekali kita jua berjumpa di koridor-koridor atau di jalan rumah sakit ini. Tapi aku ga kepikiran sama sekali. Atau, aku yang kurang care? Oowhhh…

Dan langsung deh, kita ngobrol bareng di depan ruang rekam medic itu. Hmm…seperti biasa, aku selalu mendapatkan spirit baru darimu, akak. Dengan semangat-semangatmu, dengan ide-idemu, dengan cara tertawamu yang manis. Hee…

“Kak, alhamdulillaah, hasil lab buat tes darahku negative!” kataku.
“Alhamdulillaah…. Makanyaaa, berpikir positif dulu!” katamu.
Hee…, akak, dirimu adalah salah satu dari sedikit orang yang “aku curhati” masalah tes darahku ini. Yang sempat bikin aku nge-drop, lemes, kehilangan separuh semangat hidup (halah! Lebaynya akuuu!). Memanglah aku rasakan itu Kak, bahwasannya berprasangka positif! Itu kuncinya. Berprasangka baik pada Allah. Juga, memberikan sugesti positif pada diriku. Humm…berasa banget dah, ketika aku telah tersugest dengan “symptom” yang ada pada diriku, aku jadi saaaaangaaat lelah. Di pikiranku, malah tes darah itu bakalan positif. Tapiiiii, alhamdulillaah, di saat-saat down seperti ini, aku punya saudari2 yang menguatkanku (jazaakillah Ang, Jazakillaah Titi). Dan, alhamdulillaah, kemudian aku bisa bertahan dan membuat buffer semangat itu. Dan, ALHAMDULILLAAH…, aku bahagia! Aku bahagia dengan hasil tes darah yang masiy di range normal itu.

Aihhh, aku suka ceritamu, akak. Aku suka semangatmu. Juga tentang bakery yang dirimu titipkan di mini market rumah sakit ini. tentang resep nasi goreng dan pecelmu yang ditiru banyak orang hingga daganganmu malah ndak laku? Haha. (heee…, kalo cerita mah, udah ke mana-mana yah akak? Tapiii, seseorang merasa nyaman jika ada cemistery positif di antara mereka kan akak? Nah, cemistery itu di mana nya yah? Persamaannya apa? Ah, entahlah. Yang penting, bagiku bercerita denganmu membuatku mendapatkan semangat baru). Dan dirimu adalah ahli fisioterapist hebat yang aku kenal. Karena, pendekatamu kepada pasien itu dengan hati. Aku suka melihat caramu menterapi.

Aaah, akak, aku tau, mungkin dirimu ga’ bakalan baca ini tulisan. Heee… Soalnya, aku kan ga promo2 blog segala. Hihi. Tapiii, setidaknya, aku hanya ingin mengungkapkannya. Tak peduli apakah dirimu ataupun orang lain akan membacanya atau tidak. Aku hanya ingin menumpahkannya sajaa…

Akak, Makasih yah Akak. Trima kasih ya Allah, atas perjumpaan dengan banyak2 orang2 inspiratif, sahabat2 baru, saudari2 baru yang menguatkan akuuu.
Read More

Belajar Berjalan...


Pernahkah ngerasa down, terjatuh dan terpuruk? Hummm…Pernaaaaaaaaaaaaaaah! Lalu, pernahkah ngerasa “duuh…., kayaknya aku ga bakalan bisa bangkit lagi deeh. Aaah, sudahlaah!”. Aaiihh.., juga pernah! >.<

Mari kita merenung sejenak. Dan, kembali pada ‘masa lalu’ kita. Dahulu, ketika kita belajar berjalan, setiap kali jatuh, kita selalu berupaya untuk bangkit agar dapat berjalan lagi, bukan? Bahkan tak peduli, seberapa sering kita jatuh terjungkal, namun kita tetap bangkit…bangkit…dan bangkit lagi…, untuk berjalan. Lalu pada akhirnya? Kita sekarang dapat berjalan bahkan berlari!

Tapi kenapa? Kenapa saat ini,ketika akal fikiran kita sudah berkembang lebih baik dari pada saat itu, sering kita menyerah begitu saja! Sekali terjatuh, lalu tidak mau bangkit sama sekali. Kenapa sekarang kita begitu gampang putus asa dengan sedikit ujian kegagalan saja? Padahal dahulu, kita adalah adalah orang-orang yang gigih berjuang!

Wahai diri, percayalah, bahwa kita didesain secara fitrahnya untuk menjadi orang yang berhasil. Orang yang sukses! Jika pun ada kegagalan, maka itu tak lain hanyalah sebuah peluang bagi kita untuk belajar. Itu membuat kita belajar lebih banyak!

Wahai diri, percayalah, bahwa diri kita telah diciptakan-Nya dengan segenap potensi luar biasa. Maka, sudah saatnya kita “meng-aktivasi” potensi itu. Jangan biarkan segenap potensi itu berada dalam fase dorman-nya. Sungguh, amat disayangkan, ketika Allah telah amanahkan potensi itu, tapiii, sepanjang hayat kita, kita tak mempergunakannya. Lalu kita mati tanpa ada sesuatu yang kita perbuat!

Maka, berprasangka baiklah sesalu kepada Allah, atas scenario apapun yang Dia rancang untuk diri kita! Mengambil sisi positif jauh lebih baik dari pada menyesali segala yang telah terjadi. Dan sungguh, Dia pun sesuai dengan prasangkaan hamba-Nya. Maka, berperasaan positif lah terhadap diri kita. Berperasaan positif berarti akan menghasilkan pikiran positif dan prasangka yang positif jua.

Hayuuu….Sumangaik!sumangaik!
Harapan itu masih ada!
Belum terlambat untuk bangkit!
Hayuuu, mari kita bersama-sama, berjuang, tuk raih ridho-Nya!
Read More

Tentang Faqih dan Hafalannya


Aku hendak menceritakan seseorang yang inspiratif sangatt niiih.
Ya…ya…ya…!?
Hee…

Ketika ada tekad se-Sumbar kemarin, aku melihat seseorang yang saaaangaaaat aku kenal, duduk di depanku agak ke kanan. Langsung aku sapa deh dengan spontaneous, “Faqiiih!”, dan tentu saja aku sapa ummi nya juga, Ummu Faqih. Wuihh…, sungguh, aku kangen sangat sama Faqih dan Uni. Bener-bener deh.

Namanya Muhammad Faqih. Kami biasa memanggilnya Faqih. Umurnya baru 5 tahun. Lincah. Keren dan juga ceria, khas anak-anak. Faqih lahir waktu kami masih kelas 3 SMA, hmm…sekitar pertengahan 2005. Sekilas, mungkin dia masih kaya’ anak-anak pada umumnya. Main pesawat-pesawatan. Main pedang-pedangan. Tertawa. Yaaah, namanya jugah anak-anak yaaah??

Tapiiii, Masya Allah…Sungguh luar biasa!
Ketika kutanya, “Sekarang Faqih lagi ngafal juz berapa?”
Dia tertawa. “Juz 29 yaaah?” tebakku.
Dia mengangguk. “Iya, ammah. Kemaren baru mulai juz 29.” Dia menjelaskan dengan gayanya yang anak-anak.
Subhanallaah…
Aku berdecak kagum.
Juz 29? Berarti juz 30 sudah kelar dong? Masya Allah…
Dan di umurnya yang 5 tahun dia sudah hafal juz 30. Waaah….subhanallah.
Ini mah langka bangeeeet yaaah? Yang ada di jaman sekarang adalah anak-anak yang lebih hafal nyanyi pop, rock atau jazz paling tenar. Dan, kebanyakan orang tua malah lebih bangga ketika anaknya bisa hafal banyak nyanyian di umur belia begitu ketimbang lebih banyak hafal ayat pendek.

