Upgrade Rasa Syukur Yuk...

Mari meng-upgrade rasa syukur kita yuuk. Ngajakin diri sendiri terutama. Hee....
Dulu waktu aku masih sekolah maupun kuliah S1, yang namanya penyakit publik figure (loh?) hanya kutemui dalam bentuk manuskrip maupun teksbook, yaa seenggak-enggaknya jurnal. Maksudku penyakit publik figure bukanlah penyakit orang yang ngebet pengen jadi artis, tapi adalah sesuatu yang kutemukan hanya di teksbook-teksbook dan rasanya sulit untuk ditemui di dunia nyataku yang memang orang kampung. Hihi... Saking publik figure nya, aku hanya bisa membacanya lewat buku saja, lewat textbook atau bahkan di televisi saja (yang kebanyakan di filem-filem apalagi sinteron suka ngacooo, hihihi) tanpa berjumpa kasus nyatanya. Sebagai contoh saja, penyakit hemofili. Hemofili itu sendiri aku baca sejak masih SMA dulu yang kisah klasiknya itu adalah di kerajaan Inggris. Pernah baca nda sih? Yang pernah SMA sih kurasa tau lah yaaa... Atau, kisah klasik pendonor ginjal di tipi-tipi yang sering kita saksikan? Hehe... kalau aku sihh sejujurnya, sebagai orang kampung, tidak pernah berjumpa penyakit-penyakit public figure semacam itu. Hanya skedar tau dan pernah dengar.

Tapi, pas lagi masuk bangsal sekarang, aku berjumpa banyaak sekali penyakit public figure yang complicated. Mereka adalah pasien-pasien rujukan yang datang dari berbagai daerah yang biasanya sudah tak tertangani lagi di rumah sakit di daerah mereka. Ternyata aku berjumpa nyatanya. (kedengarannya ko kolot amat yak? hihihi...ya biarlaahh!). Aku dengerin nama sakitnya ajaah nih yaa udah berkerut tujuh nih jidat. Kaya AVMs, PDA, VSD, SNRS, de es be. Kamu juga bingung kaaan yaahh? Hihihi... Nyari temen! Kalo gula, tensi tinggi, kolesterol, itu mah udah sering berjumpa kalii yaahh. Heuu...

Well, aku tak akan bercerita banyak soal penyakitnya (loooh?? kurang banyak apa lagi sih Fatheeeell? heuuu). Yang menarik untuk kuceritakan justru adalah tentang after effect dari itu semua.

Begini, jika kamu hari ini masih bisa menikmati makan enak, mengunyah lauk, meneguk segelas jus, atau apalah itu, maka jangan pernah remehkan itu. Itu bukan sesuatu yang biasa-biasa saja yang menjadi suatu kemestian. Tapi, lihatlah. Ada orang yang makanannya harus dimasukin secara langsung ke lambungnya. Jadi dibikin lubang diperut dan makanan langsung dimasukan ke sana. Enakkah? Sungguh, dia tak dapat merasakan enaknya makanan, pahit manis asam asin gurih nya si makanan. Dan, bukankah nikmatnya makan itu ada di mulut saja? Enakkah terasa jika ia sudah sampai kerongkongan? Dan, sungguh...nikmat mengecap itu adalah nikmat yang luar biasa dari-Nya.

Jika kau dapat (maaf) buang air besar dengan leganya, maka bersyukurlah. Sebab ada orang yang harus dibuatkan stoma di perutnya untuk mengeluarkan zat-zat yang tidak diperlukan tubuh. Maka, bisa BAB dengan cara normal, itu adalah suatu yang patut kita syukuri yang mungkin selama ini kita anggap adalah suatu kemestian belaka, "ya, memang semestinya begitu kan?" mungkin begitu kita berpikir.

Jika kamu dapat lari-lari, jatuh dan lebamnya dapat sembuh sendiri, maka bersyukurlah. Sebab, ada orang yang tak dapat menikmati itu semua. Bahwa dengan kesenggol bola saja mereka harus dirawat di rumah sakit karena pendarahan yang hebat hanya karena luka yang tak seberapa. MUngkin kamu tegores cutter masih belum apa-apa, tapi mereka, butuh transfusi darah hanya karena luka cutter bahkan lebam dan luka yang bagi kita dapat sembuh dengan sendirinya.

Dan jika kau masih dapat menghirup udara dengan bebas sebebas-bebasnya, maka bersyukurlah. Sebab ada orang yang harus dibantu bernafas, dan oksigen yang mereka hirup mesti bayar dulu. Padahal, mungkin bisa bernafas bagi kita adalah hal yang sangat sederhana. Bahkan suatu kemestian bagi sesiapa saja makhluk hidup.

Ya begitulah, mungkin kita(terutama aku) lupa bersyukur, bahkan untuk hal-hal yang sering luput dari pemangamatan kita karena menganggap itu semua adalah hal yang semestinya dan biasa-biasa saja. Padahal, begitu besar nikmat-Nya itu...pada diri kita....

Semoga ini meng-upgrade kesyukuran kita, atas nikmat-Nya yang tak ternilai harganya....
Read More

Dilema (Jilid 2)

Hemm....without the prolong prolog, aku mau lanjutin kisah DILEMA yang sudah aku tulisin sebelumnya. Hemm.... Mungkin kamu juga sudah tahu, bahwa berada di kereta pagi dan sore adalah sesuatu bangeeettt. Hehe... Jika tak terbiasa naik KRL, sebaiknya urungkan niat naik KRL di jam-jam padat penduduk ehh penumpang (jam 6-an sampai jam 7.30 dan jam 5-an sampai jam 7.30 malam). Sebab, mungkin kamu akan menjalani 'siksaan' kegencet yang menggenaskan. Hohoho.

