Cerpen
(ini hanya kisah fiktif belaka loh yaaaah. Semoga bisa sama-sama diambil hikmahnya ajah...Okeh?? heee..)
Setiap kutanya tentang perihal menikah, ia selalu menjawab,
“Aku ingin menikah, tapi…” lalu dia tersenyum dengan kalimat menggantung seperti itu yang membuat rasa ingin tahuku semakin tinggi. Aku selalu tak pernah mendapatkan jawaban tanyaku. Hanya sebingkai senyum saja. Lagi-lagi… dan lagi-lagi seperti itu.
Aku dibuatnya tak habis pikir, sebenarnya apa sih yang dia tunggu. Bukankah dia sudah menyelesaikan S-1, sudah direstui orang tua, dan juga….setahuku dia juga sudah banyak membaca buku maupun mengikuti seminar mengenai pernikahan dan pendidikan anak. Kalau masalah yang terakhir, dia selalu mengatakan kepadaku bahwa memiliki ilmu itu sangat penting sebelum melaksanakan amalnya. Dan aku sangat sepakatdengan hal itu.
Pertanyaan itu menggantung. Begitu saja. Setelahnya, kami sibuk dengan urusan masing-masing sehingga kami jarang sekali berjumpa. Pertanyaan itu pun mengambang. Hanyut begitu saja.
***
Di suatu dauroh, aku kembali bertemu dengannya. Dengan sahabatku itu. Tak ada yang berubah darinya. Dia masih seceria pelangi. Masih tetap bersemangat seperti biasanya. Tawanya masih saja sama. Dan, jika dia ada, suasana menjadi lebih cerah dan dipenuhi gelak tawa dengan guyonan segarnya. Dari dahulu, itulah yang kusuka darinya. Keceriaannya. Bagiku, dia adalah sosok yang sangat inspiratif. Dan, selalu saja terlihat tak ada masalah dan tak ada beban. Oh ya, satu hal lagi, dia adalah sosok yang sangat menyukai anak-anak. Anak-anak yang nakal dan bandel sekalipun biasanya bisa “ditaklukkannya”.
Ia duduk dua bangku di sebelahku. Barangkali dia melum menyadari bahwa aku duduk di dekatnya. Pandangan matanya menuju seorang anak ummahat yang lincah di sampingnya. Terlihat sekali ia gemas dan dalam sekejap dia sudah bersahabat dekat dengan si anak kecil itu. Gadis kecil yang cerdas itu. Hey tunggu! Ada yang aneh dari tatapan matanya kepada si anak kecil. Kenapa ia memperhatikannya begitu lama dan dalam. Dan hey, kenapa pula mata itu berkaca-kaca?
Aku minta pindah duduk ke akhwat di sebelahku, agar aku bisa duduk di dekatnya.
Lalu, aku bisikkan sesuatu padanya,
“Iri yah melihat si adik yang cerdas ini. makanya, menikahlah!”
Ia terkejut seraya memalingkan wajah ke arahku.
“Waah, kamuu, bikin kaget ajah! Sejak kapan ada di sini? Rasanya tadi bukan kamu yang duduk di sini.” Ia tersenyum ceria. Memamerkan lesung pipi di pipi kirinya itu.
“Makanya buk, jangan melamun begitu. Hayyooo, cepetan nikah!” kataku.
“Hehe, kamu selalu saja ngomporin aku buat nikah yaaa. Kamu sendiri kapan? “Duluan laah. Aku itsar sama kamu. Hihi.”
“Itsar? Sejak kapan dalam ibadah ada itsarnya non?”
“Hihi…” dia tertawa renyah.
“Hey, hayooooo. Apa yang kamu tungguh, hem?”
“Nunggu pangeran dari kahyangan ajah deeh!”
“Halah…becanda mulu. Aku serius niiiiih. Mau aku cariin? Hmm…ada seorang ikhwan yang...”
“Tunggu! Ga’ usah dilanjutkan! Mending kita denger materi dauroh dulu. Okeh?” potongnya cepat sambil tertawa.
“Halaaah, dari tadi aku liyat kamu jugah merenung gituuuh.”
“Hehe…”
***
Akhirnya, sore itu setelah dauroh, kami sampai juga di sebuah kafe kecil. Pengunjungnya tidak rame. Kami bisa dengan sepuasnya menikmati es krim vanilla yang nyummiiii…itu.
“Sekarang, ceritakan padaku kenapa belum ingin menikah, hayyooo? Kurasa, kamu mesti segera menggenapkan setengah diin itu sekarang!! Tunggu apa lagi, ukhty?? Sudah wisuda, sudah direstui orang tua dan juga tak terlalu berminat untuk mencari kerja.” Dia tersenyum. Menghela nafas berat. Wajahnya yang tiba-tiba sendu, tak bisa tertutupi dengan keceriaannya yang biasanya.