Di umur 5 tahun, anak-anak jaman searang pada umumnya Cuma hafal 5-6 surat. Salah satunya, eih…salah tiga ding, hee… triple ‘qul’. Trus, do’a bangun tidur. Do’a mau tidur. Do’a mau makan. E te ce. Tapi Faqih, subhanallaah…, sudah masuk juz ke-2! Luar biasa!!

Semua ini memberi kita pelajaran bahwa sebenarnya bentukkan lingkungan itu saaaangaaaaat penting! Madrasahnya itu sangaaaaaat penting! Seorang Faqih bisa demikian, salah satu andil besarnya tentulah dibentuk dari seorang ibu yang juga berkualitas! Hoo…so pasti dong yah! Kualitas ibunya yang luar biasa! Ga mungkin kan yaaah, seorang anak yang ibunya biasa nonton gossip sepanjang hari dan mendengarkan lagu dangdut sepanjang malam (hee…lebay! Emang ga ada kerjaan lain apa??) akan menghasilkan anak yang kualitasnya sedemikian luar biasa? Masa’ siih, ibunya ngidupin kaset dangdut sehari semalam 24 jam (ya iyalah sehari semalam 24 jam. Heee… Maksudnya, saban pagi sampai malam, ngidupin kaset dangdut), anaknya bisa saja tiba-tiba hafal juz 30. Kan ga mungkin! Paling juga anaknya ikutan hapal lagu dangdut. Kan anak plagiat pualiiiiing ulung. Iya tho??

Yang aku plajari siih (hayyoo…di buku Fisiologi Manusia jugah ada tuuh. Hihi), bahwasannya bayi terlahir dengan serabut otak yang suangaaaaaaaadddh buanyaaaaaaak, namun belom terkoneksi satu sama lainnya. Jadiii, di masa perkembangan otak yang pesat itu (umur 0-6 tahun), seorang bayi akan “belajar” dari lingkungannya, dan di saat itulah koneksi antar serabut tersambungkan. Missal, ketika seorang ibu mengatakan, “Nak, kalo yang ini, Bunda!” kalo yang ini, “ayah!” berarti akan menyambungkan serabut syaraf di otaknya. Sel memorynya akan merekam, “kalo yang seperti ini, berarti “bunda”, kalau yang seperti ini, “ayah”, kalo yang seperti ini,”makan” kalo yang seperti ini, “tertawa.” Dan seterusnya. Itu artinya, sel-sel otaknya terus membangun koneksi satu sama lainnya.

Makanya, di umur segitu (hmm…golden age kaya’nya niiih. Heee.., ada ga yah istilahnyaaa begini??), anak adalah peniru paling hebat dan memiliki daya tangkap yang luar biasa! Nah, jika ini dimanfaatkan, maka insya Allah para orang tua dapat memberikan pendidikan terbaik buat anaknya. Apalagi, apa yang dialami si anak di masa emas ini, umunya akan tersimpan di “amygdale”nya di alam bawah sadarnya. Suatu saat, ketika dia bertindak spontaneous, maka yang akan keluar pertama kali adalah apa yang ada di alam bawah sadar. Lebih kurang begitu laaah.
(ngomong2, belajar fisman ini menyenangkan yaaah? Sungguh, betapa Maha Agungnya Allah yang menciptakan manusia dengan demikian kompleks dan sempurna.)

Jadiiii, intinyaaa…., inilah masanya kita “membentuk” calon pengusung peradaban, “pambangkin batang tarandam”, kalo istilah Minang nya kali yaaah??, para “Ar-Ruuhul jadiiid”, yang dimulai dari dasarnya, dari kecilnya. Insya Allah, anak-anak dengan kualitas Faqih pun akan banyak (ga langka lagiii) jika pola didik, pola asuh, ilmu pengetahuan, serta keimanan sang ibunya yang diperbaiki terlebih dahulu. Waaah…, alangkah kerennya negeri ini jika para calon madrasatul ‘ula nya di “bengkelin” duluuu (loooh?? Kok di bengkelin yaaah? heee…) di tarbiyah dulu, dididik dulu, sebelum mereka mendidik. Wah…wah…, omong2 kapan yaaah, pemerintah bisa ngatur ampe ke sini? Misalnya di bikin kek suatu “sekolah” khusus, gituuh… Hemm….Kapan yah? Hayyooo, kapaaaaaan?? Semoga saja, suatu saat nanti.
Read More

Raso dan Rasio


Dari sekian banyak diskusi dan bahasan baik secara langsung atau pun melalui milis, akuuuh jadiiih dapathhh pelajaranhhh lagiihhh. Heee…
Humm…baiklah…

Memang benarlah yaaah, perempuan itu terlalu mengedepankan “raso” alias perasaan dan laki-laki itu mengedepankan “rasio”. “Raso” yang membuat perempuan kadang-kadang (atau sering yah?) tidak lagi bermain di ranah logika. Lupa akan kemungkinan-kemungkinan yang bersifat rasional. Dan sebaliknya, “Rasio” membuat laki-laki kadang-kadang kekurangan “perasaan” (haaaah! Dasar! Ga’ punya perasaan kamu!” hiiihiii, ndak nyambung!). Sehingga, jadinya perempuan lebih gampang untuk tersentuh ketimbang laki-laki. Perempuan lebih gampang menangis dengan hal-hal yang mungkin bagi laki-laki bukan sesuatu yang perlu ditangisi. Perempuan juga lebih gampang menangis ketika disuguhkan drama-drama sedih. Dan, kebanyakan perempuan juga suka telenovela. Hahay, ga’ nyambung! Tapii, iya deih, kebanyakan emak-emak suka telenovela karena banyakan isi ceritanya menguras perasaan.

Perempuan, mengambil keputusan berdasarkan perasaannya. Dan, laki-laki mengambil keputusan berdasarkan rasionya. Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan logikanya. Karena itu pula, kebanyakan perempuan jika ketika ada masalah cendrung nyaman dengan curhat dan berbagi, atau setidaknya ada yang mendengarkan dan menenangkan. Tak peduli apakah dia seorang ekstrovert maupun introvert. Sebaliknya, laki-laki ketika ada masalah memilih “goa” nya, dan umumnya memikirkan penyelesiannya dengan dirinya sendiri sampai kondisinya kembali normal. Allahu’alam.

Hmm…, aku jadi ingat plajaran fisiologi lagi niiih. Plajaran fisiologi memang menarik yaah? Heee… Hormon yang mengatur sifat ke-laki-laki-an pada laki-laki adalah testosterone. Bukan hanya mempengaruhi fisiologisnya tapi juga sifatnya dan cara pikirnya. Tapiiii, laki-laki juga dibekali dengan sedikiiiiit estrogen, untuk meninggalkan “sedikit perasaan” pada laki-laki. Sebaliknya, sifat ke-perempuan-an secara fisiologis diatur oleh hormone estrogen dan progesterone. Tapii, juga dibekali dengan sedikiiit testosterone untuk membentuk “rasio”nya. Allahu’alam.

Demikianlah Allah mengatur manusia dengan begitu sempurna. Plajaran fisiologi juga mengajarkan bahwa andaikan fungsi fisiologis manusia itu diatur oleh kesadaran manusia, maka, tentulah manusia ini takkan pernaaaaah sanggup untuk dapat bertahan hidup, karena sangat terbatasnya ia dalam melaksanakan fungsi-fungsi itu. Coba saja dengan hal yang sederhana ini, jika saja perintah agar jantung berdetak itu dikendalikan oleh kesadaran kita, maka sungguh kita tak sanggup! Dapatkah kita menyuruh jantung berdetak setiap detiknya? Itu baru jantung. Belum lagi metabolism, pernafasan, eksresi….dan segala hal kompleks yang ada pada diri kita. Tentu saja ada Allah, yang Maha Luar Biasa yang mengatur setiap makluk yan bernyawa di dunia ini. Wah…, tapi amat sedikit manusia yang bersyukur yaaah?

