Memilih Sekolah Anak dan Segenap Dilemanya

Baiklah Blog, mari kita isi lagi. Setelah sekian lama nganggur. Baby Khadijah lagi aktif-aktifnya ma shaa Allah. Jangankan buat nulis blog. Buat masak aja mesti nyuri-nyuri waktu. Jadii, begitu khadijah bobo, sudah segunung kerjaan menanti. Sampai bingung mana yang harus dikerjakan dulu. Heuheu. Ini nulis blog juga dengan kondisi jemuran belum dilipat, piring belum dicuci. Dan juga seragam-seragam yang numpuk di keranjang pakaian kotor. Wkwkwkwk. Yepp, hari ini libur dulu. In shaa Allah besok beres. Hihi. Semangaaatt 💪💪💪.

Sejujurnya, ini tahun paling "galau" buat kami soal sekolah anak. Dan tahun paling lama untuk membuat keputusan soal sekolah mereka. Bahkan setelah kami balik ke Riyadh abis mudik ke indo (di mana anak-anak udah libur akhir semester selama 2,5 bulan) pun kami masih belum fix tentang sekolah anak. Btw, rasanya baru kemarin aku masih bengong ketika teman-teman cerita soal KeJi (tulis: KG) dan sekolah anak. Pengen ketawa kalo aku ingat nyebut KG itu dengan "kenji" hahaha. Rasanya baru kemarin aku gendong bayi bernama Aafiya ke Daar Adhikir ketika ibu-ibu seumuran bahas sekolah anak dan aku enggak paham apa yang mereka bahas saking ga ngertinya gimana sekolah anak di sini wkwkwkwk. Rasanya baru kemarin, kalo mudik enggak mikirin jadwal sekolah anak. Mudik yaa tinggal mudik aja. Ga perlu pusing soal kapan akhir term sekolah. Ternyata sekarang 3 anak sudah berada di grade aja (grade 5, grade 3 dan grade 1). Artinya, udah masuk tahun ke-6 anak sulung sekolah. Waktu cepat sekali berlalu.

Sejujurnya agak berat bagi kami di tahun ini memikirkan sekolah anak. Pertama, tahun depan in shaa Allah sudah kelas 6. Dan di kelas 6 ada ijazahnya. Ada ujiannya. Semakin tinggi kelas, semakin susah pelajaran indo untuk diikuti anak-anak. Khawatir jika kelas 6 langsung banting stir kurikulum indo, tidak bisa mengikuti. Kedua, kami tidak berniat untuk menguliahkan anak-anak di kampus internasional atau di luar negeri untuk S1. Kalo S2 maah bebass yaaa. Tapi untuk S1 kami lebih prefer di Indonesia saja. Untuk kuliah di Indonesia, "jalurnya" tentulah kurikulum indonesia. Tidak sekolah internasional seperti sekarang. Tapii, masalahnya sekolah indo itu jauh dari tempat domisili kami. Sekitar 25 km. Berarti klo antar jemput sehari 100 an km. Antar bolak balik 50 km. Jemput bolak balik juga 50 an km. Ini berat sekali buat kami. Dan untuk pindah rumah pun tidak bisa segera. Apalagi kontrakan yang sekarang udah bayar sampai desember. Di sisi lain, nyari kontrakan di sekitar sekolah indo sangat tak mudah. Kalo udah gini, rada nyesel dulu males-malesan belajar nyetir pas masih kuliah. Padahal sudah diajarkan sama ayah. Tapii, males ajaa. Hehe. Kalau bisa nyetir, mungkin aku bisa antar jemput anak-anak ke sekolah in shaa Allah. Seperti teman yang beda 1 district doang dekat sini. Dia yang nntar anak ke sekolah indo. Karena waktunya tentu lebib flexible dibanding suami yg harus masuk kerja.

Jadii, ada 3 pilihan yang dipilih.
1. Sekolah internasional (tapi masih menyertakan kurikulum arab saudi dan pemisahan antara murid laki-laki dan perempuan). Di segi biaya, jauh lebih besar tapi secara jarak lebih dekat. Secara kurikulum; Enggak sesuai dengan jalur kuliah nanti.
2. Sekolah indonesia. Secara biaya, lebih ringan. Kurikulum sesuai dengan jalur kuliah. Tapii, secara jarak sangat jauh. Susah secara transportasi.
3. Sekolah online kurikulum indo. Secara biaya dan jarak sangat oke. Ga ada jarak malah. Wkwkwwk. Tapiii, emaknya enggak pinter ngajar pedagogik. Anaknya enggak suka kalo online doang. Seneng kalo ada temennya.

Singkat cerita akhirnya kami memilih sekolah yang lebih dekat rumah kontrakan supaya mudah antar jemputnya. Karena jarak ini adalah issue yang cukup besar ternyata. Tapii, tetap ikut kurikulum indonesia dengan PKBM. Tapii, ikut 2 sekolah dengan kurikulum berbeda ini tidaklah mudah. Mereka pada mengeluh kalo pelajaran indo itu susaaah banget. Karena lebih intens di sekolah offline dari pada PKBM kan. Semoga ini adalah solusi terbaik untuk saat ini.

