Rhapsody Pasar Ikan



Satu setengah hari pasca gempa, aku menelusuri pasar Raya dan lebih spesifiknya pasar ikan dan Los daging, di mana di sana adalah lokasi terparah yg terkena gempa untuk kawasan Pasar Raya. Api sisa kebakaran akibat gempa yang melanda Sumbar pada 30 September berkekuatan 8,3 SR (ternyata bukan 7,6 tapi 8,3. Tercatat di BMG untuk gempa vulkanik 7,9 SR tapi untuk tektoniknya 8,3 SR) masih menyala. Reruntuhan masih tak bergeming. Dan, puluhan orang eihhh… mayat masih terjebak di balik reruntuhan itu. Sebagian ada yang terbakar.

Namun, ada fenomena menarik yang kutemui di sana. Apa itu? Di atas reruntuhan itu, di mana, api pun masih menyala, dan puluhan mayat masih tergeletak begitu saja, terjebak di dalamnya, ADA BANYAK PEDAGANG YANG SUDAH MULAI BERJUALAN! Ini satu setengah hari setelah gempa looh. Jum’at pagi!

Terlepas dari apapun itu, --harga yang melonjak tajam, dan ironi rasa kemanusiaan yang terkadang perlu dipertanyakan, serta tawa yang menyertai tangisan itu--, aku perlu belajar banyak dari semangat para pedagang itu. Semangat untuk kembali bangkit setelah terpuruk. Begitu cepat mereka bangkit! Hanya satu setengah hari saja di tengah gelimpang mayat dan api yang berkobar! Betapa bersemangatnya!

Lalu, beranjak ke kampus Unand Limau Manih yang rusak-rusak. Kebanyakan gedung berlabel kuning dengan tags : LAYAK HUNI DENGAN PERBAIKAN SEGERA. Sedikit  yang berlabel hijau dengan tags : LAYAK HUNI. Banyak juga yang dilabeli warna merah dengan tags : TIDAK LAYAK HUNI. Dan, kerusakan itu mencapai 72 Milyar (kata ayah Rektor). 



Meskipun, penelitian banyak yg terhenti dan ada juga yg gagal karena alat-alat labor rusak, meskipun gedung kuliah juga banyak yg rusak, tapi semangat untuk terus melanjutkan proses blajar tetap dilakukan. Meski di bawah tenda. Aku tersenyum dengan sangat terenyuh melihat gedung fakultasku yang kini ‘vulgar’, di mana dindingnya sudah bolong sehingga gedung itu klihatan “seksi” (begitu teman2 mengistilahkan, saking terbukanya gedung itu sehabis dirobohkan). Aku terenyuh melihat teman2 yang seminar proposal, seminar hasil, dan kompre di tenda-tenda. (antara unik dan terenyuh, kuambil potret salah satu suasana Seminar Penelitian yang dilakukan di bawah tenda darurat, blakang fakultas). Sungguh, betapa dengan semangat itu pula, mereka semua bangkit!




Nah, sekarang dikembalikan pada diriku.
Sungguh, sungguh…, amat sangat mengherankan sekali diriku ini. Mungkin karena saat nulis ini agak rada-rada ‘lowbatt’ kali yah? Ini juga, lagi melan banget critanya.
Kenapa…, kenapa…aku tak mengambil plajaran dari semangat mereka? Kenapa tidak blajar dari bagaimana mereka bangkit dari keterpurukkan itu?



Hummm…,
Baiklah. Aku tumpahkan saja di sini. (punya problem apapun, memang enak untuk dituliskan yah? Hehe ^^V)

Aku,…aku…harus segera bangkit dari keterpurukkan ini. Dari pekerjaan sia-sia yg sama sekali tak mutu yang telah kulakukan, dari kesalahan demi kesalahan yg telah kulakukan pada banyak orang. Sungguh…sungguh.., aku ingin minta maaf pada semuanya selagi kesempatan itu ada. Selagi aku masih diberi-Nya kesempatan. Bagaimana jika aku belum sempat minta maaf, dan Dia telah memanggilku kembali? Akankah masih ada tawar-menawar itu di hari perhitungan yang Maha Teliti, yang tak satupun luput? Aaaah…, aku tak sanggup membayangkannya.

Alhamdulillah, Allah beri aku kekuatan untuk “jujur saja” dalam kesalahan itu. Sungguh, butuh energy besar! Butuh power yg besar unuk melakukannya, setidaknya bagiku. Alhamdulillah. Sebelumnya, aku mencari seribu satu alasan untuk menyimpannya saja rapat2. Menganggap keisengan itu tak pernah terjadi, dan aku takkan melakukannnya lagi. Itu tekadku. Itu janjiku pada diriku sendiri. Namun, aku telah dibuat sesegukkan oleh taujih tatsqif mingguan itu. Membuatku berpikir ulang puluhan kali. Hingga kemudian memutuskan untuk jujur saja. Harus bisa! Harus minta maaf! Meski, sebenarnya sangat berat.