“Aku sungguh iingin menikah. Tapi…”
“Lagi-lagi jawaban yang sama!” sergapku cepat. Dia tak berekspresi.
“Aku bahkan ingin menikah selambat-lambatnya umur dua puluh tiga. Dulunya.” Katanya.
“Lalu? Umurmu kan sudah dua tiga sekarang?”
“Iiihhh, kamu iniiii. Selalu saja memotong bicaraku!” ia pura-pura kesal.
“Eh..’afwan. hehe. Abiis, aku selalu kamu buat penasaran siiih. Okeh, lanjutkanlah.”
“Meskipun berantakan dan slenge’an begini, sebenarnya aku sudah memiliki target-target hidup yang cukup panjang. Bahkan, dari umurku yang ke-18 tahun malah. Karena, aku percaya, bahwa panjang pendeknya nafas perjalananku tergantung sejauh mana cita-citaku. Maka, aku rasa aku perlu membuat perencanaan-perencanaan, targetan-targetan hidup.” Ia berhenti sejenak bercerita. Lalu menyuapkan vanilla ice cream itu. Seprtinya fikirannnya memang tak terfokus pada si es krim.
Aku menatapnya, mendengarkan ceritanya dengan seksama.
“Aku sangat menyukai anak-anak. Terkadang, atau malah sering, terbersit di hati ini keinginan untuk memliki anak, darah dagingku sendiri. Aku juga ingin mendidik anak dan aku punya cita-cita yang sangat tinggi mengenai calon penerus generasi islam. Sungguh, aku sangat ingin mendidik calon seorang pemimpin yang akan menjawab tantangan peradaban ini yang akan menjadi batu bata tegaknya bangunan islam yang jaya. Generasi-generasi qur’ani. Aku sangat ingin, anakku nantinya adalah sosok yang bukan hanya kaya ilmu tapi juga kaya iman. Aku sungguh ingin, ini semua menjadi bagian dari jihadku. Karena, seperti yang kamu tahu, betapa saat ini anak-anak, calon generasi penerus itu sangat rawan oleh mengaruh zaman yang semakin aneh, sehingga mereka bahkan lebih pintar dari orang dewasa mengenai hal-hal yang semestinya belum mereka tahu.” Terangnya. “Aku sebenarnya sangat ingin segera menikah, ukhty. Tapi…, begitulah…”
“Maksudmu mengatakan “begitulah”?”
“Sebaik-baik rencana kita, rencana Allah jauh lebih baik untuk diri kita, kan yah? Dan, jika Dia berkehendak, tentulah bagi-Nya segalanya mudah.”
“Aku tak mengerti maksudmu apa, ukhty.”
“Aku harus mengkonsumsi obat ukhty, untuk suatu penyakit. Obat itu jika dikonsumsi diwaktu hamil dapat menyebabkan keterbelakangan mental atau kebodohan pada janin.” Di sanalah aku terhenyak… Sungguh tak menyangka, akhwat ceria di hadapanku menyimpan suatu masalah yang bagiku…cukup serius. Aku terdiam.
“Aku ingin menikah, tapi…jika aku harus mengkonsumsi obat itu, aku takut dzolim terhadap seseorang yang Allah pilihkan itu, dan aku juga takut dzolim terhadap anakku jika aku paksakan menikah sekarang.”
Fiuffhhh… “Mungin akan butuh waktu paling cepat satu tahun ini. Jadi, jika aku boleh tak mengkonsumsi obat itu lagi di tahun mendatang dan jika Allah masih anugrahkan aku umur yang panjang, insya Allah aku akan segera menikah di tahun mendatang.” Dia menghembuskan nafas.
“Ukhty…, ‘afwan yah kalo aku maksa kamu buat cerita. Aku ga tau kalau kamu punya masalah seberat itu.”
“Iya, ga apa-apa koq. Aku juga senang membaginya padamu. Setidaknya, separuh bebanku jadi menguap. Hehe.” Dia tertawa.
“Tapi ukh, bukankah efek samping obat itu tak terjadi pada semua orang. Hanya pada beberapa orang saja? mana tau itu ga terjadi sama kamu.”
“Iya, aku tahu. Jika Allah berkehendak, tentulah semua ini mudah bagi-Nya. Tapi ukhty, selama ini, yang dipelajari oleh para ahli memang seperti itu, kemungkinan untuk terjadinya cacat mental dan bodoh itu ada karena reseptor obatnya memang di sana. Bukankah lebih baik kalo kita menghindari mudhoratnya dulu kan yah, ketimbang meliyat manfaatnya, ketika kita sudah tahu ada kemungkinan demikian? Sesungguhnya, aku…aku…masih ingin, anak yang lahir dariku, anak yang menjadi darah dagingku, adalah sosok yang akan menjadi calon pemimpin masa depan kelak, generasi Qur’ani, generasi yang mencintai ilmu, generasi yang akan menjadi garda terdepan dalam membela Islam. Allahummaa amiiin. Bukankah itu adalah keinginan seorang pendidik, dan seorang madrasatul ‘ula?”
