Lunchbox dan Uang Jajan

"Bund, mau uang jajan, boleh?" Si kakak suatu hari sepulang sekolah tiba-tiba rikues uang jajan. Selama ini dia enjoy-enjoy aja sekolah tanpa jajan. "Mayan sehari jajan 10 Riyal. Rateel juga jajan tiap hari, kakak diajakin." Tambahnya sambil menyebutkan teman sekelasnya.

"Hmm ... uang jajan yaa.... Kan udah ada bekal (lunchbox)" aku mencoba bernegosiasi. Ekekekeke...

"Iyaaa ... tapi pengen uang jajan jugaa. Lima riyal ajaa. Ga perlu 10 riyal kayak Mayan." Sebagai gambaran, 5 Riyal itu kira-kira sekitar 20K rupiah. Tapiii, harga jajanan di sekolahnya berkisar antara 1-3 Riyal. Jadi, kalau disetarakan dengan jajanan di Indonesia, 5 riyal itu dapat 5 jajanan. Satu riyal seharga sebungkus popcorn atau wafer.

"Ok, let me discuss with your Daddy." Jawabku kemudian. Waktu itu week end, jadi ... tidak perlu buru-buru memutuskan.

*****

Perihal uang jajan memang masing-masing orang tua memiliki kebijakan sendiri. Ada teman yang tidak membiarkan anaknya jajan sama sekali, akan tetapi setiap keinginannya (misal pengen beli roti atau potato chip), maka sang ibu/ayahnya yang membelikan. Ada yang memberikan uang jajan sebagaimana pada umumnya orang tua memberikan uang jajan kepada anaknya. Ada yang memilih untuk membuatkan jajanan sebagaimana jajanan anak-anak di sekolahnya sehingga anak-anak tak perlu jajan lagi. Ada pula teman yang lebih extrem (tapi bisa jadi ini adalah lebih baik) yang hanya memberikan anak uang modal untuk kemudian mereka membeli barang yang dijual. Keuntungannya menjadi uang jajan sang anak. Untuk level ini aku kayaknya angkat tangan hehehehe.

Selama ini, kami memang nyaris tidak memberikan uang jajan kepada mereka. Karena, untuk ke sekolah mereka telah dibekali lunchbox yang isinya berbagai snack dan juga air mineral.
Paling tidak ada 2 slice chocolate sanwich, cupcake, snack-snack sekitar 2-3 pcs, sekotak susu. Kadang aku juga membuatkan burger ala-ala buat anak-anak. Dulu juga beberapa slice buah potong. Tapi karena sering ga dihabiskan, emak kapoook. Dahlah, makan buahnya pas di rumah aja pas ngumpul sekeluarga 😅.
Rasa-rasanya dengan bekal segini, anak-anak tidak perlu lagi jajan karena makanan ini cukup sampai mereka pulang sekolah (masuk jam 6.30 pulang jam 12.40). Dan di rumah tinggal makan siang. Tidak perlu membawa bekal nasi dan lauk pauk (alias makanan berat) juga. Dua kali waktu break di sekolah, rasanya cukup untuk menghabiskan bekal segini. Bahkan sering juga bekalnya malah tak sampai habis.

****
Singkat cerita, akhirnya kami mengabulkan permintaan kakak untuk jajan. Sesungguhnya tidak ada yang paling benar atau paling salah dalam kebijakan orang tua memberikan uang jajan. Yang berprinsip tidak memberikan jajan juga pasti ingin yang terbaik untuk anaknya. Sebaliknya, yang memberikan uang jajan juga tidak sepenuhnya salah. Menurutku ini. Hehehehe. 

Apa alasan kami (aku dan suami) akhirnya memberikan uang jajan.
Pertama, kami mencoba memposisikan diri jadi anak. Ketika masih anak-anak, memiliki uang jajan suatu kesenangan tersendiri dan ketika tidak punya jajan, rasanya juga sedih. Hehehe. (Bukan berlindung dibalik kalimat--namanya juga anak-anak lho yaaa) heuheu. Karena, yang ga dikasi uang jajan, belum tentu kelak ketika dewasa menjadi orang yang rajin menabung dan pandai mengelola uang. 

Kedua, memperkenalkan kepada anak bagaimana mengelola uang dan semoga dengan ini mereka mengerti dan melek dengan financial management. Bagaimana anak bisa mengelola uang sedari dini jika mereka tak memiliki uang? Karena ini adalah praktek bukan sekedar teori. Makanya kami sepakat dengan memberikan uang jajan ini.