Kembali ke “raso” dan “rasio” tadiii. Hmm…, aku rasakan sendiri itu, ketika sudah diskusi atau berpendapat di suatu forum. Ketika aku (dan kebanyakan perempuan) melihatnya dari sisi-sisi “raso”, maka kebanyakan laki-laki melihatnya dari sisi rasio. Nah, bukan ingin men-separasi laki-laki dan perempuan loh yaah. Tapi, subhanallaah, begitulah Allah ciptakan! Ada laki-laki dan ada perempuan dengan segala perbedaan yang ada. Namun, perbedaan yang bukan untuk saling memisahkan melainkan saling menyatukan, saling menguatkan. Saling mengisi dan saling melengkapi. Maka, dalam da’wah pun mustahil da’wah hanya bisa diusung oleh ikhwan saja, atau sebaliknya akhwat saja.

Tapiii, karena “raso” tadi itulah, laki-laki pun Rasulullah perintahkan agar berpesan-pesan baik kepada wanita. Yah, karena “raso” tadi ituuuu.

Dari Abu Hurairah ra., berkata, Rasulullah saw bersabda : “Berpesan-pesan baiklah kamu sekalian terhadap wanita, karena sesungguhnya orang perenpuan itu diciptakan dari tulang rusuk dan tulang yang paling bengkok adalah bagian atasnya. Oleh karena itu, bila kamu memaksakan untuk meluruskannya, maka hancurlah ia, dan bila kamu tinggalkan, maka ia bengkok selama-lamanya. (HR. Bukhori dan Muslim).


Dari Abu Hurairah ra. Berkata, Rasulullah saw bersabda : “Janganlah seorang mukmin (laki-laki) memarahi seorang mukminat (perempuan). Bila ia tidak merasa senang terhadap salah satu perangainya, maka ada perangai lain yang menyenangkan. (HR. Muslim).


Dari Abu Hurairah ra berkata, Rasulullah saw bersabda : “Orang Mukmin yang paling sempurna imannya yaitu yang paling baik budi pekertinya di antara mereka. Dan yang paling baik di antara kamu sekalian adalah orang yang paling baik terhadap istrinya. (HR. At Tarmudzy)
Read More

Sesederhana Apapun Itu, Sampaikanlah...


Hmm…dari skian buanyaaak blog yang diriku kunjungi, aku berkesimpulan bahwa banyak yang mengatakan lebih kurang seperti ini, “Aku siiih penginnya blogku aktif, ide berseliweran di mana-mana, tapiii, kok nulisnya itu susah yaaah? koq yah, ngerangkai kata itu susaaaah banget? kok yah, inspirasi itu sering menghilang di tengah jalan" (hayuuu, kalo hilang di jalan, mari kita cari di jalan, ampe ketemu. Hehe).

Kadang2, aku malah berpikiran sebaliknya, “waah…, kalo aku siiiiih, pengennya nulisiiiin ajaah semuanya. Apapun itu. Waaah, jika saja aku bisa onlen lebih sering." Heee… (apa hubungannya onlen sama inspirasiong yaaah?? hihi).

Ah, entahlah…
Barangkali, apa yang kutuliskan, tidaklah sehebat mereka. Apa yang kutuliskan barang kali hanyalah sebuah hal-hal sederhana yang ada di pikiranku. Dan, apa yang kutuliskan itu, jelas banget, secara gamblang, menggambarkan betapa “dangkalnya” aku. Dan jugah menggambarkan betapa ilmuku itu benar2 sangaaaaaaaaaaaaaat sedikit sekali. Tapi tak apalah “dangkal” dan sedikit, setidaknya, lebih memacu lagi untuk belajar lebih banyak. Belajar pada apapun, pada siapapun, meski pada bocah 3 tahun, meski pada seorang manusia paling idiot sekalipun. Setidaknya….

Ah, entahlah….
Bagiku, sesederhana apapun itu, sampaikanlah…
Setidaknya, dengan menuliskannya, berarti kita telah membuat komitmen dengan diri kita sendiri. Dengan menuliskannya, pun akan menjadi lebih lama diingatan dan juga di hati kita. Setidaknya, dengan menuliskannya, maka, ia menjadi reminders bagi kita di kala kita tersalah. “Karena aku pernah mengatakan dan menuliskan begini, maka aku haruslah menjadi orang pertama yang melaksanakannya…”.

Sesederhana apa pun itu, tuliskanlah…
“Tuliskan apa yang kamu pikirkan, jangan pikirkan apa yang kamu tuliskan.”
Bahkan, hanya sebuah lintasan-lintasan hati saja. tuliskanlah…

Meskipun itu hanyalah nasihat sederhana, tetaplah tuliskan…
Setidaknya, menjadi nasihat untuk diri kita sendiri terlebih dahulu…
Dan, masya Allah, jika nasihat itu pun sampai pada orang lain, justru itu menjadi sebuah investasi bagi diri kita….

“Barang Siapa yang mengajak orang pada suatu kebaikan, maka ia mendapat pahala sebanyak pahala orang-orang yang mengikutinya tanpa mengurangi pahala mereka sedikit pun."
(HR. Muslim)

Maka…,
Hayuuu…., sesedarhana apapun itu, tuliskanlah…
Read More

Syukurku...

Sungguh....
Salah satu ni'mat terbesar yang kusyukuri adalah Mengenalmu, Saudariku...
Meski hanya lewat dunia maya saja,
meski kita tak selalu bisa bergandeng tangan,
meski kita tak bisa bertemu acap kali...
Tapi, sungguh kurasakan ta'liful quluub ituu...
Alhamdulillaah...



Masya Allah...
Aku sungguh tak menyangka, ini semua akan menjadi awal bermulanya ukhuwah qta...
Suatu permulaan yang indah...

Semoga Allah selalu dekatkan hati kita...
Semoga Allah tetap menyatukan hati kita...

Karena, Sungguh....
Ukhuwaah itu lebih mahal dari harga bumi inii...
Andaikan pun dibelanjakan seluruh kekayaan bumi, maka takkan dapat menyatukan hati qta...
Tetapi Allah menyatukan hati qta...(Qs. Al Anfaal: 63)

Subhanallaah....



Maka, salah satu ni'mat yang patut kusyukuri itu adalah,...
Pernah mengenalmu...


Spesial untukmu...
Saudariku...





Read More

Anak-Anak dengan Kecerdasan Emosi


Kali ini, aku pengen cerita tentang anak-anak yang luar biasa. Hee…
Ketika aku lagi ikut rombongan visite, dan mau masuk ke ruang kelas 2, tampak seorang anak yang umurnya kira-kira 7 atau 8 tahun lah. Kira-kira kelas 2 atau 3 SD lah yang sedang mendorong kursi roda kakeknya menuju ruang fisioterapi.

Subhanallaah…
Aku kagum pada anak itu. Dia dengan ukuran badan yang malah hampir sama tinggi dengan kursi roda itu, ia mendorong kakeknya yang sedang terkena stroke (segera deeh, aku jadi paparazzi, ngambil fotonya, heee…). Beberapa saat setelahnya ketika kakeknya sudah di ruang fisioterapi, tampak dia membawa satu bundelan kain kotor. Sepertinya dia hendak menuju ruang cuci. Mencucikan baju kakeknya.
Masya Allah, di umurnya yang segitu muda, dia sudah memiliki kecerdasan emosi yang luar biasa. Bukan berarti orang tuanya dengan kata lain anaknya si kakek tidak ikut menjaga, tapiii, dia tetap saja bersegera mengerjakannya.

Di ruang stroke juga, ada seorang anak lagi, masih kelas 3 SD yang juga memiliki kecerdasan emosi yang luar biasa. Ketika kakeknya minta minum misalnya, dia langsung segera mengambilkan, padahal ada orang tuanya, ada neneknya di sana. Di kala waktu senggang, sang kakek di pijitnya. Disuapnya dadanya yang sesak. Bukan hanya itu, dia juga menghibur seorang nenek lain yang berada di satu ruangan yang gak punya keluarga. Mengajak sang nenek bercerita dan menghiburnya. Sungguh, aku kagum pada anak-anak itu.

