Nah, lalu apa hubungannya dengan kereta?
Begini, di kereta, aku sering berjumpa ibu-ibu wanita carrier (baca : karir), hihihi.... --karrier mah pembawa 'sesuatu' kali yah, hihihi-- yang berangkat pagi dan pulangnya malem. Ya, kalo pulang sekitar jam 7-an dari Jakarta, nyampe Depok itu sekitar 1 jam-an dan Bogor itu sekitar 1,5 jam lagi. Itu kalo rumahnya deket stasiun. Kalo rumahnya masih jauh lagi, semisal daerah Bogor Coret, atau daerah Cimanggis dan sononya lagi untuk Depok, maka mungkin nambah setengah sampai satu jam lagi. Nyampe di rumah jam berapaaaa? Mana pagi-pagi, abis sholat subuh sudah harus berangkat kerja lagi? So, kalau dipikir-pikir nih ya, kapan yaa waktu buat anak-anak?
Suatu ketika, aku pernah mencuri denger telpon seorang ibu di kereta gerbong wanita. Bukan hanya aku, sak gerbong-gerbongnya juga denger sih, soalnya volume suaranya bisa dibilang cukup keras.Hehehe...
"Teh, tolong ke rumah ya. Saya pulang telat nih, ndak ada yang jagain anak-anak. Tolong yaa..."
"La...la...la...la..."
"Iye, aku pulangnya telat nih. Dari Jakartanya telat. Tolong ya. Sialakan ajah kalo kamu mau makan di rumah, makan ajah ya."
Ya, lebih kurang begitulah...
Itu salah satu sampel saja dari sekian banyak sampel. Tak jarang juga aku mendengar obrolan seputar anak dan sekolah mereka yang menjadi trending topic pada ibu-ibu di KRL (yang suka bawa kursi lipat <-- haha nda penting amat yang iniih mah!).
Di satu sisi, kita membayar seorang pembantu buat ngurusin keluarga, ngurusin anak. Lalu kita bekerja. Tapi, di sisi lain, sebenarnya alangkah lebih baik lagi jika uang buat pembantu itu kita delete dari list pengeluaran dan kitalah yag mengambil peran itu. Bukan peran pembantunya loh ya. Tapi, the point is peran orang tua terhadap anaknya. Mungkin gaji pembantu tak sebanding dengan gaji para orang-orang di perusahaan tertentu. Tapi, gaji pembantu + pendidikan anak belum apa-apanya jika dibandingkan dengan gaji perusaan berkelas + prestise yang didapatkan.
Maksudku, jika kita pake itung-itungan laba ala pedagang, sebenernya untungan mana sih antara kita bekerja+nge-gaji pembantu dibandingkan kita tak menggaji pembantu dan stay at home?
Kalo dirumusin lebih kurang begini :
Gaji Kita + Prestise dan Aktualisasi diri > atau < atau = gaji pembantu + ngurusin anak?
Mungkin secara tangible valuenya, gaji kita (>4 juta) akan jauh lebih besar dari pada nge-gaji pembantu ( 750rb lebih atau kurang). Tapi, bagaimana dengan intangible value? Prestise dan aktualisasi diri serta ngurusin anak? Kalo prestise dan aktualisasi diri mungkin hanyalah sementara saja. Maksudku, hanya sezaman seperiode. Itu pun di hadapan orang lain. Dan, ketika ada orang lain yang juga menghasilkan prestise yang melebihi, maka prestise itu langsung kalah pamor. Oke, misalnya kita tak peduli soal pamor atau tidak. Tapi, untuk siapakah kita berbuat? Prestise itu buat apakah? Lalu, apa benefitnya? Sepertinya hanya eksistensi diri belaka. Okelah, punya nilai plus juga, berdaya guna, bagi bangsa negara, yaa setidaknya bagi masyarakat di sekeliling kita. TAPI, ngurusin anak! Itu intangible value yang menurutku jauh lebih tak ternilai. Sebab ia membangun generasi muda. Membangun generasi bangsa. Dan membangun anak-anak shalih. Sungguh intangible value yang jauh lebih tak ternilai. Karena ibu adalah madrasatul 'ulaa. Lantas, bisakah pembantu merealisasikan mimpi dan cita-cita kita dalam membangun peradaban layaknya mendelegasikan rekan kerja atau bawahan untuk ikut di suatu rapat dengan membawa ide-ide kita?
Nah, itu dia the point nya. Tapi, jika pun pertanyaan itu diajukan pada diriku sendiri jika suatu saat aku dihadapkan pada keadaan yang sama, mungkin aku juga belum bisa menjawab seidealis paparan hitung-hitunganku di atas.
Dan lagi-lagi, kembali aku harus bertanya, sebenernya apa yang harus dipilih kah?
Dan lagi-lagi, DILEMA!
Tapi, sejauh ini, aku masih berprinsip bahwa family is number one. Dan aktualisasi diri di luaran sana is the second, betapapun inginnya aku berdaya guna di luaran sana itu. Meski tak seoptimal orang yang fulltime di rumah, tapi setidaknya dengan membentuk mindset bahwa di luaran sana hanyalah kerja part-time atau freelance dan kerja utama tetaplah di rumah, maka kita mungkin akan lebih bijak menyusun skala prioritas. Bahwa di rumah adalah dengan energi yang full charge bukan sisa-sisa kelelahan dari meja kerja. Karena mereka lebih berhak atas itu ketimbang aktualisasi diri kita. Berdaya guna di luaran sana, memberikan kemanfaatan bagi bangsa negara, dan terutama diin ini, dan minimal bagi masyarakat tetap sesuatu yang penting. Tapi setelah segala sesuatu yang diprioritaskan di rumah terselesaikan terlebih dahulu. Mungkin begitu. Ini kesimpulanku saja. Silakan jika kamu punya pendapat berbeda. Tak dilarang ko. Hehe...
klo kakak ipar ane sih, udah sarjana keperawatan UI, sekarang di rumah aja jualan onlen, mgkn g boleh sama kakak ane yang gajinya cukup gede 8 digit, hehe..
ReplyDeleteHeee... kalo gajinya 8 digit mah kayanya ndak perlu kerja juga nda papa kaliii...hehehe
ReplyDeleteTapi, sebenernya, meskipun gajinya sudah 8 digit sekalipun, masih banyak wanita yang ingin bekerja. Ini bukan menyoal gaji, melainkan eksistensi diri. Banyak wanita yang ingin bekerja bukan karena uangnya kurang atau gaji suaminya tak cukup, tapi karena mereka ingin eksis juga (yaa, berdaya gunalah) di tengah masyarakat. Sebenernya ini yang menjadi poin bagi saya. Bukan ke soal gajinya sih. Hehehe...wlupun td ada htung2an gajinya juga. heuu...
*atw jangan2 sy salah menanggapi niih karena udah somnolen ngebikin ini . hehehe