Aku mengangguk-angguk. Dalam hati aku mengaminkan do’a gadis di hadapanku kini, yang wajah cerianya sedikit berkabut.
“Trus…trus…, hmm…apakah kamu pernah cendrung pada seseorang gituh, punya harapan menikah dengan seseorang? Heee…” AKu mengerlingnya.
“Aahh…, kalau itu mah setiap orang jugah pernah ngerasain ng…kagum dan cendrung. Namanya juga manusia, yang berinteraksi, punya rasa, punya hati. Hee… Tapi ukht, aku ga ingin menggantungkan harapan pada manusia, kendatipun kadang was-was syetan itu jugah ada yang meniupkan harapan-harapan dan angan-angan pada hati kita. Aku pasrahkan segalanya pada Allah. Keputusan atas diri kita telah tertulis di lauh mahfudz. Bukan berarti kita ga perlu ikhtiar yah, tapii….sebesar apapun harap kita pada seseorang, tetaplah Allah yang akan putuskan. Rencana-Nya adalah yang terindah. Adalah yang terbaik. Aku tahu, rizkiku ga bakalan diambil orang lain, jadi kenapa aku harus khawatir. Hehe. Dan seseorang yang Allah pilihkan itu, tentulah orang yang mesti bisa menerima kekuranganku yang sangat banyak ini. Untuknya, aku ga berharap banyak. Aku hanya menginginkan seseorang yang memiliki komitmen terhadap islam yang bisa menerimaku apa adanya, jika waktu itu sampai. Aku tak ingin punya harapan yang terlalu tinggi untuk ini.”
“Semoga Allah segerakan yah ukhty. Yaph, seseorang yang terbaik untukmu dan di waktu yang terbaik pula. Jika tak di dunia ini, maka aku berdo’a, semoga di akhirat kelak. Allahumma amiiin.” Aku berdo’a sungguh-sungguh.
“Allahumma aamiiin. Wa iyyaki ukhty fillaah.” Katanya.
“Sabar yah ukhty. Insya Allah, ada scenario indah dari-Nya. Sabarlah menghadapi ujian ini.” Aku menguatkannya, meskipun di hatiku ada warna rasa yang tak terdefinisi.
“Iya ukhty. Syukran nasihatnya. Do’akan aku termasuk orang-orang yang sabar dalam menempuh ujian ini, karena sabar itu memang berat. Mudah-mudahan, sakit yang Allah beri adalah sebagai salah satu garansi dari-Nya, karena Dia sudah berjanji akan menggugurkan dosa-dosa orang-orang sakit yang mampu bersabar. Mudah2an ini salah satu peluang besar untukku dari-NYa, peluang besar sebagai salah satu wasilah untuk menggugurkan dosa-dosaku yang sangat banyak ini. Mudah2an, dengan ini aku bisa lebih dekat dengan-Nya. Insya Allah, aku ridhlo dengan keputusan-Nya atas diriku ini.”
“Ukhty…., barokallaahu fiik.” Aku menggenggam jemarinya. Mencoba memberikan kekuatan.
Ia tersenyum. “Jazakillahu khoyran katsir, ukht.”
Senja sudah memperlihatkan wajahnya. Kami sudah cukup lama berada di kafe itu. Es krim vanilla yang kupunya sudah mencair. Cepat-cepat aku habiskan, sebelum kami berlalu dari tempat itu. Entah warna rasa apa yang kini tak terdefnisi di hatiku. Satu hal saja, aku tak ingin lagi menanyakan padanya kapan menikah,sebagaimana aku tak siap mendengarkan jawabannya, “aku ingin menikah, tapi…”
Karena aku sangat yakin, ada scenario indah untuknya, dan semoga juga untukku. Allahumma aamiin.
Hai Calon Pengantin ~
ReplyDeletePercayakah kalian bahwa melangsungkan pernikahan tidak perlu ribet dan mahal? Dengan memakai jasa Wedding Organizer HIS Graha Elnusa, Anda bisa melangsungkan pernikahan ALL IN PACKAGE bergaya elegant di Jakarta Selatan dengan harga dibawah rata-rata dan dapat CASHBACK 35 Juta juga lho!
Mau tahu berbagai jenis Wedding Packagenya? Langsung saja kunjungi www.hisgrahaelnusa.com dan pantau terus update terbaru kami di Instagram @his_grahaelnusa.
> For more info please contact Marketing HIS Wedding Graha Elnusa 083873396243 (RATIH) atau datang langsung ke kantor HIS di Graha Elnusa Lt.2, Jl.TB. Simatupang Kav.1B, Cilandak Timur.