Sementara, di tempat yang sama, ada seorang ibu-ibu yang sangat membenci anak-anaknya karena anak-anaknya menelantarkannya. Dia yang terbaring sakit, tidak ada yang menjaga, tidak ada yang membantu, dan tidak ada yang menyiapkan makanan, mengambilkan obat dan mencucikan pakaian. Sampai beliau berkata, “Aku kalau udah sehat, akan menjual rumahku lalu aku pergi naik haji. Setelahnya, aku mau tinggal di panti jompo aja. Astaghfirullaah…kasihan ibunyaa…

Ah, walaupun aku memang kurang setuju ada anak-anak di rumah sakit, tapi tetap saja aku jadi banyak belajar dari anak-anak itu. Belajar tentang kecerdasan emosi mereka. Bahkan di umur yang masih sangat hijau (loh, koq hijau yah??heee...), masih tahap belajar sudah memperlihatkan emosional yang begitu cerdas. Lagi-lagi, Kembali kepada lingkungan pembentuknya dan polas asuhnya, kali yaaaah??? Jadiiii, cerdaskan dulu emosi “madrasahnyaaaa”. Heee…

Read More

Penjara Interne


Hari ini ada kejadian yang bagiku siih agak menggelikan. Heee…

Jadi begini, hari ni aku keasyikan banget crita-crita sama pasien sehingga aku ketinggalan “kereta” dengan teman2 yang mau diskusi sama dosen buat presentasi dan seminar case report. Padahal, case yang mau diseminarkan ituuuh jugah case aku yang notabene aku yang lebih paham seluk beluknya.

Nah…, ketika hendak keluar, ternyata jam besuk sudah habiiiis. Kalo jam besuk sudah habis, maka semua pintu2 keluar di tutup. Biar ndak sembarangan ajah lalu lalang menjenguk, betiu tujuannya. Jadinya, aku “terkurung” di dalam bangsal interne itu. Kaga bisa kluar. Huhu.

Biasanya siiiih ada satpam di depan gerbang keluar utama yang mau membukakan pintunya. Tapiii, agaknya kali ini pak satpam kaga nongol batang idungnya (plus seluruh komponen badannya dong! Hehe). Di mana siih satpam??? (ada di dalam bajunya! Trus dimana baju pak satpam? Dalam lemarinya! Kesimpulan, pak satpam ada dalam lemari! Hahaha, ngaco banget deeh!).

Nah kebetulan ada kakak se-PKP yang lewat di sana. Maksudnya ga ikut terkurung, tapi berada di luar. Kupanggilin,
“Uniii…unii…., tolong doooong, panggilin satpam dong! Tolong mintain kunci, Un.”
“Waddduh, lwt KU ajah dek.”
Howalaaaa….pupuslah harapankuuu.

Akhirnya, aku jalan ke KU dan bangsal interne lagi yang lumayan jauuuh, harus ke belakang. Waktu mau balik, ada seorang ibu yang nanya,
“Bisa dibuka pintunya Dek?”
“Wah..gak bisa. Bu.”
“Trus, lewat mana dong?”
“Hmm…mana yah Bu? Coba kita Tanya ke sana ajah, lewat pintu samping, Bu.”
Akhirnya, aku menuju ke sana.

Pas nyampe di sana, aku menemukan pintu itu juga bergembok! Huwaaa…
Tapiiii, masya Allah, kagetnya akuu. Aku ga nyangka, ternyata ada belasan orang yang juga hendak keluar yang ngikutin aku. Sepertinya mereka melihat aku teriak2 minta dipanggilin satpam dan mendengar omonganku dengan si ibu tadi. Aku ga nyangka deeh bakal diikutin begituuuwwh. Hadduuuuh, koq aku ga nyadar yaaah?
Hmm…mungkin mereka menganggap aku lebih tahu medan karena aku pake baju dinas begituwwh. Dan belasan orang itu adalah pengunjung yang telah membesuk kerabat mereka.

Akhirnya, setelah sedikit muter-muter, aku ketemu CS dan minta kunci sama si uni cs.
“Uniii…, plis uniii, nak kluarr niiiiiy. Huhu.” Akhirnya si uni CS yang ngasi kunci dan dia bilang, “Dek, nanti dikunci lagi yaaa, dan kembalikan lagi kuncinya.”
Akhirnya aku buka itu gembok, dan ada banyak orang yang akhirnya keluar. Ada yang nyeletuk, “Dek, makasiiih yooo. Ndeh, raso kalua dari panjaro.” Aku akhirnya jadi tertawa. Setelah semua orang keluar, baru akhirnya kau balikin kunci ke uni CS nya dan kemudiaaan, aku pun bebaaaaaas (dari penjara, hehehehe).

Pas nyampe di IFRS, di ruang diskusi, ternyata diskusinya sudah selesai. Huhu.
Duwwhh…, jadi ketinggal diriku niiih.

Tapi, akhirnya kau dapat plajaran dari kisah ini.
Hmm…barang kali, kita ga nyadar bahwa ada yang mengikuti kita (atau, menjadikan kita sebagai contoh). Barangkali, orang-orang menganggap lebih tahu, gituuh. (missal dengan pake jilbab yang panjang atau jenggoters, orang2 menyangka sudaaaaaaah pahaaaam ajah. Padahal, kalo boleh jujur ssiiih, kalo dibawakan ke dirikunya, ilmuku ituuuuh masssssssssih saaaaangat seddddiiiiiikiiiiit banget). Jadinya, ketika ada yang dianggap tahu, ada sebagian yang meniru dan menjadikan sebagai contoh. Walaupun kita sendiri gak nyadar.

Sama seperti kisah tadi. Ketika kita memiliki tujuan yang sama (yaitu sama2 ingin keluar dari bangsal) dan ketika itu mereka melihat ada orang yang lebih tau (karena pake baju dinas, yang notabene lebih paham medan, begitu mungkin mereka pikir), maka serta merta akan diikuti.

Nah, begitu pun dengan kehidupan kita. Ketika ada yang sama-sama memiliki tujuan yang sama, ingin ke arah yang lebih baik, dan kemudian melihat seseorang yang “dirasa” lebih paham, maka serta merta diikuti dan dicontoh. Secara tak langsung, dijadiin khudwah.
“Lihat tuh, anak si anu. Dia itu begini…begini dan begini…, makanya kamu tiru dia itu…” (heeee, ini salah satu contoh sahaaja tho). Walaupun yang dijadiin khudwah, ga nyadar dia sedang diikuti.

Hmm…,intinya, jadi motivasi siiih untuk lebih banyak blajar. Jangan sampai gara-gara kita, orang-orang jadi ga percaya dan jadi ilfil --sama akhwat misalnya--. Jangan sampai orang lain meniru hal2 yang ga bener dari kita. Bukan untuk biar dipandang orang, tapiiii, toh semuanya untuk diri kita jugah tho! (kembali lagi ke bab niat!). Sebabnya, amalan yang diterima kan yang dilakuin dengan niat dan tujuan yang benar, ikhlas dan caranya benar. Iya tho? Dan, mudah2an dengan itu pula, ketika kita ga nyadar,ada yang meneladani, insya Allah pahalanya buat kita jugah, tanpa mengurangi pahala orang yang mengikuti.

Okeh! Tak ada alasan untuk ga semangat!!!
Sumangaik!
Maannajah, Fathel!
Read More

Pola Asuh Anak


Hehe, di samping aku khawatir sama anak-anak itu, tapi, lebih sering, aku menikmatiiii…banget bersama mereka. Hhay, kadang2 malah lebih sering ngobrol dan mencandai anak-anak dari pada pasiennya. Walaaaah..walaah…!

Hmm…, ndak bisa diitung lagi deeh berapa anak yang udah “berteman dengan diriku.” Hihi. Halaaah, lebay! Bisa lahh, masa’ ga bisa diitung siiiih. Hehe. Selain yang menjadi pasien, ada buanyaaaak anak-anak yang ada di RS iniiih.