Nah, lalu apa hubungannya dengan kereta?
Begini, di kereta, aku sering berjumpa ibu-ibu wanita carrier (baca : karir), hihihi.... --karrier mah pembawa 'sesuatu' kali yah, hihihi-- yang berangkat pagi dan pulangnya malem. Ya, kalo pulang sekitar jam 7-an dari Jakarta, nyampe Depok itu sekitar 1 jam-an dan Bogor itu sekitar 1,5 jam lagi. Itu kalo rumahnya deket stasiun. Kalo rumahnya masih jauh lagi, semisal daerah Bogor Coret, atau daerah Cimanggis dan sononya lagi untuk Depok, maka mungkin nambah setengah sampai satu jam lagi. Nyampe di rumah jam berapaaaa? Mana pagi-pagi, abis sholat subuh sudah harus berangkat kerja lagi? So, kalau dipikir-pikir nih ya, kapan yaa waktu buat anak-anak?

Suatu ketika, aku pernah mencuri denger telpon seorang ibu di kereta gerbong wanita. Bukan hanya aku, sak gerbong-gerbongnya juga denger sih, soalnya volume suaranya bisa dibilang cukup keras.Hehehe...
"Teh, tolong ke rumah ya. Saya pulang telat nih, ndak ada yang jagain anak-anak. Tolong yaa..."
"La...la...la...la..."
"Iye, aku pulangnya telat nih. Dari Jakartanya telat. Tolong ya. Sialakan ajah kalo kamu mau makan di rumah, makan ajah ya."
Ya, lebih kurang begitulah...
Itu salah satu sampel saja dari sekian banyak sampel. Tak jarang juga aku mendengar obrolan seputar anak dan sekolah mereka yang menjadi trending topic pada ibu-ibu di KRL (yang suka bawa kursi lipat <-- haha nda penting amat yang iniih mah!).

Di satu sisi, kita membayar seorang pembantu buat ngurusin keluarga, ngurusin anak. Lalu kita bekerja. Tapi, di sisi lain, sebenarnya alangkah lebih baik lagi jika uang buat pembantu itu kita delete dari list pengeluaran dan kitalah yag mengambil peran itu. Bukan peran pembantunya loh ya. Tapi, the point is peran orang tua terhadap anaknya. Mungkin gaji pembantu tak sebanding dengan gaji para orang-orang di perusahaan tertentu. Tapi, gaji pembantu + pendidikan anak belum apa-apanya jika dibandingkan dengan gaji perusaan berkelas + prestise yang didapatkan.
Maksudku, jika kita pake itung-itungan laba ala pedagang, sebenernya untungan mana sih antara kita bekerja+nge-gaji pembantu dibandingkan kita tak menggaji pembantu dan stay at home?
Kalo dirumusin lebih kurang begini :

Gaji Kita + Prestise dan Aktualisasi diri > atau < atau = gaji pembantu + ngurusin anak?

Mungkin secara tangible valuenya, gaji kita (>4 juta) akan jauh lebih besar dari pada nge-gaji pembantu ( 750rb lebih atau kurang). Tapi, bagaimana dengan intangible value? Prestise dan aktualisasi diri serta ngurusin anak? Kalo prestise dan aktualisasi diri mungkin hanyalah sementara saja. Maksudku, hanya sezaman seperiode. Itu pun di hadapan orang lain. Dan, ketika ada orang lain yang juga menghasilkan prestise yang melebihi, maka prestise itu langsung kalah pamor. Oke, misalnya kita tak peduli soal pamor atau tidak. Tapi, untuk siapakah kita berbuat? Prestise itu buat apakah? Lalu, apa benefitnya? Sepertinya hanya eksistensi diri belaka. Okelah, punya nilai plus juga, berdaya guna, bagi bangsa negara, yaa setidaknya bagi masyarakat di sekeliling kita. TAPI, ngurusin anak! Itu intangible value yang menurutku jauh lebih tak ternilai. Sebab ia membangun generasi muda. Membangun generasi bangsa. Dan membangun anak-anak shalih. Sungguh intangible value yang jauh lebih tak ternilai. Karena ibu adalah madrasatul 'ulaa. Lantas, bisakah pembantu merealisasikan mimpi dan cita-cita kita dalam membangun peradaban layaknya mendelegasikan rekan kerja atau bawahan untuk ikut di suatu rapat dengan membawa ide-ide kita? 

Nah, itu dia the point nya. Tapi, jika pun pertanyaan itu diajukan pada diriku sendiri jika suatu saat aku dihadapkan pada keadaan yang sama, mungkin aku juga belum bisa menjawab seidealis paparan hitung-hitunganku di atas.

Dan lagi-lagi, kembali aku harus bertanya, sebenernya apa yang harus dipilih kah?
Dan lagi-lagi, DILEMA!

