Jika sebelum-sebelumnya aku hanya jadi 'penonton' saja dalam sebuah tim yang saling terintegrasi dan multidisiplin itu, maka kemarin pas ronde stase pediatri kami akhirnya juga merasakan bagaimana seharusnya peran seorang klinikal farmasis itu. Bersama Prof. dr. Taralan, kami bed site teaching, dan langsung diskusi juga sama dokternya. Well, kami dari farmasi klinisnya, dan mereka PPDS nya. Secara keilmuan sih sebenernya levelnya sama, tapiiii...ya gituuh deehh we know so well lah yaa bahwa farmasis sebenernya kadang kurang pede dan juga masih harus banyak belajar.
Tapi di sini, semakin jelas lah bahwa klinikus bukan "dewa" yang mana mereka selalu benar, apalagi menyangkut soal obat-obatan. Di sebuah rumah sakit pendidikan lainnya di kota X, bahkan aku ngeliat banyak peserta pendidikan dokter yang cuma 'nyontek' resep dari klinikus senior padahal kondisi klinis mereka sangat mungkin berbeda. Aku sebenernya jadi bersyukur juga bisa belajar banyak dari ini semua dan merubah paradigma berpikirku. Bahwa aku, farmasis klinis dan mereka para peserta PPDS adalah sama-sama belajar, dan memiliki peluang kesalahan yang sama besarnya. Tak ada posisi di atas bahwa mereka para "dewa" dan kita hanya "hamba sahaya", kaum minoritas yang termarginalkan (hahaha, pragmatis banget sih??hihihi). Tapi tidak! Kita sama-sama belajar toh. Bukan berarti klinikus itu para de best-de best yang selalu benar. Karena toh aku juga sering bertemu jawaban ngaco dari mereka ketika mempertanyakan EBM (evidence based medicine). Ini bukan berarti aku lebih tahu loh yaaa, aku juga masih belum berilmuuu dan sekali lagi, kita sama-sama belajaaar!
Kata-kata Prof. dr. Taralan yang sangat berkesan dan amat sangat aku ingat adalah,
"Dahulu, bagi kami dari para klinikus sangat heran dengan keberadaan farmasis di ruang rawat? Ngapain ajah mereka? Hanya jadi corpus alienum (alias jadi semak-semak di tanaman padi kali yah? hehehe. ini mah analog aku ajah, hehehe). Tapi, klinikus sudah terlalu disibukkan dengan diagnostik sehingga tak sempat lagi belajar mengenai obat, farmakokinetika, farmakodinamika, interaksi obat dan segala macamnya. Maka, kita sangat membutuhkan keberadaan seorang farmasi klinis. Sekarang, tergantung anda bagaimana kapabilitas dan kualitas anda untuk menjawab semua hal terkait obat itu."
Ya, sebenarnya, keberadaan farmasis itu penting di dunia klinis. Terbukti, dengan keberadaan farmasi klinis, angka morbiditas dan mortilitas serta cost dapat ditekan dan itu angka penurunannya sangat signifikan. Sebenarnya, aku sangat bersyukur bisa belajar banyak di RSCM, di mana, sebagai rumah sakit pendidikan dan rumah sakit rujukan nasional, RSCM selalu menjadi pilot project untuk setiap program baru yang mungkin diluar negeri sudah menjamur tapi di Indonesia masih belum available.
Lanjut Prof dr. Taralan, "Bagi kalian para klinikus, belajar diagnostik itu harus, tapi farmakokinetika dan farmakodinamika, ADR, itu mereka ahlinya. Kalian just nice to know. Dan sebaliknya, kalian yang farmasis, belajar patologi itu bagi kalian nice to know tapi yang wajib kalian ketahui adalah bagaimana si obat itu secara farmakokinetis/dinamis, ADR, koreksi dosis dan lain sebagainya. Karena kalian ahlinya."
Glek! Ahli?
Tertohok sebenarnya. Mengingat aku masiiiih sangat kurang ilmunya kurasa.