Eeh…, jadinya banyak belajar juga deeh. (ini diliyat dari sisi lainnya loh yaah. Walau bagaimanapun, diriku tetep ga sepakat anak-anak dibawa ke RS!). Rata-rata “yang kuincar” itu adalah anak-anak yang murnya 1 tahun lebih hingga 4 tahun lebih sikit (karena umur ini belom usia sekolah, jadinyaa lebih sering di RS. Kalo udah sekolah mah jarang karena mereka sekolah kan yah?)

Ada Cica, Ghea, Aisyah, Icha, Abib, Afi, Tiara, Hayati, Rafis, Adit, daaaaan lain sebagainyaaaaa. Hoo…sebagian lost memory niih, karena memang menghafal nama agak sulit. Heee…

Aku jatuh cinta banget itu setelah Cica adalah Aisyah. Masya Allah, itu anak bener cerdas banget! bener cerdas! Di umurnya yang masih satu tahun 5 bulan, dia udah kaya anak umur 2,5 atau 3 tahun ajah. Udah respon kalo ditanya. Udah bisa membangun komunikasi laaah. Lain lagi Abib dan Afi yang kakak beradik umur 4 dan 3 tahun. Masya Allah, Abib yang bener2 protektif banget, tipe abang yang meilindungi adeknya. Wah…wah… Gea juga. Ghea ini sempat mukulin aku pake lidi kuat-kuat. Haduuuh, sakit banget! tapi, kemudian malah berteman dekat dengan diriku dan sering godain aku. Lain pula dengan Rafis, yang benar-benar pemaluuuu banget. bahkan untuk disapa saja dia langsung sembunyi dibalik Bapaknya sambil nutup muka. Kalo Adit, cuek banget. disapa, dianya malah bengong natapin kita. Sulit untuk berteman. Lain pula dengan Hayati yang mau deket kalo udah sering-sering disapa. Dia sulit menerima orang baru. Hmm….kalau Tiara sih enak. Dianya mau bersahabat dengan kita.

Pokoknya seuuuunaaaaaaaaaaaaaaang banget kalo udah liyat mereka. Selain mengenal anaknya, tentu aku juga kenalan dengan orang tuanya dong. Heee…

Satu plajaran yang snagat berharga yang bisa kupetik dengan persahabatan dengan anak-anak balita itu. Tentang POLA ASUH! Yaaaaph, benaarrrrr, POLA ASUH ORANG TUA dan SIKAP ORANG TUANYA akan sangat mempengaruhi dan membentuk kepribadian anak serta bagaimana ia berinteraksi dengan lingkungannya.
Ketika orang tuanya cuek dan kurang bersosialisasi, maka anaknya akan sulit untuk menerima pertemanan. Yang suka curigaan, biasanya anaknya juga akan bisa akrab sama orang yang udah kenal lama saja. Yang terbiasa untuk “direndahkan” dang a pernah diapresiasi sama orang tuanya jadi minder begituuh. Kalo orang tuanya biasa bersosialisasi maka, anaknya pun tumbuh dengan baik dan gampang bersahabat. Allahu’alam inii menurut teorinya ada yang seperti ini. yang kutahu itu siih Dorothy Law yaah. Kalo Dorothy law ini mah, semua orang juga tahu. Tapiii, ternyata aplikasi di kehidupannya memang demikian keknya.

Contoh : Pernah ada seorang ibu yang kebetulan lagi bawa barang di kiri dan kanannya, lalu menutup sesuatu pake kakinya. Nah, suatu hari, si ibu menyuruh anaknya menutup benda itu lagi. Serta merta anaknya langsung nutup pake kaki jugah! Wah..wah…., anak memang plagiat pualiiiing hebat yaaah? Makanya BACK to POLA ASUH tadiiiii. Untuk teorinya, sok dibaca ajah di buku2 yang seabrek-abrek ituuuh! Ingat! Harus ada ilmu dulu sebelum amal! Jadiiiih, ga’ bisa hanya learning by doing ajah dong! Hehehe.

Read More

Jangan Bawa Anak ke Rumah Sakit


Wah..wah..., banyak anak-anak...
Judul di atas bukan bermaksud melarang anak-anak yg sakit buat di bawa ke RS loh...
Tapii,maksudnya, anak2 yang sehat wal afiat....

Hmm…satu hal yang menjadi hal yang cukup miris adalah adanya anak-anak (menurut WHO, kategori anak-anak adalah umur 2-12 tahun, heee…) di rumah sakit. Walaupun pihak rumah sakit telah memberlakukan peraturan agar ga bawa anak di bawah umur 12 tahun, tapi tetap ajah banyak orang tua yang membawa anak mereka. Humm…, bukan soal hak ‘azazi niih. “suka-suka aku dong, mau bawa anak ke rumah sakit atau mau kemanaaa ajah. Kan ga ada undang2 yang ngelarang! Lagian, ini rumah sakit punya bapakmu apa?!”.
Lho..loh…, kok jadi emosian siiy? Hehe.Gak ding. Mungkin ajah ada yg berpikiran demikian (loh..loh…cuujoon!). Hihi. Atau setidaknya, ada semacam pemikiran di benak orang2, “kenapa yaa gak boleh? Kan ini hak saya. Terserah saya dong, mau kemana. Dan lagi, saya ini kan “konsumen” di RS, jadinya, pembeli kan raja?” Hihi, imajinasi tingkat tinggi niih.

Nah..nah…, bapak, ibuuu, bukannya hendak melarang atau gimana yaah, daku siih sering “manggaritih” ngeliyat anak-anak yang lucu itu. Mereka yang tertawa riang, mereka yang berlarian ke sana kemari, memegang apapun tanpa pikir-pikir. Yang masih dalam “fase oral” (kan perkembangan anak itu ada 3 fase, yaitu fase oral, fase anal dan fase genital kan yaah?). di fase oral ini, dia akan memasukkan apapun ke mulutnya. Waaah…, justru sebenarnya kasihan sama anak-anaknya. Namanya juga rumah sakiiiit yang berkumpul berbagai macam orang sakiiit.

Nah..nah…, di RS itu, apalagi yang bangsal interne yang didalamnya ada terdapat banyak pasien2 yang terinfeksi, baik itu typus, hepatitis, TBC, dan lain sebagainya. Apalagi penyebarannya lewat oral dan pernafasan. Jadiii, membawa anak-anak ke RS itu sama dengan “mengantarkan anak kepada penyakit” secara tak langsung. Aihh, kasihan anak-anaknya! Diriku ajah yang udah ga anak-anak lagi (heee…udah 23), kadang-kadang masi mikir2 jugah mau masuk ke ruang yang ada pasien yang terkena infeksinya. Apalagi TB yang amat gampang pindah. Satu kali droplet dari pernafasan yang keluar ada 3000 kuman di dalamnya. Bukan berarti aku nyuekin pasiennya loh yaah. Tapiii, ada prefentif dululaaah. Okelah kalo kita atau ngerasa anak2 kita itu punya imunitas yang cukup kuat, tapiiiii, siapakah yang bisa menjamin?

Makaaa, kusarankan siiiih, jangan bawa anak-anak ke Rumah Sakit. Apalagi Cuma buat menjenguk saja. sayang banget! kalo masih bisa diselamatkan (lho, koq diselamatkan yaaah?? Di cegah, atuh!) mending dihindari duluu.
Read More

Kepergiannya, Meninggalkan Nasihat Untukku


“Detik, jam, hari, bulan, tahun berlalu… Jatah hidupku semakin berkurang. Bau-bau kematian semakin hari semakin mendekati hidungku. Penyakitku… ya, memang, penyakit adalah salah satu penyebab aku ingat mati dalam usia belia. Namun, aku betul-betul tak ingin ingat mati hanya karena penyakit. Tapi, aku selalu ingin mengingatnya karena Allah, yang membuatku semakin hari semakin menambah dan memperbaiki ibadah serta kebaikan. Karena maut tidaklah datang hanya pada orang yang berpenyakit, tapi pada setiap makhluk yang tak tahu kapan dan dimana.”

