Di Sebuah Perjalanan



Sobat, aku punya pengalaman menarik niih
Kebetulan di perjalanan pulang (eihhh, koq kebetulan yah? Kebenaran dong, hhiihi. Meski berasal dari akar kata yang memiliki makna yang sama, yaitu “benar” dan “betul” [benar=betul], tapi ketika dikasi imbuhan ke-an keduanya jadi memiliki makna yang beda kan yah? Yang satu kebetulan yang satunya lagi kebenaran [kebenaran≠kebetulan]) hehehe, intermezzo.

Jadi beginii, ketika pulkam, di travel yang kutumpangi hanya ada 5 orang. Pertama, supirnya. Supirnya adalah seorang mantan penyanyi pop minang. Lumayan juga, temen2nya Boy Sandy, Ucok Sembara, Nedy Gampo (dan sederet nama lain yang aku tak tahu jugah). Sekarang beralih profesi menjadi supir. Jadiiii, di perjalanan beliau ini memutar video klipnya sendiri. Hehe....

Orang kedua, seorang ibu muda, sepertinya lagi ngambil kuliyah pasca sarjana bidang manajemen. Itu terbukti dari buku bacaannya mengenai bisnis yang masya Allah, tebelnyaaa. Humm…, seorang wanita cantik dan energik. Orang ketiga, seorang wanita juga yang awalnya kukira masih mahasiswa. Ternyata, tak dinyana, dia sudah menikah. Seminggu sebelum ini. Hmm…, pengantin baru berarti.
Orang keempat, bapak-bapak. Umur beliau 53 tahun! Ini bukan tebakan loh, beliau sendiri yang cerita. Berekrja sebagai penjahit di kawasan jalan Sudirman. Sebelumnya pernah tinggal di Bandung selama 6 tahun. Dan berniat pulang untuk menjenguk ibunda beliau yang sudah berumur lebih kurang 85 tahun.
Dan yang kelima adalah aku.
(Waaaa, deskripsinya lengkap banget yaaah?? Coba kalo satu bus, mungkin aku tak bakalan sanggup mendeskripsikan sedetail ini. hihii)
Ada plajaran yang bisa kuambil di sini, bahwasannya, betapa kita mestilah mengenali lingkungan kita. Sebenarnya sebuah perjalanan merupakan objek yang bagus buat DF, meski aku jarang sekali melaksanakannya. Semoga jadi plajaran bagiku.

Di Sitinjau Lauik, travelnya berhenti di rumah makan Mintuo, skitar jam 16.15. Aku lupa menjama’ sholat asyar, jadinya, aku minta ijin sama supirnya untuk sholat dulu. Dan, tak dinyana ternyata mukenahku ikut terpackaging di bagasi. Ya sudaah, kuharapkan mukenah mushalla yang ada di sana saja. Tapi…., masya Allah, mukenahnya very2 “latoo”, (heee). Dari jarak sekian meter saja, udah ketahuan itu mukenah udah bertahun2 kaga dicuci (lebay!). Jadinya kuputuskan untuk sholat dengan mengenakan jilbab saja, tanpa mukenah. Kan pake manset tuuh.
Pas selesai sholat, aku baru tau ternyata ada seorang ibu-ibu yang juga ikut sholat dari penumpang travel lain. Beliau ikutan sholat tanpa mukenah. Tapiiii, si ibu kaga pake kaos kaki. Jadi, si ibu sholatnya pake baju yang bliau pake itu, lengkap dengan jeansnya. Tapi kakinya kliatan hingga mata kaki.
Pas mau balik ke travel kusapa sang ibu dengan sebuah senyuman. Lalu si ibu berujar, “Nak, tangan ibu keliyatan nih? Gimana yah sholatnya?” “Hmm…, sebenarnya kaki yang aurat, Bu.” Kataku menjelaskan, berusaha sesopan mungkin. “Yuk, Bu. Saya duluan.” Aku tinggal si Ibu. Masalahnya, supir travelnya udah nungguin!