Sejujurnya dilema ini bukan kami saja yang merasakan. Banyak juga yang menghadapi hal dilematis kayak gini. Karena pilihan sekolah di sini tidak banyak untuk sekolah indo. Satu-satunya malah kalo sekolah indo. Banyak hal yang menjadi pertimbangan dalam memutuskan untuk sekolah di mana; di antaranya biaya, jarak, "pergaulan" di sekolah, dan kemana tujuan kuliah nantinya (menyangkut kurikulum). Karena semakin tinggi kelasnya, makin susah pelajarannya kan yaa. Makin "ngos-ngosan" juga mengejar ketertinggalannya.

Semoga ini adalah pilihan terbaik dari-Nya. Dan semoga pula anak² dikaruniakan ilmu yang barokah dan bermanfaat, buat akhirat dan dunia mereka. Aamiin yaa Rabb

Read More

Cita-Cita Uni Rumaisha

My second born, Uni Rumaisha memiliki cita-cita unik yang tidak pernah kami--ayah bundanya--pikirkan sebelumnya. Berbeda dengan kakaknya (my first born) yang memang lebih ambitious soal cita-cita yang mainstream, Rumaisha punya cita-cita yang mungkin hampir tidak pernah dicita-citakan oleh anak seumurannya.


Soal cita-cita, mungkin mainstreamnya adalah ingin menjadi dokter, guru, pengacara dan sebagainya. Bukan di sekolah indonesia saja, di sekolah anak-anak juga bicara soal cita-cita ini. Si kakak sendiri cita-citanya katanya pengen jadi neonatologist sekaligus artist (artist bukan artis yaaa heuheuheu. Artist berarti orang yang profesinya berkaitan dengan art. Karena si kakak memang senang menggambar dan juga bikin karya kriya).

Akan tetapi kami surprise ketika Rumaisha bercerita tentang cita-citanya. Apa cita-cita Rumaisha?

"I want to be a housewife. I will take care whole family and my children"

Ketika kami tanya mengapa dia bercita-cita demikian karena katanya dia ingin berada di rumah saja, take care anak-anaknya. Ma shaa Allah. Sesuatu yang anti mainstream banget untuk anak usia 7 menjelang 8 tahun. Kami surprise dengan cita-citanya tersebut. Karena kami juga tidak pernah mention mengenai hal itu sebelumnya. Mengapa tiba-tiba dia bercita-cita demikian.

"Tapi Uni, meskipun di rumah, jadi housewife, uni tetap harus sekolah tinggi lho." Komenku.

"Yaiyalah Bunda! Harus dong. Gimana bisa teach anaknya kalo ibunya ga ngerti pelajarannya." Refers to mengajarkan anaknya ibunya mestilah paham dulu, begitu maksudnya. Ma shaa Allah Tabarakallaah Naaak. Aku terharu sekaligus berkaca-kaca mendengar jawaban Rumaisha.

Memang Rumaisha lebih tipe anak "rumahan" dan paling senang sitting adek baby nya. Di sekolah, ketika parent's meeting, gurunya juga bilang "I call her 'mother of the class'". Pembawaannya 'lebih dewasa' tapi juga tidak menafikan sisi kanak-kanaknya.

Rumaisha juga yang paling kukuh berpendapat "bunda ga boleh kerja" meanwhile kakaknya kadang suka nanya "kenapa bunda ga kerja ajaa". Heuheueheu. 

Barakallahu fi kunna yaa banaaty.
Semoga Allah senantiasa menjaga kalian di manapun kalian berada. Sungguh kami tak mampu menjaga kalian selalu. Dan Allah-lah yang mampu menjaga kalian. Semoga Allah jaga dalam keta'atan, dalam keshalihan, senantiasa sehat dan menjadi muslimah yang bermanfaat bagi agama. Aamiib

Read More

Prinsip!

Sudah lama tidak bercerita di blog. Bahkan postingan terakhir sebelum ini adalah tentang kelahiran putri keempat kami. Sekarang sudah lebih dari 7 bulan usianya alhamdulillaah. Dan postingan di sini belum nongol nongol juga sebelum ini.
Tak apa laah yaa... Namanya juga busy. Hehe.

