Bilingual Programme for Aafiya

Judulnya sih pakek bahasa inggrih... tapii isinya masi teteeup endonesia.. kekeke...😅
Baiklah.
No problem. Mari mixed bahasa aja deh. Heuu.. 😃


Ceritanya, alhamdulillah sudah hampir 2,5 bulan kami di Indonesia, di Padang kota tercinta kujaga dan kubela. Daan itu artinya, ini adalah LDR ketiga kalinya dengan Abu Aafiya. Big thanks to Skype, Line, dan Imo yang udah connecting people in LDR stage. Hihi... Ya, LDR pertama kami masi menggunakan skype. Pas LDR kedua, skype diblokir, tapi alhamdulillah ada line. Naah, pas LDR ketiga ini awalnya kita bingung mau pakek apkikasi apa lagi yaaa, karena pada diblokir euy termasuk line jugak😣. Akhirnya berlabuhlah di IMO. Imooo, you save us alhamdulillah... 💕.


Alhamdulillaah, Allah beri kesempatan untuk bertemu Ayah--semoga Allah merahmati beliau--sebelum ayah berpulang kepada-Nya. Rasanya, udah nda sabaran banget segera pulang setelah Aasiya lahir begitu mendengar berita tentang Ayah. Kami nanya dokternya Aasiya apakah boleh terbang bayi mungil gitu. Alhamdulillah, kata dokternya no problem as long as she suction when take off and landing. Jadilah akhirnya baby merah Aasiya terbang di usianya yang masi 1 bulan.


Aafiya, alhamdulillah di usianya belum genap 2 tahun, sudah mulai belajar bercerita, satu dua kalimat singkat, ma shaa Allah. Dan di usianya  Membuat paragraf singkat yang dia sendiri alhamdulillah sudah memahami maknanya.
"Bunda, aafiya naik angkot. Angkot wana (warna) meyah (merah). Penuuh angkotnya. Aafiya pegi (pergi) ke pasan (pasar) sama ayah. Beli susu, beli pempes (pampers). Aafiya senaang banget. Aafiya jatuh, pegang sama oyang (orang)."
Ini salah satu contoh cerita Aafiya lengkap dengan mimiknya 😍😘. Aafiya memang belum bisa menyebut dua huruf yaitu R dan L. Hehe...


Setelah 2 bulanan di kampung, ternyata Aafiya sudah mulai mengerti bahasa kampuang. Ma shaa Allah. Semisal,
"Bunda, Aasiya jagooo." Begitu Aafiya memberi tahu aku kalo adiknya terbangun dari tidur. Atau, "iko apa ini?" 😁. Dan beberapa bahasa minang lainnya yang dia pahami. Padahal tidak diajarkan. Padahal ngomong sama Aafiya juga pakek bahasa indonesia. Sama seperti anak lain pada umumnya, Aafiya belajar dari mendengar!

Maka benarlah kata Eriks Levy, Ph.D, seorang asisten profesor yang menangani masalah patologi di bidang speech dan language dari universitas Columbia, NYC, "Kids this age (2-3 yo. Ed) are developing language skills rapidly, and they quickly absorb whatever they hear.They can learn to understand new words in two different languages at an incredibly fast rate."


Dulu, aku sempat meragukannya. Apakah dengan belajar dwibahasa, anak akan mengalami kebingungan bahasa bahkan bisa jadi terlambat bicara? Ternyata tidak juga. Ya, aku sendiri sudah menyaksikannya. Baru 2 bulan, sudah lumayan banyak bahasa minang yang diserap oleh Aafiya. Itu baru mendengarkan saja. Apalagi kalau benar-benar diajarkan. Jadi, rasanya tak ragu lagi untuk memulai bilingual programme buat Aafiya. Apalagi Usia bayi, usia toddler, adalah usia yang sangat bagus untuk memulai billingual, in shaa Allah... Setidaknya, untuk bahasa ibu (baca: bahasa negara asalnya) Aafiya alhamdulillah sudah mengerti dan sudah berkomunikasi. Sekarang, tinggal bagaimana membuat program untuk second language nya lagi, in shaa Allah.


