Tentang kesedihan itu... |
Pun dengan aku (dan ruitinitas menyenangkanku) di sore ini seperti sore-sore sebelumnya.
Mengelilingi kolam tiga buah empat persegi panjang dan satu trapesium dengan seember besar makanan ikan. Adalah hal yang menyenangkan melihat makhluk-makhluk bersirip itu berebut makanan.
Memang.
Sore ini masih sama dengan sore-sore sebelumnya. Hanya saja ada yang berbeda.
Bahwa senyumku tidak seperti senyum-senyum sebelumnya.
Aku tahu, sangat mudah menerka cuaca hatiku. Sangat mudah. Sebab, begitu kontras antara cerah dan berawan. Apalagi hujan.
Tentang kesedihan itu.
Sekarang aku sangat mengerti. Sekarang aku jadi mengerti bagaimana memutus asa itu. Aku jadi mengerti. Aku tak hendak berputus asa. Aku hanya sedang ingin memutus asa. Benar-benar memutus asa itu. Aku jadi mengerti bahwa aku memang harus memutus asa itu.
Semoga ini bukan titik di mana cinta berubah menjadi benci.
Semoga tidak.
Aku sungguh tidak ingin membenci. Tapi juga tidak ingin (lagi) mencintai.
Cukup sudah.
Cukup sampai di sini saja.
Tentang kisah ini…
Untuknya telah kubuatkan sebuah peti kayu.
Semua kisah itu telah kusemayamkan di dalamnya tanpa kata kecuali.
Telah pula kupaku, erat. Sangat erat. Hingga tak ada sedikitpun celah untuk membukanya lagi.
Dan, inilah saatnya aku menghanyutkannya. Jauh. Jauh. Hingga mungkin ke muara sana. Atau hingga ke dasar laut, barangkali.
Aku sama sekali tak ingin melengok peti itu lagi, berikut kisah-kisah yang membersamainya.
Cukuplah…cukuplah ia bersama masa lalu saja.
Aku tak ingin membawanya ke masa depan.
Sekarang… Aku bisa tersenyum…
Setelah menghanyutkan peti itu jauh-jauh…
Laa tahzan!
Laa tahzan!
Innallaaha ma’anaa!
Kesedihanku belumlah apa-apa jika harus dibandingkan dengan banyak kesedihan lainnya. Orang-orang di sekelilingku, yg mungkin baru saja dipecat dari kerjanya, atau tangisan membahana karena keseakitan anak-anak mereka. Ini jauh lebih menyedihkan.
0 Comment:
Post a Comment
Feel free to accept your comment. Spam comment will be deleted and blocked