Baby Khadijah usianya hampir sama dengan usia Tuufanul Aqsha. Terus terang, dalam 7 bulan terakhir, aku hampir tidak melewatkan sedikitpun berita-berita terbaru perkembangan kondisi di Ghozzah (Gaza). Sesuatu yang tidak pernah kulakukan di perang (baca: okupasi) sebelum-sebelumnya yang memang berlangsung setiap tahun yang menimpa saudara-saudara di Ghozah. 
Tuufanul Aqsha juga cukup menjadi "taufan" dalam kehidupan kami alias memberi dampak. Pertama, lebih intens tertuju mengikuti perkembangannya. Kedua, boikot. Ternyata selama ini banyak sekali produk boikot yang kami gunakan dan--astaghfirullaah--bermudah-mudah dengannya karena berkabutnya awareness tentang boycott ini sebelum 7 oktober. Buycut semaksimal mungkin! Dan no longer buying produk-produk yang terafiliasi terutama yang membiaya genosida. Ketiga, aku menjadi lebih strict soal makanan. Ga boleh buang-buang makanan dan mubadzir! Saudara di Ghozzah sedang kelaparan! Ini jadi tagline kami soal makanan. Rasanya begitu berat dan dan sedih menyaksikan makanan ada yang terbuang maupun berlebih-lebihan ketika makan (misal di momen iftar Ramadhan, banyak makanan berlebih-lebihan dan berlimpah) sementara di ghazzah saudara muslim kelaparan. Rasanya berat sekali. Hal ini lebih memicu semangat untuk tidak berlebih-lebihan ketika memasak dan mubadzir. Isi freezer mulai dikeluarkan satu satu dan tidak akan belanja dulu sebelum isi freezer habis kecuali memang urgent. Sungguh, ada banyak dampak positif bagi kami atas perjuangan berdarah-darah saudara kami di Ghazzah.

Alhamdulillaah, hal ini juga sampai ke anak-anak. Salah satu hal yang sangat berkesan bagiku adalah cerita dari uni Aasiya sepulang sekolah.

"Bunda, tau gak. Tadi N (inisial temannya) offer a party to us."
"Oh iyaa?! Trus?"
"Tapi Aasiya bilang 'No' (baca: ga mau join di party temannya)"
"Kenapa Nak?"
"Soalnya Party-nya diadakan di Mekdi. Aasiya ga mau kalo diadakan di sana. Kan boikot. Kan jadinya dia beli burgernya dari Mekdi."

Ma shaa Allah tabarakallah Nak.
Semoga Allah membalasnya.

Inilah prinsip!
Prinsip untuk senantiasa membela saudara-saudara kami sesama muslim.
Semoga Allah senantiasa kuatkan.

Mengikuti berita-berita yang lebih sering menyesakkan dada ketika menyaksikan saudara muslim dibantai itu sangat berat. Walaupun menggunakan akun IG yang bukan akun utamaku. Bukan berarti khawatir IG utama di banned! Enggak sama sekali. Aku memang sudah lama tidak menggunakan akun IG utama tapi bukan karena tidak ingin menyuarakan Palestina lewat akun utama tersebut. Melainkan aku sering kali terdistraksi dengan timeline yang lewat di sana dari orang-orang yang dikenal. Dan aku sudah lama meninggalkan scrolling timeline akun utama ini jauh sebelum 7 oktober. Karena bagiku--hanya bagiku lho yaa.. setiap orang punya alasan berbeda-beda tentunya--scrolling di IG orang-orang yang dikenal selain banyak menghabiskan waktu, juga banyak merusak hati heuheuheu. Merusak hati dengan haluuus sekali. Godaan dan rayuan syaithan dengan menyisipkan rasa hasad ketika melihat ada postingan yang "cetar", atau sebaliknya, menyusupkan rasa ujub ketika melihat ada postingan yang "nyungsep", padahal diri ini masih jauh dari baik. Maafkan kalo aku cuma memilih "cari aman" dengan tidak skrolling-skrolling berita terapdet dari teman-teman. Nyaris nggak pernah like apalagi komen. Bagiku, gak apdet jauh lebih baik. Tapii, ini berlaku sangat personal. Setiap orang punya kebutuhan, ketahanan, dan tujuan yang berbeda-beda dalam mengakses sosmednya. Dan inilah aku--manusia yang berkumpul padanya banyak sekali silap, alpa dan salah--yang memilih untuk tidak mengakses sosmed kecuali pada akun sempalan yang tiada dikenal dan tak pula mengikuti orang yang dikenal kecuali hanyalah segelintir. Pada akun inilah aku kerap membagikan postingan tentang palestin. Berharap akan menaikkan postingannya sehingga jangkauannya lebih luas. Hanya setitik ini dan amat sedikit ini yang bisa kulakukan di medsos.

Tapi, memang sangat berat. Berat menyaksikan saudara-saudara seiman dipersekusi sementara diri ini tak mampu berbuat apa-apa. Kadang, ingin sekali escape berita ini. Tapii, bagaimana dengan mereka yang menghadapi penderitaan ini setiap hari? Bukan level yang hanya membaca berita perkembangan saudara di Ghazzah melainkan yang mengalaminya? Membaca berita--sekaligus mendo'akan. Agar mereka tak luput dari hari-hari kita. Agar selalu ingat bahwa mereka masih dalam kondisi sulit. Agar kita tak lupa, bahwa genosida itu masih berlangsung. Bukankah tabiat manusia adalah mudah lupa, lalai dan amat gampang terdistraksi? Mengikuti perkembangan terbaru dari mereka adalah salah satu cara me-maintenance ingatan kita--juga do'a-do'a kita--untuk mereka, saudara saudara kita di Ghazzah.

Semoga Allah memberikan kemenangan untuk mereka 🇵🇸🇵🇸🇵🇸
Read More