Tentang Sepiring Gorengan dan Kedinamisan



'Sepiring' Gorengan (tahu brontaks minang) ini dibuat hanya 15 menit sebelum berangkat ke taman dekat rumah. Soal taste? Alhamdulillah lebih dari lumayan. Xixixi... (baca: aku ke-PD-an) wkwkwkwk.


Begitulah. Kadang, banyak 'kondisi terdesak' membuat orang lebih kreatif. Jika saja ini Indonesia, mungkin aku lebih memilih mampir sejenak ke warung, membeli beberapa pcs gorengan sebelum ke taman. Tapi, tentu saja tak ada penjual tahu brontak di sini. Hehe.


Sejujurnya, aku memiliki salah satu hobby yang dikenal dengan wisata kuliner. Apalagi, jauh di perantauan begini. Begitu mudik, selain masakan terfavorit--masakan ibu tentunya--yang pasti akan selalu dirindukan anak-anaknya di manapun jauhnya tanah rantau, ada beberapa jenis kuliner yang dikangenin. Mudik, berarti kesempatan mencicipi beberapa kuliner yang apalagi tak available di tanah rantau.


Mudik kemarin, aku tentu tak melewati kesempatan itu. Punya espektasi tinggi terhadap beberapa kuliner di kampung halaman (di Indonesia maksudnya. Tak spesifik di Sumbar saja). Tapii... segala sesuatu bisa saja berubah. Iya kan? Sebagaimana hidup ini begitu dinamis.


Bagaimana berubahnya?
Jadi begini. Dari sekian banyak kuliner yang aku ekspek ternyata mostly malah 'below my expectation'. Entah karena rasanya memang 'menurun' atau ekspektasi dan asa yg terlalu tinggi?! Kerap terbersit di benak "Koq rasanya ga seenak yang dipikirkan?" Heuheu...


Aku rasa, penjual bisa saja tak pernah berubah. Akulah yang sebenarnya berubah. Setelah sekian lama 'berpetualang', mencicipi berbagai citarasa yang berbeda dengan citarasa nusantara, bisa saja menjadi standar yang berbeda. Setelah terbiasa memasak sendiri dan meng-adjust sesuai dengan selera sendiri, ketika mencoba masakan yang dulu terasa sangat enak... tiba-tiba menjadi biasa saja.

Ini bukan sama sekali merasa bahwa masakan sendiri jauh lebih enak. Aahh, jumawa benerrr yak kalau begitu. Hehe. Tapii, karena sudah terbiasa membuat sesuatu homemade dengan rasa yang udah dimodifikasi sedemikian rupa sehingga pas di lidah maka ketika mencoba masakan orang lain (yang dulu ketika belum terbiasa memasak sendiri terasa sangat enak) sekarang terasa biasa-biasa saja. Ini menyoal mindset.


Dulu aku sangat heran kenapa nekbu nya anak-anak (ibuku tercinta) sangat tidak suka wisata kuliner dan lebih memilih makan dari masakan sendiri. Tapi, sekarang aku mengerti alasannya. Selain ibu, aku juga dulu memiliki teman kuliah yang sangat tidak suka jajan di luar meskipun kita sekelas lagi acara makan-makan. Bahkan acara tasyakur dengan dosen sekalipun. Dia selalu membawa bekal dari rumah dan 100% homemade selalu. Dulu aku heran 'koq bisa yaah'. Sekarang, aku mengerti. Everyone has their own reason.


Kalau ditanya sekarang, apakah aku jadi gak suka wisata kuliner lagi. Jawabanku: tentu tidak! Aku tetap suka wisata kuliner. Tapiii, aku ingin sekurang-kurangnya 90% dari total konsumsi pribadi soal makanan adalah homemade. Sembilah puluh persen itu sudah seminimal-minimalnya. Meskipun aku tidak hobi memasak, tapiii... menyediakan makanan sehat, bergizi (dan mudah-mudahan enak) untuk keluarga sendiri adalah my honour. Adalah sebuah kebahagiaan tersendiri ketika suami dan anak makan dengan lahap masakan yang kita masak sendiri. Benar kan?


Kesimpulan: (wkwkwkwk... kayak karya ilmiah aja). Ini adalah menyoal mindset. Bagaimana kita bertindak, itu 'berangkat' dari bagaimana mindset kita. Jadii, sangat penting untuk memiliki mindset positif kan yaa. Allah saja menyuruh kita untuk selalu husnudzan kepada-Nya, kepada sesama muslim kan yaa. Berpikir dan berprasangka baik.


Semoga aku bisa mengimplementasikannya. :)
Read More