Living in Riyadh [Part 3]

Mari kita lanjutkan seri "Living in Riyadh" yang kuamati dan kualami sependek pengamatan dan pengalamanku selama di Riyadh...
Membahas makanan tentulah hal yang selalu menarik. Apalagi untuk orang yang suka kuliner seperti aku. Tapi, sekarang bukan masalah kuliner di sini yang pengen aku bahas, tapi prosesi masak memasaknya dan semua yang berkaitan dengannya...

Sejak dahulu, keluarga kami (dan mungkin umumnya semua masyarakat Minang, entah di luar minang yaa) selalu menggunakan tuduangnasi atau bahasa indonesianya, tudung saji, untuk menutupi makanan yang sudah dihidangkan tapi belum siap-siap di santap. Biar ga ada lalat-lalat nakal yang iseng mencari pengganjal perut di sana. Hehe... Tudung saji sangat bermanfaat sekali, apalagi makanan yang masih anget berasap gittuuhh, mereka tetap bebas mengepul tanpa gangguan lalat. Dulu ketika masih di Mudiak Lawe, kami menggunakan tudung saji. Di Sawahlunto, pakai tudung saji. Di Sungai Pua, di Payakumbuh, di Solok, di setiap daerah yang pernah berdomisili, di sana pasti ada tudung saji. Sepintas, aku ga sadar bahwa tudung saji seberharga itu saking telah terbiasanya dengan si tudung saji. Tapi ketika sudah sampai di Riyadh, tudung saji menjadi barang langka. Setidaknya, aku belum menemukannya. Sebagai gantinya, di sini orang-orang nutupin pake wrapping plastic. Setelah di sini, aku menyadari betapa berharganya tudung saji. 


tudung saji, manaah tudung sajiii? cuma ada wrapping plastics ternyataaahhh -_-"

Kembali ke pernyataan klise, bahwa kita akan mengerti betapa berharga sesuatu setelah ia sudah lama tak berada di sisi kita. Jika kamu kehilangan hanphone 1 menit, ketika menemukannya mungkin gak akan segirang ketika hanphone hilang dan ketemunya setelah dua hari. Tapi, akan lebih berbahagia lagi, jika telah 1 bulan hilang, trus udah ga ada espektasi lagi hanphone nya bakalan kembali, trus tiba-tiba ada yang kontak bahwa hanphone kamu udah ketemu, pasti lebih bahagia lagi. Hal ini membuktikan bahwa sesuatu yang berada di sisi kita akan sangat berharga jika ia telah hilang berbanding lurus dengan waktu kehilangan.

Oh iyaa, cerita kedua perihal prosesi masak memasak adalah soal bumbu masakan. Dulu, mendapatkan bumbu kayak di Indonesia, semisal langkok-langkok (hehe, ini Padang bangeeet yaah?), santan, daun pisang, dan beberapa bumbu lainnya sangatlah mudah. Dulu sewaktu di kampungku, bahkan ga perlu ke mana-mana, tinggal comot di halaman rumah. Bukan halaman rumah tetangga loh yaaa... Hihihi... Sewaktu di Depok juga gampang, tinggal ngacir ke warung sebelah. Apa aja bumbu yang kita pengen, bisa kita dapetin, in syaa Allah. Tapi, di sini gak semudah di Indonesia. Di tempat yang pernah kami kunjungi, tak satu pun yang jualan langkok-langkok, santan dan daun pisang. Paling cuma jual jahe doang. Makanya, pas mau berangkat kemarin aku udah bawa jahe, lengkuas, kunyit, kemiri, asam kandis, hehe... :D
Tapi tetep ajah butuh yang namanya serai, daun salam, daun kunyit, daun ruku-ruku, daun limo, kan yaah? Sejauh ini aku belum menemukannyaaa.... Huaaaa.. -__-"
Apalagi kalo mau cari jengkol dan petai. Haha, aku tidak menemukannya di sini. Lagian, ga minat juga tuh masaknyaa, soalnya pangeran akuuh kaga sukaaa.... :)

Tapi seterbatas apapun bumbunya, memasak menjadi hobi utama bagiku saat ini. Pengeeenn ajah berkreasi ini dan itu. Pokonya, pengen masak yang variatif buat pangeran tercintaah, asyiiik.. :D
Oh iyaa, ada satu bumbu yang sama sekali ga dijual, ga available di pasaran, yang bikin aku sangaaatt semangat memasak yang terbaik sebisaku untuk suami. Itulah bumbu Cinta, bumbu terlezat yang pernah ada. Selezat masakan ibu/mama buat anak-anaknya, karena rahasia terbesar lezatnya masakan ibu/mama adalah bumbu Cinta yang pasti selalu dirindui anak-anaknya.... :)

0 Comment:

Post a Comment

Feel free to accept your comment. Spam comment will be deleted and blocked