Dulu, aku tidak terlalu aware dengan pentingnya mengenal berbagai bahasa asing. Jika ada brosur atau apapun itu, aku pasti nyari yang bahasa indonesianya aja 😆. Kecuali textbook farmasi klinis dan jurnal, rasanya dulu malas sekali membaca artikel berbahasa inggris. (Emak aafiya parah yak 😌). Naaah, ketika sudah keluar dari tempurung (baca: keluar negeri), mau ga mau mesti interaksi kaan sama orang dan mesti baca petunjuk ini itu kaan kalo beli sesuatu, misal buku petunjuk penggunaan suatu barang elektronik. Segala penunjuk arah, instruksi, apapun itu mesti deh ga ada bahasa indonesianya. Yaiyalah! Mau ga mau harus baca yang english kan (since my arabic not too good enough to understand an instruction 😶). Lama-lama akhirnya terbiasa juga. Meski pun, untuk ngomong, cuap2--kalo ga dalam kondisi terpaksa, misalnya lagi ga bareng suami dan mau nanya sesuatu ama SPG mall misalnya 😀 atau ngobrol sama dokter misalnya, masi kadang kurang confident 😣.


Soalnya, aku punya pengalaman buruk tentang ketidak-PD-an ku ini. Daan, susah payah banget force my self to wake up from less confident. Terlalu banyak ketakutan. Takut grammernya ga pas. Takut orang lain ga ngerti apa yang aku omongin. Takut pronounciation nya gaje dan malah bikin orang berkerut dahi 7 lipat 😂 dan sederet ketakutan lainnya. Ketakutan yang menyeretku pada pusaran ketidakpercayaan diri yang luar biasa yang aku bersusah payah sekali untuk bangkit dari lubang gelap tersebut. Aku lupa dengan hakikat bahasa yang sesungguhnya. Bahasa buatku (baca: sebagai orang umum, bukan dari sudut pandang seorang ahli sastra) bukanlah ilmu pengetahuan. Tapi bahasa adalah alat komunikasi. Selama komunikasi berlangsung dua arah, saling mengerti, maka that's all! Meski bukan berarti harus menafikan grammer juga! Alhamdulillah, sekarang much better lah aku dibanding aku yang sebelumnya. Selain memang mau ga mau aku mesti komunikasi sama orang, terutama sekali sebenarnya support dari suami yang memberikan great influance bagaimana aku keluar dari mindset ketidakpercayaan diriku. Toh, kalau soal pronounciation--sebagaimana kata suamiku--no problem at all jika logatnya masi kecampur sama logat bahasa ibu--heritage language. Toh kita bukanlah native. Wajar doong, logatnya ga persis sama kayak bule. Toh kalo bule ngomong bahasa indonesia dengan logat english bikin kita punya alasan buat ngetawain? Enggak kaaan? Dan, setelah berbincang-bincang dengan orang dari Ind*a, P*kistan, Ph*lipine, mereka juga sangat-sangat kental logat heritage language mereka. Jadi, ga ada alasan sebenarnya aku untuk tidak PD sih. #edisimenyemangatidiri 😉.

Buat Aafiya (dan Aasiya next in shaa Allah), akan sangat berguna sekali (apalagi dengan kondisi kita tinggal di negara asing, bukan negara sendiri). Dia punya teman-teman, ketemu dan bertegur sapa dengan orang di sekeliling, even cuma yang ketemu di jalan, di mall, taman, hingga ketemu sama dokter misalnya, she needs to communicate with others. Since i know bilingual for baby and toddler is totally no problem, i and my husband have programme to realize it, in shaa Allah.


For the first step, second language nya masi english. Aku dan suami masi punya cita-cita mengajarkan anak-anak berbahasa arab. Saat ini, kemampuan bahasa arabku masi sekedar bertanya berapa harga, mafi, la ba'sa, dan beberapa kosakata umum lainnya wkwkwkwk 😂. Jika ada yang ngomong bahasa arab, aku mulai ngerti sedikit. Ya, baru sedikit. Pengennya sih belajar bahasa arab fushah, di mana kalo yang di dengar di jalan kan yang amiyah. Emak Aafiya in shaa Allah mau lanjut sekolah lagi. Mudah-mudahan bisa sampai level 5 atau 6 dan bisa ngajarin anak-anak juga. Sekarang baru lulus level 2. Waah, jadi semangat lagi nih buat ngelanjutin sekolah di Daar Adh-DHIKR. In shaa Allah, next time...


Ingin tau bagaimana program menciptakan lingkungan bilingual di IMoreFamily? Nantikan kisah selanjutnya yaa. In shaa Allah aku posting di sini.


=====
Sebagai referensi, sila baca beberapa artikel berikut tentang bilingual pada anak.


[1: http://www.asha.org/public/speech/development/BilingualChildren/
[2: http://www.parents.com/toddlers-preschoolers/development/language/teaching-second-language/
[3: http://www.babycenter.com/0_raising-a-bilingual-child-the-top-five-myths_10340869.bc
[4: http://www.parenting.com/article/raising-bilingual-children

0 Comment:

Post a Comment

Feel free to accept your comment. Spam comment will be deleted and blocked