Tapi, ini semakin memacu semangat untuk meng-up grade ilmu. Hwaaahhh.....tiba-tiba malah jadi pengin jadi praktisi. Padahal sedari awal kuliah kan emang maunya jadi akademisi. Haha, hidup itu memang berubah-ubah yah? hehe.... Kalo stagnan mah benda mati kaliiiiii.
Tapi, sudahlah, praktisi atau akademisi nantilah kita pikirin. Toh, ada peluang untuk menjadi dua-duanya kaan? <-- haha maruk banget niiih! Kan ada obsesi lain selain itu. Masih punya waktu nda sih Fathel? Hehehe.. Okeh stop it dulu. Nda usah ngomongin ini dulu dah.
Tapi, aku jadi pengin belajar banyak. Belajar bukan untuk nyalahin klinikus. Tapi bagaimana bermitra dengan para klinikus. Karena orientasinya bukanlah unjuk eksistensi diri bahwa para farmasis klinis itu juga bisaaa looh, tapi bagaimana meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan di negeri ini. Mustahil banyak disiplin ilmu bisa dikuasai oleh satu orang jika ia sudah terspesialiasi. Rasanya sulit membayangkan ada 1 dokter yang bisa paham semua hal mulai dari penyakit dalemnya, sarafnya, nefrologinya, psikisnya, obat-obatanya secara mendalam, gizinya, lalu melakukan perawatan yang dilakukan perawat? Mustahil kan yah? Kemarin sahaja niih, ada klinikus (yang emang bukan dari bidang pulmonologi, entah dari mana dia, aku juga nda nanya, meski kita sempat berbincang), dia malah nda tau apa itu ARDS dan gimana baca rontgen. Laah, dia kan dokterrrrr! Dan ARDS itu sendiri sebenernya bukan istilahnya kitaa tapi itu sesuatu yang semestinya klinikus lebih paham (aku tahu ARDS juga karena baca buku ICU dan sebenernya itu bagi aku hanya nice to know bukan sesuatu yang must to know!!). Nah itu dia! bahwasannya tak mungkin dia menguasai sejauh itu, apalagi disiplin ilmu lain (farmasis, ilmu gizi, keperawatan). Maka, memang sangat dibutuhkan suatu sistem pelayanan yang saling terintegrasi. Klinikus bukan dewa. Dan farmasis, dietisien, nurse, bukan kaum yang termarginalkan. Kita semua adalah mitra yang sama-sama memiliki tujuan yang sama; Menyelamatkan pasien!
Dan ini, semakin memacu semangatkuuu untuk BELAJAR! BELAJAR LEBIH BANYAK DI LAPANGAN! (di rumah sakiiiiit Fathel, jangan di lapangan. Itu belajar sepak bola namanyaaaahhh. Hihihi... mulai ngaco!). Hemm....aku pengin sangat deeehh, suatu saat, kurikulum farmasis klinis itu adalah selama 2-3 tahun full di rumah sakit. Jadi, ini akan lebih meng-upgrade farmasi klinis. Kapan yaaa ini bisa terwujud? Kapan yaaahh? semoga suatu saat nanti.
Dengan adanya rumpun kesehatan di mana UI jadi pilot project nya, menjadi cikal-bakal terbentuknya tim medis yang saling terintegrasi tersebut. Rumpun kesehatan itu sendiri sebenernya adalah pendidikan di mana semua elemen-elemen kesehatan (dokter, farmasis, nurse, dietisien) belajar bersama, kuliah bersama. Semoga, ini jadi cikal bakal pelayanan duia kesehatan yang lebih baik.
Sekian cuap-cuap dari aku, Sudah delirium rasanya. Pengin segera ketemu bantal dan guling. Hehehe... Semoga Indonesia lebih baik, wabilkhusus di bidang farmasinya. aaamiiiin. Maaf yaaa, aku sekarang ngeblognya kacau banget. Nda sistematis. Udah gituuuhh....bahasanya juga ancur-ancuran. Hehehe. Ini cuma menuliskan apa yang kerasa tanpa peduli bahasa. Hehehe....
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 Comment:
Post a Comment
Feel free to accept your comment. Spam comment will be deleted and blocked