Tapi, sejauh ini, aku masih berprinsip bahwa family is number one. Dan aktualisasi diri di luaran sana is the second, betapapun inginnya aku berdaya guna di luaran sana itu. Meski tak seoptimal orang yang fulltime di rumah, tapi setidaknya dengan membentuk mindset bahwa di luaran sana hanyalah kerja part-time atau freelance dan kerja utama tetaplah di rumah, maka kita mungkin akan lebih bijak menyusun skala prioritas. Bahwa di rumah adalah dengan energi yang full charge bukan sisa-sisa kelelahan dari meja kerja. Karena mereka lebih berhak atas itu ketimbang aktualisasi diri kita. Berdaya guna di luaran sana, memberikan kemanfaatan bagi bangsa negara, dan terutama diin ini, dan minimal bagi masyarakat tetap sesuatu yang penting. Tapi setelah segala sesuatu yang diprioritaskan di rumah terselesaikan terlebih dahulu. Mungkin begitu. Ini kesimpulanku saja. Silakan jika kamu punya pendapat berbeda. Tak dilarang ko. Hehe...
Read More

Dilema

Well, finally I presented the case. Banyak perbaikan sih. Aku sempet bingung dan disorientasi soal penggunaan heparin dan kejadian Melena (btw, namanya bagus amat yak melena? padahal arti terminologi nya adalah feses alias BAB menghitam, hee...). Ternyata konsep dan logika heparin vs bleeding dan nilai PT,aPTT, d-dimer, fibrinogen aku masih kacau, jadi karena konsepnya ndak mantep, betapa mudahnya ditarik ulur, dan tinggal lah aku bengong sendiri hehehe. Bener deeh, bahwa memahami konsepnya adalah hal yang paling esensial setiap melakukan sesuatu. Bukan hanya case, tapi diseluruh lini kehidupan. Ntar deh, aku punya pembahasan menarik soal ini. Hee... Btw, tapi casenya, alhamdulillaah menggembirakan. Lega rasanya. Masih ada 1 case lagi sih. Tapi entar, insya Allah. Mau refreshing dulu. Hee... Aku ndak mau cerita soal case. Soalnya case lagi, case lagi, lalu case lagi. Kaya nda ada hal lain selain case ajaaah. Padahal banyaaaaaakk hal lain selain case arround this life, hehehe. Memang sih case bikin energi banyak terkuras. Semalem saja, untung si Nescafe Latte bisa nemenin aku melek sampai jam 2.30 dini hari. Kalo ndaa, bisa gawat deeehhh, dibantai abis-abisan. Hehehe.... Sudah aahh case nya di-skip dulu ajaah. Hehehe.

Ngomong-ngomong soal konsep tadi, ada pembahasan menarik dari Liqo'an anak-anak kosan Ketapang yang diadain tiap ahad malam di lt.1 Kosan Ketapang. Kita memang sepakat sekosan tiap ahad malem ntu liqo'an nya kita-kita. Hehehe. Ngumpul bareng sambil upgrade ilmu juga ajang silaturrahim. Soalnya hari-hari lain kaaaan suka sibuuuk jadi kadang malah nda ketemu. Hee... Nah td malam itu diisi sama Ayu yang bercerita tentang konsep kenapa kita mesti ibadah. Intinya, jika kita ndak tau sholat itu gunanya apa, hanya sekedar penunaian kewajiban belaka, tapi tak ada konsep dalam diri kita bahwa sholat itu adalah pertemuan antara Rabb dengan khaliknya, maka sungguh sia-sia sekian masa yang sudah habiskan. Entah itu diterima apa tidak setiap amal ibadah yang udah kita lakuin. Astaghfirullaah. Sholat itu pertemuan yang sangat penting layaknya kita hendak berjumpa sang kekasih. Maka, jika ingin berjumpa sang kekasih, bukankah kita berupaya untuk menampilkan segala hal yang terbaik yang kita punya? Kita pada-Nya, seperti budak yang amat takut dengan hukuman dari-Nya, dan mengharap segenap berkah dan rahmat-Nya. Bukankah secara fisiologisnya, kita memang tercipta sebagai suatu sistem reward dan punishment di regio limbic. (Jika salah, tolong dikoreksi yah, hee....). Ya, semoga jadi reminders buat aku terutama yang masih sering lengah.

Aku mau cerita soal apah yaah? Malah lupa ama the main ideanya, hehehe. Oooh iyaa, soal nonton tipi! Ehehe, sebenernya bukan tentang nonton tipinya the entery poinnya, tapi tentang isi pilem yang disuguhkan si tipi. Hee... Hemm.... sejujurnya, aku memang tak terlalu suka menonton tipi. Jika pun akhirnya tiba-tiba nonton, itu mungkin karena lagi insap ajah kali yah (looh??). Jadi, keberadaanku di depan tipi di kosan Ketapang selalu menjadi sebuah pertanyaan bagi anak kosan lainnya, "Kok tumben, Ka Fathel nonton?" hihihi.... :D
Beuuuhhh, ni prolog puanjaaaang amaaat yak? Hee....

Jadi, suatu ketika sepulang dari RSCM, aku sebenernya lagi deadline buat analisa obat. Tapi, ketika melewati tipi, tiba-tiba lagi ada pilem penuh hikmah gituh. Tentang peranan seorang ibu, jiyaaaahhh... Ya langsung dong aku tertarik, secara aku kan emang demen bangeet sama dunia anak-anak dan parenting. Dan akhirnya, masih dengan pakaian lengkap sehabis RSCM (nda lengkap juga sih, udah dicopot sebagian, hehehee) langsung deeeh ngetem di depan tipi, melototin benda ajaib yang bisa ngomong ituh. Heehehe...

Ceritanya tentang seorang wanita karir yang amat sangat mementingkan karirnyaaa. Ndak punya waktu buat keluarga. Akhirnya anaknya blajar al qur'an malah diajarin pembantu. Waaah, persis kayak cerpen yang aku bikin 4 tahun yang lalu (tahun 2008). Makanya aku jadi sangat tertarik bangeeeeeett.... bangeettt....bangeeett... Penasaran banget sama endingnya. Walaupun endingnya bisa ditebak siih. hehehe.... Cuma aku penasaran ajah happy apa sad ending yang mereka bikin. Ternyata sad ending. Kalo aku mah bikinnya happy ending dengan akhir nge-gantung gituh, dan membiarkan pembaca menyelesaikan sendiri. (hehe, enak yaah ngusilin ituuh. hihihi :D).