Mungkin ini adalah titik terlemahku.
Kenapa aku selalu saja terjatuh  di sini? Kenapa?
Apakah karena aku belum lulus ujian ini?
Tapi, benar2 mengherankan sekali aku ini, kenapa tidak mengambil plajaran dari kesalahan sebelumnya? Kenapa harus ada kesalahan yang berulang meski dengan bentuk yang berbeda? Kenapa?
Aaaah…., seharusnya dievaluasi dari kemaren2. (tapi, Alhamdulillah, belum terlambat untuk memperbaikinya). Insya Allah, hari ke depan harus lebih baik lagi!


Ah,
Untuk kasus yang satu ini, barangkali memang tak ada cara lain, selain memangkasnya hingga ke akar-akarnya. Melenyapkan segala sesuatu yang berhubungan dengannya. Semuanya! Sesuatu yang akan mengingatkanku padanya.
Berat memang, (dan malah teramat sangat berat!!) tapi, jika aku benar2 ingin berlepas diri, maka aku harus mampu bertahan, hingga hati ini resisten terhadap interaksi itu. Kecuali jika Allah halalkan.

Aku tak ingin menyalahkan soal tendency-ku itu. Hanya saja, aku tak ingin mengkhianati-Nya. Cukuplah Dia saja. Cukuplah Dia saja. Cukuplah Dia saja. Aku hanya ingin menempatkan-Nya di atas segala-galanya. Akupun tak ingin mendikte-Nya soal sebuah kecendrungan, soal sebuah keinginan karena  Dia jauh lebih tau apa yang aku butuhkan ketimbang apa yg aku inginkan. Dan tentu dari-Nya pula perkara yang terbaik itu.

Maaf, aku tak hendak memutuskan silaturrahim. Tapi, aku mungkin terlalu lemah, sehingga yang bisa kulakukan hanyalah memutuskan semua bentuk interaksi apapun. Kurasa, ini salah satu jalan aman untuk berlepas diri, agar aku tak terus menduakan-Nya. Mungkin memang, baginya tak mengapa, karena kurasa tendensi itu tidak reversible, tapi, bagiku, ini sangat “mematikan”. Segala interaksi itu, “sangat mematikan!”. Mungkin baginya malah tidak memberikan pengaruh apa-apa karena semua berjalan pada rel yang wajar. Pada sesuatu yg biasa-biasa saja. Dan, mungkin baginya tendensi itu tidak ada (dalam konteks ini adalah reversibel), tapi bagiku ini memberikan pengaruh yang sangat besar kepada hati. Maka hanya ada dua cara, pertama Allah halalkan, atau kedua: aku harus berlepas diri dari segala bentuk interaksi itu hingga hatiku resisten. Kapan hatiku resisten? Entahlah! Resistensi itu tak bisa ditara, dan tak pula sejenak. Mungkin akan butuh lebih banyak waktu. Maka, katalisator terhebat itu memanglah menjadikan-Nya sebagai satu2nya ghoyah! Hanya Dia, hanya Dia, sekali lagi, hanya Dia saja sebagai ghoyah!

Langkah aman dan paling diridhoi-Nya itu sepertinya memang demikian!
Jika Allah tak halalkan dia, maka aku pun tak ingin memberikan hati yg terpolarisasi kepada siapa yang dipilihkan-Nya! Itu saja!

Aku ingin menikmati hari indah bersama-Nya. Aku ingin, hanya nama-Nya saja yg mendominasi hati ini, bukan yang lain yang berarti aku semestinya teta dalam koridor-Nya. Aku hanya tak ingin berlama-lama di titik terlemah ini. Aku ingin keluar dari “lingkaran” ini. Aku tak ingin berada lama2 di wilayah abu-abu. Apalagi soal hati yang sa’ah wa sa’ah dan iman yang yazid wa yankus. Huhuhu, betapa tak enaknya berada dalam keterombang-ambingan. Bukankah langkah ektrim itu sesekali menyelamatkan?




Aku harus bangkt dari keterpurukkan ini!
Aku harus bangkit!
Aku pasti bisa melewatinya, insya Allah.
Aku pasti bisa! (insya Allah).

Semangat!
Hamasah!
Sumangaik!
Pasya! Pasya! Pasya!
Ganbatte!

0 Comment:

Post a Comment

Feel free to accept your comment. Spam comment will be deleted and blocked