Dari sini, aku berpikir, ternyata, anggapan masyarakat bahwa kaki itu tidak aurat masih kentara.
Dari hal ini, aku juga memperoleh plajaran, betapa pentingnya memahami ilmunya dulu sebelum melakukan suatu amalan. Jika hanya ikutan-ikutan saja, tanpa ada pengetahuan tentang itu, banyakan salah dari pada benernya!
Trus, adalah tugas kita, untuk mengingatkan dan memberi tahu, sebenarnya. Nah…., ini nii niih…, yang aku sering kena! Semoga dari contoh ini aku bisa belajar.
Ah iya, satu lagiii, tanpa sadar, ternyataa…, kita terkadang dijadikan contoh oleh orang lain. Jadiiii, ketika seorang da’i melakukan kesalahan fatal, akan lebih parah akibatnya. Karena kesalahan itu akan dicontoh oleh banyak orang. Makanya, sekali lagi, inilah pentingnya berilmu sebelum mengamalkan. Dan, beramal atas dasar ilmunya. Serta, mengamalkan ilmu yang diperoleh. (kukatakan, aku belum sepenuhnya bisa melakukan ini semua, tapi, kita sama-sama berusaha ya…yaa…? Siip…siip?)

Dan perjalananpun berlanjut. Di tengah jalan, biyasalah…, saling menghota (baca : ngobrol!). Topic hangat yang diperbincangkan adalah mengenai tes PNS yang kacau banget di Solok Selatan. Masak seorang lulusan SMK bidang akuntansi dinyatakan lulus sebagai dokter?? Aneh-aneh saja dunia!

Lalu berkomentarlah si bapak-bapak.
“Sia lo yang punyo karajo tuuh?” (translet : kerjaaan siapa siih???) Yang lain nyeletuk.
“Untuak mamanuahan quota se bantuaknyo tu mah. Beko dipindahan tu mah!”
 (translet : untuk mencukupi quota aja sepertinya. Nanti dipindahkan)
 “Aaahh…., paliang, bisa tu mah untuak karajo di apotik rumah sakik.”

Kalimat ini kugaris bawahi!
Coba…coba…, “inap-inap”kanlah kalimatnya…
Haaaaa…., jika kerja di apotek RS bisa dilakoni oleh seorang tamatan SMK, lalu, buat apa aku capek2 kuliyah di farmasi? Buat apa pula aku mesti ngambil kuliyah profesi???
hadduuuuuuuhhhh….


Betapa masyarakat kebanyakan tidak tahu apa itu peran farmasis, dan betapa tak terkenalnya seorang farmasis (aku juga telah menuliskannya di tulisan yang judulnya : aku bukan dokter!!). Padahal, begituuuuuuuuuuu….buanyaaaaaaaak permasalahan obat di negeri ini! sehari saja lebih dari setengah (lebih dari 56 %) kesalahan dalam peresepan obat. Lebih dari setengahnya yang mengalami DRP (drug related problem). Padahal, urusan obat…, adalah urusan yang sangat vital yang menyangkut keselamatan hidup dan nyawa seseorang. Tak bisa main-main. Jika dibongkar, huuuuuffffhhhh…, begitu banyak kebobrokan di dunia perobatan.

Dan, mungkinkah seorang tamatan SMK bisa menganalisisnya sedangkan seorang apoteker saja banyak yang keteteran??? (bukan mengatakan apoteker lebih baik dari lulusan SMK, bukaaaaan! Ini soal profesionalitas. Toh setiap jurusan memiliki spesifikasi kerja yang berbeda. Pertanyaan itu sama dengan : mungkinkah bertanya perakuntansian kepada seorang apoteker. Mungkinkah apoteker bisa menyelesaikannya?? Nah…nah…, ini maksudku. Apalgi akuu yang sama sekali TIDAK tertarik dengan yang namanya akuntansi)

Ini tantangan buat farmasis ke depan agar lebih memfungsikan profesionalitasnya dalam upaya meningkatkankualitas hidup pasien. Setidaknya, keluarnya PP No. 51 tahun 2009 kemaren menjadi langkah awal bagi seorang farmasis untuk melaksanakan fungsinya, perannya, demi meningkatnya kualitas ksehatan di negeri yang gemah ripah loh jinawi ini.

Semoga saja, suatu saat nanti…., insya Allah…
Harapan itu masih ada.

0 Comment:

Post a Comment

Feel free to accept your comment. Spam comment will be deleted and blocked