Well, intinya adalah tentang seorang ibu dan anaknya, terutama ibu-ibu yang mengejar karir. Hemm....aku sempet diskusi dengan beberapa orang. Sebenarnya perempuan bekerja itu bukan semata ngebantuin and nyokong keluarga tapi juga menyoal eksistensi dan apalaaah gituuuh yang intinya eksplorasi, ekspedisi, ekspektasi (haha, apaansih?). Ya gituuuh deh, I'm sure that you know what I mean, halaaaaaaaah!. Memang dilematis sih. Di satu sisi, kita memang pengin kerja, pengin mengaplikasikan apa yang sudah kita dapet selama di bangku kuliah. Kalo ndak diaplikasikan dalam kehidupan nyata, kebanyakan malah tersaturasi di sudut otak (hehe, emangnya otak punya sudut yah? berapa derjat sudutnya? hahaha :D). Tapi, sekali lagi, mungkin kita harus memilih. Memilih untuk merelakan sesuatu demi sesuatu.

Dulu, aku memang punya tekad yang udah bulet, bahwa menjadi IRT harus jadi cita-cita utama sebelum jadi farmasist. Tapi, prosesi melanjutkan kuliah ini ternyata telah membuat tekad itu berdilatasi. Ndak terlalu jauh sih dilatasinya. Tapi tetap ada dilatasi. Ada keinginan agar ilmu yang diperoleh itu dapat bermanfaat bagi orang lain. Yaa, ada keinginan untuk menjadi muslimah yang berdaya guna tak hanya di rumah, terutama untuk kapasitas ilmu yang sedang aku jalani. Hemm.... menurutmu gimana, kawan?
Tapi, yaa tetap saja tak ada yang sia-sia dari menuntut ilmu. Tak sia-sia insya Allah. Jadi, hemm...jadi... tetep ajaaaah masih dilematis... >.< Hehehe....

Well, ini sekedar wacana saja yang ingin aku lempar ke khalayak publik. Mungkin ini bukan hal yang asing. Dan aku yakin, bukan aku saja yang mempertanyakan hal ini. Kamu mungkin juga yah? Hayuuk berbagi wacana... Hehehe
Read More

\\(^o^)//

Fiiuufff... hari ini cape sekali rasanya. Tak hanya lelah fisik, tapi juga letih jiwa. Hehe... STOOOOP, jangan gampang mengeluuuuh! Heuu.... Well, untuk kesekian kalinya, aku hanya ingin memuarakan rasa. Bukan hendak mengeluh insya Allah.

Di saat long weekend dimana ini adalah hari raya dan hari bergembira, di mana mungkin ada puluhan bahkan ribuan rumah di seberang sana yang sedang asik berkutat dengan rendang, kalio, soup, aku harus berangkat ke rumah sakit, demi.... ya demii si demi. Hee... Dii ruang pediatric intensive care unit itu, juga  membersamai kami sosok malaikat izrail yang tentu tak satu orangpun dapat mendeteksinya, hatta monitor-monitor canggih di ruangan itu sekalipun. Ia datang menjemput satu nyawa. Bradikardia. Hipotensive berat. Hingga kemudian, setelah upaya seoptimal mungkin dilakukan, pacu jantung, dobutamin-dopamin, adrenalin, tapi tetap Dia-lah pemiliknya. Ia akan mengambil apa yang menjadi Milik-Nya. Tangisan pilu menyayat hati. Tak terasa, aku ikut meneteskan air mata demi melihatan tangisan sang ibundanya. Putri satu-satunya kini telah dijemput Allah. Ya, Allah, pasti ibu itu sedih sekali. Tiga hari lalu, aku masih melihat senyum sumringah si ibu ketika menyaksikan anaknya sudah compus mentis (kesadaran baik). Tapi, jantungnya tak lagi mampu memompakan darah. Gadis kecil itu... kini telah berpulang. Kembali aku diingatkan pada sesuatu yang juga PASTI akan aku alami, di mana aku tak tahu kapan dan di mana, dalam keadaan yang bagaimana.

Read More

Maaf, Hanya Cuap-Cuap Saja

Jika sebelum-sebelumnya aku hanya jadi 'penonton' saja dalam sebuah tim yang saling terintegrasi dan multidisiplin itu, maka kemarin pas ronde stase pediatri kami akhirnya juga merasakan bagaimana seharusnya peran seorang klinikal farmasis itu. Bersama Prof. dr. Taralan, kami bed site teaching, dan langsung diskusi juga sama dokternya. Well, kami dari farmasi klinisnya, dan mereka PPDS nya. Secara keilmuan sih sebenernya levelnya sama, tapiiii...ya gituuh deehh we know so well lah yaa bahwa farmasis sebenernya kadang kurang pede dan juga masih harus banyak belajar.

Tapi di sini, semakin jelas lah bahwa klinikus bukan "dewa" yang mana mereka selalu benar, apalagi menyangkut soal obat-obatan. Di sebuah rumah sakit pendidikan lainnya di kota X, bahkan aku ngeliat banyak peserta pendidikan dokter yang cuma 'nyontek' resep dari klinikus senior padahal kondisi klinis mereka sangat mungkin berbeda.  Aku sebenernya jadi bersyukur juga bisa belajar banyak dari ini semua dan merubah paradigma berpikirku. Bahwa aku, farmasis klinis dan mereka para peserta PPDS adalah sama-sama belajar, dan memiliki peluang kesalahan yang sama besarnya. Tak ada posisi di atas bahwa mereka para "dewa" dan kita hanya "hamba sahaya", kaum minoritas yang termarginalkan (hahaha, pragmatis banget sih??hihihi). Tapi tidak! Kita sama-sama belajar toh. Bukan berarti klinikus itu para de best-de best yang selalu benar. Karena toh aku juga sering bertemu jawaban ngaco dari mereka ketika mempertanyakan EBM (evidence based medicine). Ini bukan berarti aku lebih tahu loh yaaa, aku juga masih belum berilmuuu dan sekali lagi, kita sama-sama belajaaar!

