Bolehkah aku bertanya tentang sesuatu hal, teman? Hmm..., apakah kesetiaan itu ‘hanya’ milik perempuan saja? Apakah laki-laki begitu jauh dengan sesuatu yang bernama setia? Lagi-lagi, apakah sesuatu yang disebut kesetiaan itu teramat mahal bagi kaum yang bernama laki-laki? Ah, entahlah. (Eit, tunggu dulu. Ini bukan sepenuhnya pandangan subjektifku, sebagai seorang perempuan loh. Ini bukan pula justifikasi dan generalisasi terhadap semua laki-laki. Hanya kepada laki-laki dari teman-temanku itu, sebagai “sampling” bagiku saat ini. Hehe, emangnya penelitian???)
Ehm...terangnya begini, Ini bukan kali pertamanya aku mendengarkan curhat teman-temanku (yg sudah menikah) tentang laki-laki dan sesuatu yang bernama kesetiaan. Dlm permasalahan keluarga, kerap sekali terjadi permasalahan-permasalahan yg setelah kutara-tara, semuanya nyaris mirip-mirip saja (setidaknya, ini dari ceritera teman-teman perempuanku beberapa dekade terakhir ini). Hmm...terkadang, posesif dan cemburu buta itu benar-benar menjadi lisis yang paling menakutkan dalam tatanan sel bernama keluarga yah??(hehe, ngelanturrr). Eit, kembali kepada sesuatu yang kita sebut SETIA (ehm...bukan SEtiap TIkungan Ada, atau SETiap Angkatan Ada, looh..hehe), sering kali perempuan ‘bertahan’ dengan terpaan badai, dengan kekerasan yang sering kali terjadi, dengan caci maki dan carut-marut, bahkan dengan pukulan dan tamparan, sekalipun. Hanya satu saja, “demi masa depan keluarga dan anak-anak.” Dan, kata-kata itu teramat sering terucap. Banyak perempuan yang mencoba berdamai dengan keadaan, dengan semuanya, hingga, pada akhirnya “sukek lah panuah”. Pada titik kulminasi ini, barulah kata-kata “cerai” atau “minta cerai” itu terucap. Bahkan, aku merasa perlu mengacungkan empat jempol (dua jempol tangan dan dua jempol kaki sekaligus) pada perempuan-perempuan yang masih mampu bertahan dengan badai besar yang menenggelamkan bahtera keluarganya di tengah samudera. Berkali-kali bahtera itu terjungkal, tapi, sosok-sosok itu masih saja bertahan. Ini, berbeda sekali, ketika kata-kata “cerai” begitu mudah terucap bagi laki-laki (hoho, lahi-lagi bukan sebuah justifikasi dan generalisasi kepada semua laki-laki. Setidaknya, kepada mereka yang tadi kusebut).
Nah...nah..., coba dikau perhatikan pula, betapa banyak janda yang bertahan dibandingkan duda? Aku yakin sekali, lebih banyak perempuan yang menjanda (tidak menikah lagi setelah bercerai, baik itu cerai hidup maupun cerai mati) dari pada duda yang bertahan tanpa menikah lagi. Betul tak?? Nah...nah..., coba pula perhatikan aturan Allah, yang membolehkan laki-laki menikah sore harinya setelah istrinya meninggal dunia di paginya, dan perempuan yang mesti menjalani masa iddah dulu?? (eh..., waduuuh..., maaph, ini jadi salah penafsiran Ayat yahh?? Maap...maap....Tolong, kalo ada yang mau menjelaskan mengenai hal ini. Takut salah-salah niy. Maklum, ‘ilmunya sikiiit banget. Tapi, tak pe lah. Kalau salah, itu gunanya teman, yang akan nunjuki pada kebenaran kan yah??? Wuahh..udah melenceng kemana-mana yah?? Yuk...balik lagi ke topik awal)
Aku jadi bertanya-tanya niy, Seperti apa warna setia bagi seorang laki-laki??? Apakah kata-kata setia itu identik dengan perempuan saja?
Ehm...terangnya begini, Ini bukan kali pertamanya aku mendengarkan curhat teman-temanku (yg sudah menikah) tentang laki-laki dan sesuatu yang bernama kesetiaan. Dlm permasalahan keluarga, kerap sekali terjadi permasalahan-permasalahan yg setelah kutara-tara, semuanya nyaris mirip-mirip saja (setidaknya, ini dari ceritera teman-teman perempuanku beberapa dekade terakhir ini). Hmm...terkadang, posesif dan cemburu buta itu benar-benar menjadi lisis yang paling menakutkan dalam tatanan sel bernama keluarga yah??(hehe, ngelanturrr). Eit, kembali kepada sesuatu yang kita sebut SETIA (ehm...bukan SEtiap TIkungan Ada, atau SETiap Angkatan Ada, looh..hehe), sering kali perempuan ‘bertahan’ dengan terpaan badai, dengan kekerasan yang sering kali terjadi, dengan caci maki dan carut-marut, bahkan dengan pukulan dan tamparan, sekalipun. Hanya satu saja, “demi masa depan keluarga dan anak-anak.” Dan, kata-kata itu teramat sering terucap. Banyak perempuan yang mencoba berdamai dengan keadaan, dengan semuanya, hingga, pada akhirnya “sukek lah panuah”. Pada titik kulminasi ini, barulah kata-kata “cerai” atau “minta cerai” itu terucap. Bahkan, aku merasa perlu mengacungkan empat jempol (dua jempol tangan dan dua jempol kaki sekaligus) pada perempuan-perempuan yang masih mampu bertahan dengan badai besar yang menenggelamkan bahtera keluarganya di tengah samudera. Berkali-kali bahtera itu terjungkal, tapi, sosok-sosok itu masih saja bertahan. Ini, berbeda sekali, ketika kata-kata “cerai” begitu mudah terucap bagi laki-laki (hoho, lahi-lagi bukan sebuah justifikasi dan generalisasi kepada semua laki-laki. Setidaknya, kepada mereka yang tadi kusebut).
Nah...nah..., coba dikau perhatikan pula, betapa banyak janda yang bertahan dibandingkan duda? Aku yakin sekali, lebih banyak perempuan yang menjanda (tidak menikah lagi setelah bercerai, baik itu cerai hidup maupun cerai mati) dari pada duda yang bertahan tanpa menikah lagi. Betul tak?? Nah...nah..., coba pula perhatikan aturan Allah, yang membolehkan laki-laki menikah sore harinya setelah istrinya meninggal dunia di paginya, dan perempuan yang mesti menjalani masa iddah dulu?? (eh..., waduuuh..., maaph, ini jadi salah penafsiran Ayat yahh?? Maap...maap....Tolong, kalo ada yang mau menjelaskan mengenai hal ini. Takut salah-salah niy. Maklum, ‘ilmunya sikiiit banget. Tapi, tak pe lah. Kalau salah, itu gunanya teman, yang akan nunjuki pada kebenaran kan yah??? Wuahh..udah melenceng kemana-mana yah?? Yuk...balik lagi ke topik awal)
Aku jadi bertanya-tanya niy, Seperti apa warna setia bagi seorang laki-laki??? Apakah kata-kata setia itu identik dengan perempuan saja?