Cerpen
Aku tak habis pikir dengan pasien yang satu itu. Terakhir kulihat, keluarganya datang dengan sebuah mobil mewah yang harganya…entahlah, jikapun digadai semua jualanku, barangkali ga cukup buat beli rodanya saja. Tapiii, kenapa dia malah ditempatkan di bangsal kelas tiga saja? kenapa tidak memilih kelas utama atau VIP saja sekalian? Ah, entahlah…. Aku hanya seorang penjual makanan kecil. Buat apa aku harus tahu urusan mereka.
Hingga, suatu hari, ketika aku sedang terkantuk-kantuk menunggui jualanku di salah satu sudut di rumah sakit ini,seseorang mendekat. Menyapaku.
“Ehh, apa?” aku terkesiap.
“Maaf mengganggu, Bu.”
“Hoo..ndak apa-apa. Silakan…silakan…, mau beli apa? Risoles, bakwan, peyek, kacang, lapek nago sari?” Aku berusaha melayaninya dengan jenaka. Tapi, si pengunjung malah mematung. Pasien itu….ya pasien itu, yang duduk di atas kursi roda itu, sedang berusaha tersenyum geli ke arahku. Hmm….memangnya ada yang aneh dariku? Sementara anaknya yang mendorong kursi roda, hanya diam saja. datar, nyaris tak berekspressi.
“Bagaimana kondisinya bu? Gimana dik? Si ibu sudah baikan?” aku menoleh pada wanita muda yang mendorong kursi roda. Wanita necis yang elegan. Dari tubuhnya, tercium aroma wangi parfum mahal. Sepertinya harga parfumnya lebih mahal dari hasil penjualanku seharian.
“ini Bu, entah kenapa, ibu saya malah minta di antar ke sini.” Si wanita itu menjawab datar.
“Hoo iya? Ibu kangen saya yaaah?” aku mencoba mencandai wanita paruh baya di kursi roda. Wanita itu tersenyum.
“Bu, saya titip ibu saya sebentar ya. Saya mau ke depan.”
“Iya, Dik.”
Wanita itu berlalu dengan gaya jalannya yang juga anggun. Meninggalkan aroma wangi dari parfum berkelas.
“Saya iri padamu.” Kata si ibu di kursi roda dengan suara pelan. Tapi, setidaknya indra pendengaranku masih bisa menangkap gelombang suara itu.
“Wah….tidak salah nih Bu? Saya orang miskin begini. Untuk hidup satu hari sajaa, susaaaaah.” Aku berkata jujur. “Kalau ibu, wah enak yaah. Rumah mewah. Mobil mewah. Anak2 yang cantik. Ga ada yang peru ibu risaukan lagi.”
“Saya memang diberikan-Nya kelebihan harta. Tapi, saya tidak bisa menggunakannya. Lalu buat apa? Saya bisa membeli villa mewah, tapi saya tidak bisa menikmatinya. Saya tidak bisa tidur dengan nyaman. Saya bisa membeli makanan apapun, tapi saya tak bisa menikmatinya. Makan saya harus ditakar denagn lauk-pauk yangs ama sekali tak enak. Saya bisa saja pergi ke mana-ama dengan uang saya, tapi kaki saya sudah lumpuh begini. Semuanya mengajarkan kepada saya bahwa nikmat kesehatan itu jauh lebih berharga dari semua itu. Jauh lebih berharga dari apa yang saya punya saat ini. kekayaan? Huh.., percuma saja jika saya tak dapat menikmatinya. Dan lagi, kekayaan tak membuat saya bahagia. Justru saya iri padamu, yang bisa menikmati tawa, bisa bejalan kemana-mana meskipun kau katakana kau tak punya apa-apa. Tapi, sehat itu sungguh asset yang sangat berharga.”
Aku tercenung. Wah…benar juga!
“Jangan pernah nilai kekayaan sebanding dengan kebahagiaan. Karena kebahagiaan itu letaknya di sini, di hati ini. Berbahagialah. Syukuri apa yang ada.” Pesannya.
“Kau tahu, kenapa aku memilih kelas tiga? Bukan karena aku ga sanggup membayar VIP atau lebih dari itu. Tapi, karena aku ingin bersama mereka juga, orang-orang yang juga terbaring sakit. Setidaknya, mereka mengajariku untuk bersyukur bahwa masih banyak yang lebih parah dari aku. Ini semua membuatku bisa menyukuri setiap ujian yang Allah beri.”
Beberapa saat kemudian setelah anakknya yang anggun dan elegan itu datang, dia meninggalkanku. Kembali ke bangsalnya. Meninggalkan banyak pelajaran untukku.
0 Comment:
Post a Comment
Feel free to accept your comment. Spam comment will be deleted and blocked