Read More

Takbir Hari Raya

Allaahu akbar Allahu akbar Allahu akbar....
Laa ilaahaillallaahu wallaahu akbar
Allaahu akbar walillaahil hamd....

Gema takbir berkumandang. Semakin membuat syahdu malam yang indah ini...
Esok berlebaran.... insya Allah...
Hari yang agung.... Hari raya di hari jum'at yang mulia....

Sungguh, rindu kampung halaman
rindu sanak saudara, rindu bercengkrama...
Merindukan sangat kebersamaan yang indah itu....
Dan juga sangat merindukan mengucapkan kalimat talbiyah...di tanah suci dan diberkahi itu...
Semoga, suatu saat... Allah mengundang aku, dan juga kamu, menghadiri panggilan-Nya,
menuju tanah mulia itu...
Semoga....
Aamiiin...
Read More

Nasihat yang Diam

Suara tangisan itu cukup menarik perhatian aku. Meski sudah berulang kali menyaksikan, tapi tetap saja mengundang mata untuk melirik sumber suara. Terenyuh. Sungguh, ini bukan pemandangan yang luar biasa sebenarnya. Sudah sering aku menyaksikannya. Tapi, tetap saja mengaduk-aduk rasa di hati. Tak terdefinisi. Pilu. Sedih. Terenyuh. Menggetarkan...

Ya, ini mungkin memang bukan tempat biasa. Ini adalah tempat di mana manusia dihadapkan pada dua hal, kesembuhan, atau kematian. Ini hanyalah tempat untuk orang-orang yang diambang dua alam tersebut. Tetap bertahan di dunia yang fana kah atau berpindah ke alam selanjutnya. Ya, inilah tempat untuk mereka yang membutuhkan perawatan intensif. Untuk kasus-kasus berat yang merenggut seluruh energi yang mereka punya. Tempat di mana kesibukkan orang-orang berseragam putih dan biru terang mencapai puncaknya. Tempat di mana 1 tubuh bisa saja digerayangi sampai sepuluh macam lebih peralatan medis.

Suatu ketika, "Suster, Bu X yang di bed 14 di mana yah?"
"Waahhh, udah meninggal Mba."
""Innalillaahi wainna ilaihi rooji'un."
"Eh, pasien yang udah vegetative state itu udah meninggal." Hanya bisa berdesis, "Innalillaahi wainna ilaihi rooji'un."
"Fathel, pasien yang Hellp syndrome dengan kondisi la..la..la itu sudah meninggal jam sepuluh tadi." Itu SMS temanku. "Innalillaahi wainna ilaihi rooji'un." Lagi-lagi, hanya bisa berdesis.
Padahal, baru dua jam sebelumnya aku monitoring pasien itu. Dan, dua jam kemudian... Ia sudah mengakhiri kefanaan dunia ini. Ya, begitulah. Segala upaya sudah dilakukan dengan cara terbaik. Dengan prosedur diagnostik terbaik. Dengan treatment terbaik. Tapi, Allah-lah yang memiliki kuasa. Manusia, sungguh yang dipunyainya hanyalah kedhaifan belaka, sehebat apapun ia di mata manusia lainnya, seberapa lama pun pengalamannya, sepanjang dan sebanyak apapun titelnya. Tetap saja, manusia hanyalah kumpulan keterbatasan saja.

Dan, inilah yang kemudian menjadi pelajaran berharga. Bagiku terutama. Belajar dari nasihat yang diam. KEMATIAN. Ya, kematian adalah nasihat diam yang mengingatkan kita, tentang hari di mana kita juga akan menyusul mereka, orang-orang yang telah mendahului kita.
Hanya saja, seringnya kita menyaksikan kematian, atau berhadapan dengan berita-berita kematian, SEMOGA tak membuat HATI kita RESISTEN terhadap nasihat kematian itu sendiri. Kematian mungkin adalah sesuatu yang wajar (apalagi untuk orang-orang yang sering menemani orang-orang di ambang kematiannya), tapi ia meninggalkan nasihat yang luar biasa untuk diri kita. Akan dengan cara apakah kita mengakhiri kehidupan kita? Baikkah? Burukkah? Naudzubillaah--semoga akhir itu adalah sebaik-baik penutup hari-hari kita di dunia yang hanyalah fana ini.

Read More

Bayi-Bayi

Assalàamualaykum Bloggie. Apa kabar?
Aku lg iseng ngeblog pake mobile niih. Hehehe..
Hmm.. aku pengin cerita apa yah? Tentang bayi ajah deh... Hee...

Setiap kali ngelewatin gang di Cikini aku sering dihadapkan dengan pemandangan bayi-bayi merah yang lagi dijemur sama emaknya (jemuraan kaliii... hihi). Nah ini menjadi pemandangan menakjubkan bagiku. Deuhhh... unyu unyu banget sihh si dede bayi ituuuuhh. hehee... Dan tadi kita baru ajah dinner di apartemennya Mba Eka dan disuguhin menu yang enaaaak bangeeet. hehee...