Kutatap Tulisan Itu. Lama. Tak terasa bulir-bulir itu kembali menganak sungai. Sungguh, sebenarnya aku tak ingin menangis. Tak ingin. Tapi, aku tak dapat membendungnya.

*****

Malam itu, rumah tiba-tiba menjadi ramai. Bukan! Bukan tamu biasa! Walaupun rumah selalu ga pernah sepi dari tamu, tapi kali ini berbeda. Mereka hanya ingin melepas kepergiannya untuk melanjutkan pengobatan. Ke pusat regional Jantung, RSUP M.Djamil Padang.

Kondisinya cukup parah. Ada tachycardia. Ada udem. Ada nafas yang tersengal. Digoxin tak lagi mampu menahannya. Organ paling penting itu berdenyut jauh lebih cepat dari biasanya. Tapi, satu yang ga dia lupa. Allah.

Esoknya, yaaah…esoknya ia akan melakukan control di pusat regional jantung RSUP M. Djamil, bukan lagi di Yayasan Jantung Indonesia seperti biasanya, ditemani ibu dan ayah. Yang biasa rutin untuk dilakoninya sejak kelas IV SD. Tapi kali ini, agaknya lebih parah dari sebelumnya.

Umurnya, sungguh kala itu masih sangat belia. Menjelang sweet seventeen. Seumuran remaja yang sedang menjacari jati diri. Remaja di masa pubertas. Di masa adolensia. Tapiii, dia jauh lebih mengenal jati dirinya! Jauh lebih mengenal bahwa dia hanyalah seorang hamba Rabbnya. Prestasinya dalam mengenali jati diri ini sungguh jauh meninggalkan teman-temannya yang kala itu masih memikirkan dunia remaja yang gemerlap, membicarakan cowok, mengoleksi berbagai majalah remaja, dandanan dan apapun itu yang berhubungan dengan kemasakinian remaja. Juga, jauh di atasku! Aaah, dia sudah sangat jauh dari itu! Sudah sangat jauh!

Otaknya yang cemerlang! Ia sungguh jauh lebih baik dariku. Lebih dewasa dariku. Lebih cerdas dan jauh lebih berakhlak mulia ketimbang aku. Dia juga sangat mencintai anak-anak, jauuuuh melebihi aku! Dengan kondisi kesehatannya yang bermasalah sehingga harus mengkonsumsi obat seumur hidup dan harus meninggalkan sekolah setiap bulan untuk cek-up, dia masih berhasil untuk menjadi pemuncak sekolah. Dia, seorang juara umum! Kecerdasan yang bagiku luar biasa, bahkan ketika kondisinya tidak lebih baik dari temen satu sekolahnya, teman2 sekelasnya dia masih bisa meraih posisi puncak…

Dia juga berhasil memenej emosionalnya. Ia lebih dewasa dariku. Perhatikan tindakannya, ketika salah satu teman sekelasnya memberi tahu bahwa ada yang memandangnya dengan tak bersahabat, dan temannya itu membela dia. Tapi dia malah mengatakan, “Sudahlah, sangat berpikiran negative dulu sama teman itu sebelum kita mengenalnya lebih dekat.” Dan benar saja, Setelahnya, mereka malah bersahabat dengan teman itu. Di lain hal, pernah ada seorang temannya yang laki-laki yang sekelas dengannya menelfonnya. Kebetulang yang mengangkat telfon adalah ibu. Tapi, si teman cowoknya itu menganggap yan menjawab adalah dia. Temannya itu mengucapkan kata-kata puitis begitu, hingga akhirnya ibu bilang kalo ini ibu, bukan dia. Langsung telpon ditutup dengan segera, mungkin karena teman cowoknya itu malu. Besoknya dia tetap pura-pura tak tahu atas sikap teman cowoknya itu, agar temannya tidak merasa malu. Ah, dia sungguh bijaksana.

Mari kuceritakan bagaimana aktifitas sehari-harinya. Pagi-pagi sekali, sebelum subuh melaksanakan qiyamullaial. Lalu ba’da subuh, dia tilawah dan membaca pelajaran yang akan diajarkan hari ini. Lalu, ke sekolah hingga sore. Malamnya, ba’da maghrib, dia mengajari adik2 membaca AL Qur’an. Lalu, menuliskan hafalannya di papan tulis. Baru ba’da isya dia belajar lagi. Tampaknya, dia sungguh menikmati aktivitasnya itu, betapapun kondisinya tidak lebih baik dari manusia sehat lainnya.

Maka, pagi itu sebelum keberangkatannya menuju Padang…pagi yang tak biasanya, pagi yang…bagiku kelabu. Gerimis. Sungguh, ada gerimis di hatiku.

Ia terbaring satu bulan lamanya. Perlahan, kondisinya mulai membaik. Tak ada udem lagi. Meski jantungnya mesti harus bekerja lebih keras.

Aku bahagia! Aku bahagia dengan perkembangan kondisi fisiknya yang mulai membaik. Setidaknya sama dengan kondisi ketika hari-hari biasa. Kunikmati hari-hari yang sejenak itu bersamanya. Kami bercerita. Kami tertawa. Menertawakan masa kecil kami yang ceria. Berceritaaa apaaa sajaa. Saling menyetorkan hafalan (dan hafalanku yang sangat tak seberapa!)

Tapi…, tiba-tiba, gerimis kembali datang. Kondisinya kembali memburuk. Ooh, ada udem lagi. Dan, lagi-lagi dia harus dibawa ke Padang. Lagi-lagi. Aku tak bisa ikut menemaninya, betapapun sangat inginnya aku. Aku harus kembali ke asramaku. Aku harus kembali belajar, dan tak ingin dia mengganggu belajarku.

*****

Sehari sebelum cek up lagi ke RSUP M. Djamil, Padang, ayah, ibu dan dia masih sempat bercengkrama kecil. Ayah membelikannya majalah Hidayah. Kala itu ada kisah tentang kematian. Keinginannya untuk makan mulai meningkat. Ayah dan ibu bahagia kala mengetahui dia mulai mau makan dan membelikan beberapa potong mangga, seperti yang diinginkannya.

Esoknya, kondisinya sudah semakin menurun, meskipun kesadarannya sangat bagus! Sangat bagus! Di kala orang-orang dengan kondisi demikian sudah pada tingkatan kesadaran soporous (tak mengenal lagi kondisi sekeliling), dia justru masih sangta sadar.

Siang di RSUP M. Djamil, sang dokter menjelaskan, “sebenarnya sudah cukup terlambat untuk dilakukan operasi, tapi insya Allah masih bisa. Kita bisa datangkan dokter dari Harapan Kita asalkan sudah ada lima orang yang berpenyakit sama. Dan sekarang baru ada tiga orang.”

Ayah berkata, “Kami tak mau menunggu lagi, Pak. Biar kami saja yang langsung ke Harapan Kita.”

Dan, siang itu, dilakukan semua urusan administrasi sebagai rujukkan ke Harapan Kita. Dalam pilu, ada secercah harapan di hati ayah dan ibu, “Insya Allah ada harapan untukmu sembuh, Nak.” Kata Ayah dan Ibu.

Sore itu, dia, ayah dan ibu kembali ke penginapan lagi. Tapi, tiba-tiba, kondisinya sudah semakin parah.
“Ibu, ayah, aku merasakan kesakitan di seluruh badanku. Perutku…perutku…, sakit sekali.”
“Sabar ya Nak.” Ibu dan ayah sudah bercucuran air mata. Tidak tahu lagi harus berbuat apa. Tapi, justru kemudian, dia yang mengingatkan ayah dan ibu untuk tidak bersedih.

