Wanita setengah baya itu menatapku dengan nanar. Berulang kali ia bertanya-tanya,
“Entah anakku yang durhaka, atau aku yang salah dalam mendidiknya?”
Aku tidak dapat menjawab pertanyaan itu melainkan dengan sebingkai senyum miris. Itu saja.
Dengan sisa tangis yang masih menggenangi kedua pelupuk matanya, ia bercerita padaku. Tentang ia yang telah dijadikan ‘budak’ oleh anaknya sendiri. Nau’udzubillah…
Sesungguhnya tidak imbang jika ia harus bercerita padaku, yang bukan apa-apa. Asam garam kehidupannya terlalu jauh jika harus dibandingkan denganku yang barang kali bisa disebut masih miskin pengalaman. Tapi, ia hanya butuh muara. Ia hanya butuh tempat bercerita. Dan, kali ini, aku menjadi muara itu. Sekedar melepas gundahnya. Dan selama tiga jam itu, aku hanya mendengar! Hanya mendengar saja. Dengan sesekali melempar senyum miris.
Ia bercerita tentang anaknya, yang kini telah menginjak usia dua puluh lima.
Seorang gadis dewasa, tapi menurutnya, tidak sedewasa sikapnya. Dengan peluh dan darah, dengan keringat dan air mata, ia besarkan sang anak. Bahkan, hingga ia berhasil memperoleh gelar sarjana! Dan, bahkan kini telah bekerja. Dan kau mesti tahu, demi menyelesaikan kuliah sang anak, ia harus rela tidak makan enak, harus rela menanggung malu kiri kanan, untuk menghutang! Agar apa? Agar sang anak dapat kuliyah tanpa hambatan. Agar anak tidak kesusahan!
Tapi apa? Apa balasannya? Meski ia sama sekali tak pernah harapkan balasan, dan takkan pernah terbalaskan, tapi, yang ia terima adalah umpatan kasar dari sang anak. Bukan hanya itu saja. Ia telah dijadikan sang anak sebagai ‘budak’. Mencucikan bajunya, memasakkan masakan kesukaannya. Sementara, sang anak asik-asikan berleha-leha, berpacaran dan menghambur-hamburkan uang!
Padahal, kehidupan mereka tengah dibelit perekonomian yang pelik. Dan, ketika sang ia mencoba meminjam (bahkan hanya meminjam saja! Tidak meminta) uang dari kerja anaknya, untuk memenuhi kebutuhan dapur agar asap tetap mengepul dan ini juga untuk makan sang anak, sang anak itu berkata,”Nanti mama takkan sanggup menganti uangnya!” sambil melenggang pergi. Masya Allah!! Na’udzubillah tsumma na’udzubillah…
Sang wanita itu meringis. “Dan jasaku melahirkanmu, membesarkanmu, juga takkan sanggup kau ganti!” katanya kala itu. Tapi, sang anak tetap bergeming dengan angkuhnya, lalu melenggang pergi!
Sampai di sini, aku tak sanggup menahan air yang menggenang di bendungan pelupuk mata. Apalagi wanita di hadapanku ini, yang menjadi pelakunya. Ia, yang bercerita dengan sesuatu yang tersekat di tenggorokkan.
Aduhai anak, kemana rasa kasihmu atas jiwa yang mempertaruhkan nyawanya demi kehidupanmu?
Kemanakah? Aduhai anak, bahkan hewan saja, lebih baik memperlakukan ibunya!
“Kadang…” sambungnya, “ingin rasanya saya mati saja. Ingin rasanya! Tidak tahan menghadapi anak semacam itu.”
Jangankan ia, kita saja yang mendengar tidak sanggup!
Allah telah tuntunkan, jangankan kata-kata kasar, cuku dengan “ah” atau “cis” saja, telah dilarang! Lalu, bagaimana dengan umpatan, tindakan dan sesuatu yang sangat menyakiti? Bagaimana? Ahh…
Mari mencoba belajar sejenak dari kisah ini. Seorang laki-laki di masa kekhalifahan Umar bin Khathab yang memelihara ibunya yang lumpuh. Mengambdi dengan sepenuh pengabdian. Bahkan mencucikan hadastnya. Ia melakukannya, karena itu adalah perintah Allah, perintah setelah ketauhidan kepada-Nya. Dan dengan penu keikhlasan ia melakukannya.
Tapi, ketika ditanya, apakah semuanya sudah cukup membalas pengorbanan ibunya?
Jawabnya adalah, “Tidak! Tidak! Tidak! Karena ia melakukannya, sembari menunggu kematian ibunya. Sementara ibunya merawatnya, sembari mengharapkan kehidupannya.” Tidak! Sungguh tidak ada yang dapat membalasnya, bahkan hanya sekedar menyamainya ataupun mengimbanginya! Dengan darahnya, dengan ruhnya, dengan apa yang ia punya, ia beri penghidupan pada sang anak.
Ah, sungguh… sungguh, perlakuan baik saja takkan sanggup mengimbanginya, lalu bagaimana dengan umpat ketus? Makanya, ini adalah sebuah larangan keras! Larangan keras!
Tapi, ada yang menakjubkan kawan! Ketika cerita wanita itu berlanjut,….Allahu akbar! Sudah demikian sakitnya ia diperlakukan, tetap saja, ia selalu mendo’akan kebaikan untuk sang anak! Allahu akbar!
Sampai di sini….aku tercenung!
Benar-benar tercenung!
Sungguh luar biasa seorang ibu!
Sungguh luar biasa! Telaga kebaikan hatinya yang seluas samudera, bahkan untuk anaknya yang telah menyakitinya sekali pun!
Allahu akbar!
Aku tak sanggup lagi berkata. Yang terbayang olehku adalah wajah ibuku! Wajah yang kucinta yang telah rela mempertaruhkan ruh dan jiwa demi kehidupanku. Aaah, ibuu…cintaku…
Bahkan bakti yang paripurna sekalipun….takkan sanggup membalasinya…sungguh…