Nah... aku liat Aleeya...anaknya mba Eka yang lucu dan pinter. Ngegemesiiiin deeh pokoknya... Dan membuat aku jadi pengeeeen punya bayi. Haaha...gubraksss! Okeehhh kalo yg ini mah di skip dulu yaaahhh... Kuliaahh dulu. Hehehehe..

Hemm... mereka adalah kertas kertas putih yang siap dicoret moret and dilukis  ama emak dan bapaknya. Dan jika pola didik yang orang tua berikan salah di awal-awal dan masa emas perkembangannya...maka yang orang tua tuai kemudian adalah anak dengan tingkah polah yang jauh dari harapan dan jauh dari akhlak mulia. karena semua akan ada kompensasinya. kompensasi atas segala pola didik yg mungkin tak pernah direncanakan dan didesain sedemikian rupa. jika orang tua terlalu menekan si anak yang mengharuskan anak menjadi seperti yang mereka obsesikan kompensasinya adalah anak yang mungkin saja brontak atau sebaliknya frustasi. Jika terlalu membebaskannya..kompensasinya adalaha anak yg tak bisa di arahkan. Jadi sebenernya jadi orang tua mestilah cerdas. (hehee...teorinya begitu yaahhh mekipun dalam pelaksanaannya tak semudah itu..)

karena judulnya td cuma mau nyobain ngeblog pake mobile maka tulisan yg acakadut ini sebaiknya segera diakhiri... Hehee... Kapab-kapan kita bahas lagi yuuk topik yang sangat menarik ini :)
Read More

Izzatul Islam Kita

Suatu hari, aku dan temenku lagi nyarap di kantin depan CMU. Kita asyik ngobrolin soal clinical clerkship dan banding-bandingin antar universitas. Tak dinyana, ternyata bapak di depan kami ikut menyimak isi obrolan kami. Bapak tersebut ternyata juga adalah orang kesehatan (yaa, segenap instrumen kesehatan dah! Mau dia dokter, perawat, dentisien, nutrisien, atau farmasis, yang penting masih dalam satu rumpun kesehatan). Dari wajahnya, sudah cukup menjelaskan bahwa si bapak adalah orang Indonesia bagian timur (hemm.... Indonesia kaya yaahh? Punya berbagai ragam macam suku budaya dan keturunan yang masing-masingnya memiliki identitas tersendiri. Jadi, dengan melihat saja kita sudah dapat menebak, dari suku bangsa manakah seseorang. Iya tak sih? Hehe). Ternyata benar. Si bapak adalah orang perbatasan. Perbatasan antara Indonesia dan Timor Leste. Wal hasil, kami bertiga jadi ngobrol-ngobrol deh.

Dari sekian panjang obrolan, satu hal bagiku sangat berkesan adalah kalimat beliau yang kira-kira begini,
"Dari sekian banyak orang-orang di jajaran struktural bidang kesehatan di sana, saya satu-satunya Muslim. Tak ada selain saya yang muslim yang menduduki jabatan penting di sana. Tapi satu hal yang menjadi prinsip saya adalah, SAYA MENUNJUKKAN YANG TERBAIK, KARENA SAYA SEORANG MUSLIM! Jika kita menjadi yang terbaik, niscaya tak ada orang yang bisa merendahkan kita. Karena saya seorang muslim!"

Read More

Kecewa

"Kecewa mungkin adalah sebentuk rasa ketika kita berhadapan dengan kenyataan yang tak bersesuaian dg harapan. Tapi kita sering tertipu hanya dengan apa yg tampak belaka. Tampak bagus. Tampak baik. Tampak menarik. Harapan akan selalu berasimilasi dengan apa yg tampak itu... Padahal boleh jadi saja sesuatu yang tampak baik itu bukan benar-benar baik utk diri kita. Keterbatasan kita mengatakan sesuatu itu baik untuk kita lantas akan kecewa ketika tak menjadi wujud nyata. Padahal...Dia yang Maha Tak Terbatas lebih tahu apa yg memang baik dan bukan hanya tampak baik. Maka setiap apa yg Allah takdirkan atas diri kita pastilah sebaik-baik ketetapan. Jangan bersedih jika hari ini kita belum menjumpai asa yg dulu pernah trpatri. Yakinlah... Dia pasti tak pernah sia-sia terhadap diri kita..."


Di ufuk Zulhijjah, 1433 H
Read More

Eksekutif Lanjut Usia

Teman, ini bukan cerita tentang seorang eksekutif yang punya banyak harta, apalagi tentang eksekutif muda yang rupawan. Ini bercerita soal eksekutif lanjut usia. Sebab eksekutif bukan hanya milik orang muda, tapi juga lansia. Hihihi... Okehh, mari kita replace kata 'lanjut usia' dengan geriatri.
Hemmm...apakah yang kamu bayangkan jika ke poli geriatri? Nenek-nenek renta kah? Hehe... mungkin iya. Lantas, apakah kamu berpikir nenek-nenek atau kakek-kakek tersebut hanyalah sekedar orang jaman dulu yang tak lagi mengikuti perkembangan jaman? Kalau ini, jangan salah!

Lihat nenek dan kakek di foto tersebut. Menurutmu, berapakah umur si nenek?
65?
70?
75?
Salah...
Umur si nenek sudah 78 tahun. Dan umur si kakek sudah 84 tahun!
Lalu, apa kegiatan mereka sehari-hari?
Nonton tivi, tidur-tiduran, nyanyi-nyanyi?
Tidak.
Di usia yang udah begitu renta tersebut, si nenek ternyata masih aktif di sebuah perusahaan tekstil terkenal. Sepertinya beliau direktur utamanya. Ckckck.... Masya Allah. keren yaahh? Geriatri yang sungguh berdaya guna.
"Seharusnya saya kerja. Tapi, karena lagi sakit dan harus kontrol ke Rumah sakit, jadi saya hari ini tidak kerja."
"Kerja di mana, Nek?"
"Saya adalah pemilik perusahaan tekstil bla...bla..." Aku lupa tekstil nya apa, tapi yang jelas itu adalah merek terkenal.
Dan tahu kah kamu, nenek tersebut adalah made in Japan aseli 100 % tapi sangat cinta Indonesia. Tuuuhhh... orang Jepang ajaah cinta sama Negeri kita.

