Seperti biasanya “hari pakan” di kampungku, aku memang senantiasa ke pasar untuk membeli segala sesuatu yang akan dimasak. Meski amak-amak di sekeliling, mantan tetangga dulu, atau segenap lainnya yang mengenaliku kebanyakan sangsi padaku dan bertanya dengan kalimat pertanyaan tak yakin, “Eh, lai pandai babalanjo yo?”. Hehe. Pikirku, memangnya kenapa? Tinggal Tanya harganya, pilih-pilih, tawar sedikit, jika OK, transaksi selesai. Bukankah begitu?
Nah, suatu hari, aku bermaksud mengunjungi los penjual ayam (lagi) setelah sekian lama tidak. Apalagi, issue-issue H5N1 sempat kembali mencuat yang membuat banyak orang enggan membeli ayam. Sesampai di depan sebuah lapak yang memajang ayam-ayam yang telah siap dikuliti, aku dikejutkan oleh beberapa orang yang berteriak-teriak memanggil namaku.
“Bali di siko se laah!!” Teriak orang itu. Seorang perempuan dan adik iparnya laki-laki. Sementara, aku sudah hampir mencapai lapak seorang wanita beserta anaknya, yang juga masih ada hubungan keluarga jauh.
“Bagapo? Saiku? Satanga?” perempuan itu siap memotongkan untukku. Sementara itu, si pemanggil dari lapak sebelah juga tak henti-hentinya memanggil-manggilku sebab aku memang sudah biasa langganan dengannya. Dan lagi, ia juga adalah tetanggaku.
Aku bingung menentukan pilihan!
Jika aku memilih si Ibu dan anak yang merupakan keluarga jauh itu, tak enaklah aku sama si uni dan adik iparnya di mana aku adalah pelanggan setianya. Hee…
Jika aku memilih si uni dan adik iparnya itu, tak pula enak sama ibu itu. Apalagi anaknya yang begitu imut-imut dan masih TK itu berkata dengan nada cukup memelas, “Kakaaaak, bali di siko se lah kak. Kaaak…bali di siko se lah kak…”
Akhirnya aku hanya bisa tertawa bingung. Sungguh, tak ingin menyakiti siapapun meski menentukan pilihan ini adalah hakku. Jika mau pakai ego, aku bisa saja kan berdalih, “eeh, suka-suka saia dong, mau beli di mana!” Pada akhirnya, aku memilih untuk tidak memilih! Ya, memilih untuk tidak memilih. Agar tak menyakiti siapapun. Biarlah tak jadi beli ayam. Hehe…
Hmm…dalam perjalanan pulang, aku tercenung. Mencoba mengambil pelajaran dari peristiwa sederhana itu. Bahwa, sesungguhnya bukan perkara mudah dalam menentukan pilihan. Jika memang boleh untuk tidak memilih, terkadang aku lebih ingin memilih untuk tidak memilih. Ya, memilih untuk tidak memilih pilihan-pilihan itu. Bukan hanya soal membeli ayam itu saja, juga dari banyak pilihan hidup. Tapi, itu adalah pilihan paling pengecut. Sebab, hidup akan selalu menghadapkan kita pada banyak pilihan-pilihan. Meski kemudian akan menyakiti salah satunya (bila memang terpaksa harus menyakiti), memilih tetaplah seharusnya menjadi sebuah pilihan.
Ini sudah kali keberapa yah, aku menuliskan soal memilih pilihan? Sudah begitu banyak, kurasa. Tapi, semakin lama, semakin kusadari, bahwa tak selamanya pilihan itu hanyalah memaksakan ego pribadi, meskipun itu untuk kehidupan kita sendiri. Takkan selamanya kita bisa sendiri memutuskan. Sebab jua, kita tak hidup sendiri. Ada banyak orang-orang di sekeliling kita yang sesungguhnya menjadi bagian dari poin penting atas pilihan-pilihan itu selama masih berada dalam koridor hal-hal prinsip dan syari’at-Nya. Memaksakan diri mengejar idealisme tanpa memikirkan orang-orang tercinta di sekeliling kita bukan suatu hal yang baik, meski idealisme itu adalah idealisme kebaikan, selama segala pertimbangan dari orang-orang sekeliling kita itu bukanlah hal-hal buruk.
Pada akhirnya, memilih juga berarti siap memilih segala konsekuensi. Kadang, semua pilihan terdengar menyenangkan. Punya kebaikan masing-masingnya, sekaligus punya konsekuensi masing-masingnya. Tapi, lagi-lagi memang HARUS MEMILIH. Tidak boleh tidak.
Ya. kembalikan pada-Nya… Yang terbaik menurut-Nya, adalah yang terbaik bagi pilihan hidupmu, wahai diri. Hendak melangkah ke arah manakah? Allah lebih tahu, sementara engkau tak mengetahuinya, wahai diri…
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 Comment:
Post a Comment
Feel free to accept your comment. Spam comment will be deleted and blocked