Setelahnya, dia minta diantarkan untuk berwudhu’. Ayah dan ibu menggendongnya ke kamar mandi.
“Apa yang kau rasakan, Nak?” Tanya ayah.
“Aku tidak punya daya lagi ayah, ibu…” katanya.

Beberapa saat setelah itu, dia pun melakukan sholat. Masya Allah, ketika sholat itu, justru..justru sangaaaaaaaaaaaaat tenang sekali.

Setelah selesai sholat, tiba-tiba kembali ia merasakan kesakitan di seluruh badannya. Ia berpegangan pada ayah dan ibu. Dalam tertatih, dia mengatakan,
“Ayah…ibu…, maafkanlah segala kesalahanku. Do’akanlah aku dimudahkan untuk menghadapi sakaratil maut.”
Tangis ibu semakin pecah.
“Sudahlah Bu, kita ikhlaskan yaah.” Kata ayah, pun dengan tangis.
“Nak….ingat Allah yaaa.”
Dan dia masih sempat menjawab, “Ya ayah…”

Allah….
Allah….
Allah…
Allah…
Kalimat itu terus diucapkannya...terus…dan terus…, tak terputus lagi…hingga pada tarikan terakhir dia berpegangan sangat kuat pada ayah dan ibu, menahan sakitnya sakaratil maut yang sangat luar biasa.

Innalillahi wa inna ilaihi rooji’un,
Dia kembali dengan menyebut nama Allah…
Pandangan matanya, mengikuti arah kanan sebelum keduanya terkatup untuk selamanya. Lalu, di bibirnya… Masya Allah, terukir senyum….terukir senyum yang sangat indah!

Sangat indah…
Masya Allah…
Sungguh, dia pergi dengan kepulangan yang indah. Dengan akhir yang sangat indah. Seusai sholat. Seusai meminta maaf dan keridhaan orang tua. Dan dengan menyebut nama Allah…

Wahai Allah, tempatkan dia di tempat yang mulia di sisi-Mu ya Rabb. Ya Allah…

*****

Aku –ketika menerima berita duka yang teramat sangat itu—berada di perpustakaan daerah. Sungguh, aku tak dapat mencegah bulir-bulir yang menganak sungai itu lagi. Sungguh!

Perjalanan 6 jam untuk sampai di rumah, di kampung, terasa sangat lama bagiku. Sangat lamaa.
Aku…sungguh sangat ingin bertemu jasadnya. Untuk terakhir kalinya.

Ooh….
Terpaku aku dihadapannya. Dihadapan tubuh kaku itu. Di hadapan seseorang yang jauh lebih menginspirasiku ketimbang siapapun yang pernah aku kenal. Ia lebih dari skedar saudara, lebih dari sekedar adik. Ia juga sahabatku! Dan, ia bahkan jauh lebih baik dari sahabat! Bagiku, dia adalah separuh jiwaku. Rahasiaku adalah rahasianya. Aku mencintainya. Tapi… Allah jauh lebih mencintainya

Aku tatap tubuh kaku itu. Tubuh kaku dengan seukir senyum di bibirnya. Wajahnya putih bersih.

Tiba-tiba saja, kenangan itu menyeruak di benakku tanpa bisa kucegah,

“ipi, yuuk…kita saling sambung menyambung hafalan.” (kala itu, bahkan dia punya hafalan lebih banyak dari aku, padahal dia tidak tinggal di lingkungan asrama yang mengharuskan semua orang menghafal. Tapi, azzamnya jauh lebih tinggi ketimbang aku. Dan, dia menerapkan metode sambung menyambung hafalan, untuk muraja’ah. Misalkan An-Naba’, dia ayat pertama, aku ayat kedua, dia ayat ketiga, aku ayat keempat…dan seterusnya. Dan, kala itu hafalanku belum sejauh dia, maka pada akhirnya dia yang menyelesaikannya, karena kau tak lagi hafal.”

Kenangan itu kembali berputar… “ipi, sabar yaaaah. Pasti akan ada hikmahnya.” Ketika aku mengeluh, kesal dan marah.
“Ipi…, semoga ipi semakin bejaksana dalam mengarungi samudra kehidupan ini.” (ini pesannya di ulang tahunku yang ke-17. Sebuh hadiah terindah sekaligus hadiah terakhir darinya)
“ipi…di Al Ma’sturat ini, ada do’a untuk minta disehatkan jugah yaah. Pengin baca dulu aaah”
“ipi…, tolong ambilkan jilbab yaaa, takutnya nanti ada tamu laki-laki menjenguk. Pengin pake jilbab terus biar ndak susah lagi pake-pakenya kalo tamunya datang.” “ipi…”
Yah…., “ipi”, panggilan special darinya!!

Aaah….
Bulir bening itu semakin menganak sungai…

Aku berdo’a, semoga dari ratusan orang yang ikut menyolatkan jenazahnya itu, dapat membebaskannya dari siksa kubur.

Kini, 6 tahun sudah masa itu berlalu. Sejak April 2004 yang lalu. Kini sudah april 2010. Kutuliskan ini, bukan berarti aku tak mengikhlaskan kepergiannya. Bukan! Allah lebih mencintainya, dan Allah lebih tau apa yang terbaik untuknya. Tapi, aku hanya ingin, kisah kepergiannya ini mengingatkanku, mengingatkan bahwa aku PASTI akan menyusulnya. Dan, aku pun ingin, kisah kepergiannya ini menjadi inspirasi bagi siapapun yang membaca kisahnya.

Akankah akhir kehidupanku bisa sepertinya jua?
Akankah?


Sungguh, aku tuliskan ini, sebagai pengingat, terutama bagi diriku bahwa jika aku hendak “mendesain” ending yang baik dari kehidupan ini, maka butuh ikhtiar. Sungguh, dunia ini hanyalah sejenak. Sejenak, tapi sangatlah menentukan! Menentukan akan kemana nantinya.

Ya Allah, jadikanlah aku orang yang senantiasa Engkau jaga ya Rabb…Sungguh, tak ada yang dapat menjagaku selain Engkau…

*****

Untuk Yuna-ku sayang, kenangan indah bersamanya yang mungkin takkan terlupa. Aku pun ingin mengakhirinya dengan cara yang indah, Dek. Aku pun sangat ingin mengakhirinya dengan indah… sama sepertimu.
Read More

Rehat Sejenak Aaaah... ^___~


Akhir-akhir ini aku (pikiranku) sering”mengembara” entah ke mana. Sebenarnya, aku ga perlu menyempatkan diri untuk onlen-onlen sesering ini (lebih sering dari minggu2 sebelumnya), sebab ada tumpukkan tugas yang “berteriak-teriak” minta dikerjakan. Tapi, sekali lagi, pikiranku bukan sedang hendak tertuju pada tumpukkan tugas itu. Pada case study repo(r)t yang semestinya lebih gigih kucari, bahas dan diskusikan agar kesalahaan-kesalahan di seminar study kasus yang sudah-sudah tidak terulang lagi. Apalagi, giliran kali ini, case yang mesti diangkat itu juga adalah kasus pasienku yang notabene aku mesti lebih paham. Tapii, sekali lagi, entah kenapa, baru beberapa jenak aku melalukkan searching2 dengan key word “hipertorodism and limfadenitis TB”, aku tiba-tiba saja sudah beralih ke tags lain. Melirik2 blog orang lain, mengambil plajaran dari mereka-mereka. Atau sekedar membaca curhat-curhat mereka.

Aaah, semakin kusadari, bahwa satu hal yang paling membuatku bertahan di rumah sakit ini adalah : PASIENNYA. Bagiku, mengenali mereka, berinteraksi dengan mereka, menyapa, menanyakan “sudah makan obat, Bu?” atau sekedar mendengar curhat-curhat mereka mengenai kondisi penyakit mereka –yang walaupun cerita yang diulang-ulang—adalah hal yang memberikan kebahagiaan tersendiri. Aku bahagia ketika bisa membahagiakan mereka.