Read More

Sekali Lagi, Tentang Pilihan Itu

Ya begitulah.
Setiap pilihan, pasti punya konsekuensi.
Dan, menjalani setiap konsekuensi atas pilihan itu adalah juga pilihan terbaik.
Kadang, ingin menyesal rasanya. Mengapa begini. Mengapa tak begitu.
Tapi, sekali lagi, Allah pasti punya rahasia atas ketetapan-Nya....

Meski segala kemungkinan itu masih jauh, tapi entah kenapa aku selalu bersedih atas potret yang belumlah menjadi nyata itu. Padahal, tak semestinya begitu, karena ketetapan-Nya yang indah kadang justru datang dari tempat yang tak terduga.

Ya, mungkin kembalinya aku adalah lebih baik...
Sama seperti tekadku untuk membaktikan diri pada dua sosok mulia yang telah membesarkanku dengan segala kepayahannya. Meski itu mungkin akan mengorbankan banyak hal. Apakah itu obsesi. Apakah itu segenap cita-cita. Tapi biarlah. Toh, ranah tumbuh dan berkembangnya potensi bukan hanya milik kota-kota besar. Bukan hanya milik orang-orang yang sempat mengenyam pendidikan di berbagai universitas berkelas. Bahkan bukan hanya milik orang-orang yang duduk di posisi yang diimpikannya beserta banyak orang lainnya. Toh, di tanah kecil, bahkan penuh kekurangan sekali pun, bisa saja jadi lahan subur sebuah potensi. Setidaknya, ini yang menggembirakan dan menguatkanku.

Di sisi lain, ada sekelompok orang yang mengatakan tak perlu memperumit masalah. Bahwa suatu saat, memang ada masanya untuk mengembara. Oleh sebab lahan potensi itu tadi. Tapi, bagiku ini jadi dilema besar. Masih lama mungkin. Tapi, begitu cepatnya detik berlalu akan memangkas sang waktu. Tak berasa, tibalah pada pilihan yang sulit itu. Amat sangat sulit!

Tapi, usahlah pandangi sutu masalah dengan muka berkerut, dengan wajah kusut. Pasti, akan ada penyelesaiannya. Allah sudah janjikan itu. Meski, mungkin akan mengorbankan beberapa hal. Tapi, semoga pilihan penuh konsekuensi itu adalah benar-benar yang terbaik. Semoga... Karena Allah pasti tak sia-sia terhadap makhluk-Nya
Read More

Buntut Anjloknya Kereta

Hari ini ada peristiwa yang cukup bikin deg-deg-an. Hehehe.... Biasanya, aku berangkat ke RSCM pukul 5.30 dari kosan. Setelat-telatnya itu 5.40. Tapi berkat ada kebijakan PT KAI yang mengkhususkan rangkaian kereta khusus wanita, jadi aku memilih untuk menaiki kereta itu yang jadwal keberangkatannya dari stasiun Pocin jam 7. Artinya, aku masih bisa berleha-leha (ko berleha-leha yah? hehehe) di kosan hingga jarum jam menunjukkan angka 6.30. Artinya, aku bisa lebih telat satu jam. Hehehe...

Tadi pagi aku sudah bertekad dengan sepenuh-penuhnya tekad untuk naik kereta wanita saja. Tak rusuh sedikitpun dengan dua temenku yang sudah berangkat duluan jam 5.30-an itu. Pokoknya, apapun yang terjadi, aku akan berangkat dengan kereta wanita. Titik! Hehehe (ngotot amat yah? hihi...). Ketika sampai di stasiun, terlihat penumpang yang ramai sangat. Masya Allah, ramai sangatlaaahh... Oh iya, aku lupa menceritakan, bahwa waktu antrian tiket dibelakangku seorang wanita yang tiba-tiba mau ngebatalin pemberangkatannya menggunakan jasa KRL. Hemm....pasti ada sesuatu nih kalo udah gini...

Wah ternyata benar! Masya Allah, ada kereta yang anjlok di stasiun Cilebut jam 6.35 dan nutupin kedua rel. Jadi, kereta wanita yang dari stasiun Bogor so pasti udah kejebak di stasiun Cilebut atau malah nda berangkat? Entahlah... Arus dari arah selatan (arah Bojong Gede, Citayam, Depok menuju Jakarta) menjadi padat sangaaaatt! Masya Allah...

Aku liriki jam tangan orang disebelahku (hahaha, soalnya aku nda punya jam tangan), sudah menunjukan jam 7.20! Dan aku harus nyampe RSCM jam 8. Rasa-rasanya imposibel bisa nyampe RSCM jam 8. Soalnya, Pocin-Cikini sahaja sudah memakan waktu skitar 40-45 menit. Dari stasiun Cikini ke RSCM kan juga memakan waktu sekitar 10-15 menit.

Tiga KRL Commuter dan satu KRL ekonomi yang udah lewat itu luarrrr biasaaaa padaatttnyaaa... Sampai-sampai nihh yaa, kalo kucing ajah nda bisa masuk tuuh, apalagi manusia. Whaaaahhh...bisa dibayangkan betapa gerah, sempit dan superduper overloadnya itu kereta. Dan berada di dalamnya adalah suatu siksaan dunia yang amat sangat (lebay!). Tapi, tetep dinaiki oleh penumpang, demi...demi...ya demi si demi. Hee...