Tapi, kami memberikan uang jajan ini bukan memberikan bergitu saja. Kami meminta anak-anak untuk belajar mengalokasikan (alias budgeting) uang mereka. Kami meminta mereka untuk mengalokasikan dari sekian uang jajan mereka, berapa yang ingin mereka keluarkan untuk infaq, berapa yang ingin mereka keluarkan untuk jajan, dan berapa yang ingin mereka simpan sebagai tabungan. Hanya 3 alokasi itu saja terlebih dahulu. Jadi, harapannya, ketika anak diberikan uang, mereka sendiri yang memiliki kesadaran untuk mengalokasikan infaqnya, tabungannya dan jajannya. Mereka yang menentukan nominalnya. Selain itu, kami meminta mereka untuk membuat laporan keuangan. Khusus kakak, dalam bentuk tertulis. Dan si uni (masih belum bisa nulis sendiri), maka laporannya boleh disampaikan secara lisan. Mereka menyambut rencana kami dengan riang dan penuh semangat. Ma shaa Allah, ternyata Kakak malah membuat laporan keuangan sendiri dengan formatnya sendiri sebelum aku memintanya. Ma shaa Allah tabaarakallaah.

Kami memberikan uang jajan untuk seminggu sekaligus. Jadi mereka lebih leluasa dalam memenej uang mereka sendiri. Begitu harapannya. Awalnya aku mengira mereka akan mengalokasikan uang tabungan dan infaq sekitar 1-2 riyal saja karena ngebet pengen jajan. Sesuai komitment awal, bahwasannya aku tak akan "merecoki" berapapun jumlah yang mereka alokasikan tersebut. Jadi aku sudah siap-siap menahan diri untuk tidak memberikan saran apapun terkait alokasi mereka. Menahan diri untuk tidak komentar apapun dengan berapa nominal tabungan dan infaqnya meski tabungannya cuma 1 atau 2 riyal saja seminggu. Ma shaa Allah tabaarakallah, ternyata mereka mengalokasikan 20% untuk infaq, 40% untuk tabungan dan hanya 40% dari total yang akan mereka jajankan. Ma shaa Allah ... hadzaa min fadhli Rabbi. Rasanya terharu sekali ketika mereka ternyata mengalokasikan infaq dan tabungan jauh di atas espektasiku.

Semoga dengan cara ini mereka memahami bagaimana mengalokasikan dan memenej uang sendiri sedari dini. Ini hanyalah sebuah harapan orang tua yang masih harus banyak belajar sepertiku. Dan aku share di sini bukan berarti aku paling benar dan paling baik caranya. Aku hanya berharap, jika ini adalah sesuatu yang baik, semoga bermanfaat bagi sesiapa yang membacanya.

Dahulu, kami pernah mengalokasikan uang untuk anak tapi kami yang menentukan. Ini sekian riyal buat tabungan dan sekian buat infaq. "Hayoo masukin ke celengan masing-masing" (waktu itu belum ada jajan). Tapi bukan mereka yang mengalokasikan. Kemudian kami menyadari bahwasannya hal ini (mungkin) tidak menumbuhkan kesadaran untuk mengelola keuangan sendiri dan tidak menimbulkan kesadaran tentang kebiasaan berinfaq. Karena ditentukan oleh kami sebagai orang tua.

Dengan membebaskan mereka mengalokasikan ini semoga menimbulkan kesadaran dalam diri mereka sendiri (atas petunjuk dan hidayah Allah--Allahummahdiinaa yaa Rabb) untuk membiasakan berinfak sesuai dengan keinginan mereka sendiri, dengan besaran yang mereka tentukan sendiri tanpa ditetapkan atau didikte oleh kami sebagai orang tua sehingga mereka merasa tidak terpaksa untuk berinfak karenanya.

Aku masih ingat kata-kata si Uni ketika dia pengen mengalokasikan sekitar 35% uang jajannya untuk infaq (yang kemudian jadi 20% menyamakan dengan si Kakak), "Nanti, uang infaq uni ini akan menjadi harta uni di akhirat ya Bund. Dapat balasan yang berkali lipat." Yaa Rabb ... nyesss... adeeemm, mata sampai berkaca-kaca mendengar si Uni bilang gitu. Yaa Rabb ... ma shaa Allah tabaarakallah. Semoga Allah berikan hidayah dan keistiqomahan untuk anak-anak kami ya Allah.

'Ala kulli haal, ini hanyalah ikhtiar manusia (yang dhaif) seperti kami. Dan Allah yang menggenggam hati mereka dan memberikan ilham kepada mereka. Semoga mereka tetap dalam hidayah dan penjagaan-Mu yaa Rabb.

0 Comment:

Post a Comment

Feel free to accept your comment. Spam comment will be deleted and blocked