Sebaliknya, pun banyak plajaran yang bisa kuambil. Sungguh, begitu banyak muhasabah di rumah sakit ini. Setidaknya, membuatku dapat sedikit meng-update rasa syukur atas nikmat yang Allah berikan. Setidaknya…

Hayyuu, Fathel, bersemangatlah!
Bersemangatlah!
Tunjukkan bahwa muslimah itu cerdas! Tunjukkan bahwa muslimah itu juga mesti punya ilmu! Tunjukkan bahwa kau mampu melewati masa dormansi, hiberasi dan masa ke-mengalay-ngalay-anmu dengan sebuah semangat baru! Cibirkan setan malas, dan katakana padanya, “Aku harus lebih menang darimu!”
Read More

Koq Obatnya Cuma Satu?


Hmm…saat mengunjungi pasienku, tiba-tiba aku dicegat oleh pasien lain (yang bukan jadi tanggungjawabku, heee.. Tapi aku senang banget cerita2 sama pasien inii, makanya lebih sering cerita2 sama aku. Heee..).

“Dek, ini gimana cara makannya ya Dek? Harus sebelum makan yah? Kemaren dimunumnya sesudah makan.”
Aku meraih botol yang disuguhkan si Uda, suami pasienku itu.
Hmm…sukralfat, pikirku. “Ini satu jam sebelum makan atau dua jam sesudah makan yah Uda, Uni, agar obatnya bekerja lebih efektif.” Aku jelaskan.
“Ooh, begitu yaaah? Dek, sakitnya parah, kok Cuma dikasih satu macam obat yah? Bisa maintain obat yang lain ga?”
“Wadduh, itu bukan wewenang saya, uda. Yang bisa meresepkan Cuma dokter. Jadinya, nanti uda sampaikan saja keluhan2 yang dirasakan uni ke Bapak Dokternya yaah?”
“Ooo…makasih Dek.”
“Iya, sama-sama Uda.”

Karena ada yang mesti kukerjakan, jadinya aku ga berlama-lama di hadapan pasien itu. Aku kembali ke “markas” dan berjumpa dengan temen2 sesama praktek lainnya.

Hanya saja, ini yang kemudian menjadi tanda Tanya besar dalam benakku,
“Kenapa paradigm masyarakat itu, kalo ga banyak obat, ga sembuh? Kenapa coba?”
Padahal, jika bisa diminimalisir dengan satu terapi saja, dengan satu jenis obat saja, Sungguh lebih baik kalo menggunakan satu jenis obat saja. sebab, banyak obat, juga akan banyak sampingan2nya, dan memungkinkan juga interaksinya. Kalau aku siih, jika masih bisa diatasi dengan terapi non-farmakologis (yang ga pake obat2an), semisal dengan memperbanyak istirahat, dengan banyak2 konsumsi buah, maka aku lebih memilih untuk tidak usah makan obat saja.

Persepsi kedua, kenapa banyak orang yang beranggapan, kalo makan obat itu SESUDAH MAKAN. Nah loh?? Padahal, sebenarnya obat itu sebaiknya malah dikonsumsi tanpa makanan karena memungkinkan adanya interaksi dengan makanan atau menurunkan absorbs obat itu sendiri. Nah, untuk obat2 tertentu yang dapat mengiritasi lambung atau yang obatnya rusak oleh asam lambung, barulah dimakan setelah makan.

Nah…nah…, sebenarnya farmasis sangat berperan di sini! Tapiii, selama ini kan ga gituuh. Makanya, perlu adanya education dari farmasis kepada masyarakat, agar kesalahan di dunia perubatan dapat dikurangi. Semoga farmasis ke depan dapat mengambil peran dan melaksanakan fungsinya sebagai seorang farmasis yang sesungguhnya.
Read More

Tetaplah Berbaik Sangka Pada-Nya


Tetaplah berbaik sangka pada Allah…
Tetaplah…

Ingatlah…
Allah tak akan memberikan beban di laur kesanggupan pundakmu…

لاَ يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسا ً إِلاَّ وُسْعَهَا لَهَا مَا كَسَبَتْ

Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebaikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya
(Qs.Al Baqaroh : 286)

Ingatlah… Bahwa, belum dikatakan beriman seseorang, jika ia belum diuji…


أَحَسِبَ النَّاسُ أَنْ يُتْرَكُوا أَنْ يَقُولُوا آمَنَّا وَهُمْ لاَ يُفْتَنُونَ

“Pakah manusia itu mengira akan dibiarkan saja mengatakan “kami telah beriman” padahal mereka belum diuji.”
(Qs. AL Ankabuut : 2)

Ingatlah…
Ujian, adalah salah satu wasilah untuk “naik tingkat”…

Duhai, berbahagialah kau dengan garansi yang Allah beri…
Meski Allah lebih menyukai muslim yang kuat, tapi Allah pun memberikan garansi itu kepada orang-orang yang lemah (sakit).
Tidaklah seorang muslim tertimpa derita atau perkara lain, kecuali Allah hapuskan dengannya kejelekan-kejelekan (dosa-dosanya)sebagaimana pohon menggugurkan daunnya.
(HR. Muslim)

Duhai, berbahagialah.
Karena sakit bukan suatu kehinaan. Bukan!
Bisa jadi, ini salah satu cara Allah untuk menggururkan dosa-dosa hamba-Nya…

Jadikanlah sabar dan syukur sebagai perisaimu.
Meski tak semudah kata, tapi bisa jadi ini salah satu cara yang melatihmu untuk memiliki keduanya…

Duhai diri, jagalah Allah selalu…di hatimu…, berprasangka baik pada-Nya, menerima segala keputusan-Nya. Mudah-mudahan Allah meridhoimu. Dan, adakah yang lebih kau cari selain keridhoan-Nya?
Read More

Update Status


Onlen..onlen…
Update status lagi…hihi…

Kalo persepsi kebanyakan “update status”itu adalah mengapdet status di pacebok, twiter, yahoo profil, prenster, dan sejenisnyaaaaa, maka upsate status versiku (dan versi kami para anak PKP, hee…) adalah mengupdate status pasien. Hehe.

Status pasien itu adalah istilah rumah sakit untuk medical record atau rekam medis. Nah, setiap saat (pagi, siang, malam dan ketika dokter visite), status itu selalu diupdate, bagaimana perkembangan pasiennya, terapi apa yang diberikan, adakah reaksi, catatan pemberian infuse, pergantian obat, hasil data lab, riwayat penyakit de es be. Nah, kerjaan kami adalah biasanya ikutan mengupdate status itu lalu menyalinnya ke buku2 notebook. (hehe, sering “rebutan” status niih sama anak perawat).

Aaih, ingat update status, maka aku ingat pula tentang suatu update status yang benar2 sangaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaat update sekali. Apapun. Bahkan setiap detiknya. Selalu diupdate.

Status siapa?
Yuup, tentu saja status kita!
Status kita yang dicatat oleh Malaikat Raqib dan Atid, yang saaangaaat update dan detil. Apapun itu…,

وَإِنَّ عَلَيْكُمْ لَحَافِظِينَ(10) كِرَاما ً كَاتِبِينَ(11) يَعْلَمُونَ مَا تَفْعَلُونَ(12

“Dan sesungguhnya bagi kamu ada malaikat-malaikat yang mengawasi pekerjaanmu, yang mulia yang mencatat perbuatanmu. Mereka mengetahui apa yang kamu kerjakan.”
(Qs. Al infitar : 10-12)

Maka, semoga yang ada di status kita adalah status-status yang baik saja. aamiiin. Semoga inisemua jadi plajaran bagi kita bahwa ada yang selalu mengupdate status kita sehingga kita menjadi hati-hati dalam melakukan segala sesuatu. Kendatipun kita bisa bersembunyi dari manusia, tapiiii, Allah dan malaikat-Nya melihat kita.
Read More