Aku memutuskan untuk tidak naik di komuter padat penduduk eehh penumpang itu... Sudah tak sanggup menghadapi lautan manusia di dalam kereta. Nggak sanggup harus kegencet-gencet yang berakibat nausea-vomiting bahkan mungkin hipoksia kali yah? Hehe... Soalnya rebutan O2 juga kaaann. Apalagi kalo ada H2S pula. Malah makin memperburuk prognosis. Hihi... Ditambah lagi aku belum sempat sarapan. Mana aku terakhir kali makan besar (makan nasi beserta lauknya) itu kemarin siang. Karena malem, sepulang RSCM (aku nyampe di kosan deket-deket adzan Isya), aku langsung tewas seketika dari baru bangun lagi sebelum subuh. Agak-agaknya angka survival per-KRL-an aku memang sedikit rendah. Hehehe....

Read More

Aku Tak Suka Membaca, Kecuali...

Hemmm....sejujurnya....aku tidak suka membaca kecuali... (ntar deh kecualinya, hehe). Saat ada orang yang menuliskan hobbi membaca, trus ada yang protes, "Membaca itu bukan hobby kaliii, tapi kewajiban!" Lah, aku saja yang sedikitpun tak hobby membaca kecualii....(kecuali titik titik itu), tak pernah sedikitpun mewajibkan diri untuk membaca. Parah kan? Iye, paraaah bet lu Fatheeel!

Dulu waktu aku masih pediatri (hahaha, pediatri lagi! Okeh, menurut WHO, pediatri itu adalah anak usia 0-18 tahun. Okay?), aku memang doyan bacaaa. Di saat anak seumuran aku masih suka komik, aku malah doyan novel. Pake acara nangis-nangis segala kalo baca novel sedih. Hehehe. Itu aku dulu. Aku udah pernah ceritain di blog ini kan yah? Kayanya buku cerita di perpus SD ku yang terpelosok itu sudah habis kusikat. Hehehe. Itu dulu, sodara-sodara. Sekali lagi, D.U.L.U.

Sekarang, aku sudah jarang sangaaat membaca novel. Rasanya yah, ko mikir-mikir bangeeeett gituuuh mau baca novel. Hemm....sebenernya bukan karena tak doyan. Tapi menyoal waktu sekian jam yang akan kuhabiskan bersama si novel itu. Karena nda tahan penasaran, aku biasanya takkan beranjak dari depan televisi (ehhh...?) novel maksudnya, hingga ending ceritanya. Makanya suka mikir-mikir kalo mau baca novel. Kaga sempet soalnya (halaaaah, kaya yang sibuk ajaaahh kamuuu Fatheeel...hihihi).

Read More

Almarhum Celengan Strowberry

Hemm.... sedari dulu aku tuh kepingiiing banget punya celengan yang bisa dipecahin kalo sudah overload atau kalau lagi butuh? Hihihi.... Entah aku yang kuper atau entah memang tidak available di kampungku, sedari masi pediatri dulu (halaaah, pediatri segalaaa, hahaha) aku tak pernah menjumpai celengan itu. Tapi tak apa lah, toh celengan bagiku bukan hal yang prioritas kala itu. Bahkan sering luput dari permintaan seorang bocah di saat banyak anak-anak lainnya yang doyan menabung. Hehehe
Sesampainya aku di kota, akhirnya aku berjumpa celengan idaman itu. Tapi tak begitu kugubris, karena pada dasarnya (sekali lagi) aku memang tak suka menabung. Hahaha. Parah ya?

Suatu ketika, Dewi pulang bawain celengan. Waahh, excited siiiiihh. Tapi yang ada di pikiranku kala itu adalah... "Ini keisi nda yah?" hehehe.... Jadilah, celengan motif strowberry itu menemani hari-hariku (loh?). Hee...

Hari berganti minggu, minggu berganti bulan. Jika si celengan bisa bicara, mungkin dia akan protes, "Plis, Fatheeell, kasi aku makaaaan doooong. Masa nda satu pun duit yang masuk ke perutku...." Hehehe. Iya nih, si Strowberry (anggap saja namanya gituhh, hehe) yang makanannya itu duit, mungkin udah laperr banget  dan udah kwarsiokhor dan marasmus kali yah karena nda pernah dikasi makan (maruk amat yak si strowberry? koruptor ajaah yang doyan duit, nda suka makan duit alias nelen duit kan ya? hehe).

Tapi, lama kelamaan aku kesian juga tuh ama si strowberry. Mulailah aku rajin memberinya makan. Mulai dari lembaran biru kehijauan, lembaran abu-abu, lembran cokelat ke-orens-an, lembaran merah, lembaran biru agak tua, lembaran hijau, dan tentu saja si receh-receh bekas kembalian tiket KRL (hwaaaa, ngomong-ngomong soal KRL, tiketnya naiiiiiiiiiiiiiikkk bo! Di saat-saat kereta begitu istimewa dan menjadi kendaraan favorit dan bener-vener lagi dibutuhkan, dianya malah naiiiiikkkkk.... >.<).

Hingga suatu ketika, si strowberry udah mulai gemukan. Berat badannya nambah terus. Akhirnya dia nda kurang gizi lagi deehh. Aku begitu seneng ama si strowberry. Dia bikin aku rajin nabung. Bayangkaan, aku yang males nabung tiba-tiba jadi suka nabung gara-gara strowberry? Kerreeen kaaan si strowberry. Hehe...

Read More