Nah, pada hari pembagian rapor itu, rapornya harus diambil oleh orang tua! Dan aku, dengan jarak sekian jauh dan ditambah pula ayah dan ibuku mesti masuk kerja (wong, pembagian rapornya di hari kerja begitu), mesti mencari-cari orang tua pinjaman, biar ada yg bisa ngambilin rapor. Masih ingat aku, ketika kelas satu semester 1, aku pinjem orang tuanya Alif (Ketos SMANSA 2003-2004), yang kebetulan adalah temennya ayahku juga. Semester keduanya, aku pinjem orang tuanya Ayu (Temen satu kamarku di Asrama sekaligus satu kelas). Semester selanjutnya….aku pinjam orang tua siapa lagi yah? Hee… Pernah, di semester 1 kelas 3, aku tak dapat pinjaman orang tua. Wal hasil, di antara teman2 sekelas, akulah satu-satunya siswa di kelasku yang belum menerima rapor. Hingga seminggu lebih. Sampai aku tak niat lagi ngambil itu rapor! (paraaaaah!).
Hmmph…pembagian rapor! Kebahagiaan dan kenelangsaan bagi sebagian orang! Sebagai saksi hidup (halaaaah, gayaaaaa!) kerap kusaksikan di antara kami (termasuk aku), telah menjadi ‘pembunuhan’ karakter sebagian orang2 nelangsa itu.(wedeeeeh! Bahasanya sereem amat yah! Hihi.) Gak Ding! Gak sampai separah itu lah! Hanya saja, hal ‘kecil’ itu sempat terjadi.
Menurut teorinya Pak Maslow (nama lengkapnya si Bapak nyang satu ini adalah Abraham Maslow…hihi) kebutuhan dasar manusia itu ada 5! (heuu…aku yakin, smua ude pade tau kan yah?). Apa ajah? Pertama Kebutuhan Fisiologis. Contohnya adalah : Sandang / pakaian, pangan / makanan, papan / rumah, dan kebutuhan biologis seperti buang air besar, buang air kecil, bernafas, dan lain sebagainya. Kedua Kebutuhan Keamanan dan Keselamatan. Contohnya seperti : Bebas dari penjajahan, bebas dari ancaman, bebas dari rasa sakit, bebas dari teror, dan lain sebagainya. Ketiga, Kebutuhan Sosial. Misalnya adalah : memiliki teman, memiliki keluarga, cinta dan lain-lain. Keempat, Kebutuhan Penghargaan, contohnya : pujian, piagam, tanda jasa, hadiah, dan banyak lagi lainnya. Kelima Kebutuhan Aktualisasi Diri. Ini adalah kebutuhan dan keinginan untuk bertindak sesuka hati sesuai dengan bakat dan minatnya.
Wokeh….wokeh…., sekarang, kita liyat deeh kebutuhan yang keempat. Kebutuhan akan penghargaan atau bolehkah kubahasakan dengan “Pengakuan eksistensi diri.” Nah, pada saat pembagian raport, sepertinya “kesetimbangan” ini mengalami sedikit ketimpangan! (wedeeeh, bahasanya ribet pisan euy. Heuu…)
Heuu…begini. Banyak di antara temen2 yang pada saat nrima raport ini mengalami ‘kenelangsaan’ yang hanya bisa kami rasakan, namun tak bisa dideskripsikan. Hehe. Kenapa? Karena hanya ada tiga orang yang dilabeli juara. Selebihnya tentu tidak. Karena itu, ada “pengakuan” eksistensi yang hilang! Kenapa hilang? Karena, mereka2 ini, sebelumnya (ketika SD dan SMPnya) adalah orang-orang yang telah terbiasa diakui eksistensinya. Sederhananya begini. Mereka yang terbiasa sebagai pemuncak, bahkan juara umum, di saat pembagian rapor kali ini harus rela berada tidak di posisi itu lagi! Dan itu ada banyak orang! Bukan satu atau dua. Nah, dengan begini…seperti ada eksistensi yang hilang! Walaupun ada dampak positifnya, yaitu lebih terpacu untuk lebih giat, tapi, sebagian justru mengalami penurunan! Kehilangan motivasi. Dan, menjadi begitu down. “Dulu aku bisa, koq sekarang aku jadi begini yah? Orang yang semakin pintar atau akunya yang makin bodoh?”. Padahal, memang kulturnya yang membuat begitu. Atmosfiernya yang membuat begitu. Sesungguhnya, secara potensi akademis, hampir sama loh! Yup, hampir sama! Bolehlah sedikit kita ambil kesimpulan dari hasil test IQ (walaupun katanya sih IQ test tak menjamin jugak!) berada di range yang sama! Sama-sama cerdas! (range cerdas itu adalah di 120-140. Nah, yang kuingat, IQ paling rendah adalah 126 dan paling tinggi 135. Itu artinya, semuanya berada di range cerdas! Memiliki peluang, kemampuan, dan potensi yang sama!). Bedanya, hanya pada motivasi yang salah satu pengaruhnya adalah disebabkan pengakuan eksistensi diri itu!). Dan inilah yang kumaksud dengan ‘pembunuhan’ itu. Aku sepakat sih sama si Rancho dalam pilem 3 Idiots,”Kenapa harus ada system perengkingan?”. Iya tho? Heuu…
Hmm…sudahlah. Tidak ingin membahas rapor lebih lanjut. Akan ada cerita panjang nantinya. Hehe. Aku hanya ingin sedikit meng-ekstrapolasi (heuu…koq ekstrapolasi yah? Memangnya grafik apah?) dengan kondisi para ADK barang kali.
Pun begitu halnya dalam pergolakan jundi-jundi da’wah ini. Kadang, (ini mungkin karena kejahilan pikiranku…jadiii, tolong jangan terlalu diambil pusing dari hasil pemikiran bodoh ini), banyak terjadi ‘ketimpangan itu’ ketika seolah-olah ada ‘tingkatan-tingkatan’ dalam personal2 para pelakunya. Misalnya, si A boleh menerima informasi selevel ini, tapi si B tidak boleh. Lha? Apa bedanya A dan B, tho mereka berdua sama-sama aktivis da’wah? Bisa jadi ada pemikiran di benak si B, “Memangnya ada kasta-kasta begitu yah? Ada sebagian orang yang tinggi dan sebagian lagi rendah!” Apalagi A dan B ini satu angkatan, atau bahkan bisa jadi A, angakatannya di bawah B. Memanglah, ini tentu ada maksud-maksudnya, ada tujuannya, ada goal poinnya, ada mekanismenya, ada titik strategisnya, dan setiap aktivis da’wah punya lahan-lahan yang berbeda dan ini tentu pula tujuannya tiada lain tiada bukan adalah demi keberlangsungan da’wah itu sendiri. Tapi, jika dicermati, kadang kala (tidak selalu loh yah!) menimbulkan sense-sense tertentu di kalangan para AD (aktivis da’wah) itu sendiri. Maka, sesungguhnya yang dibutuhkan adalah kepahaman mengenai hal ini. Walau kadang kala, pemahaman tidak selalu bisa berkompromi dengan perasaan. Heuu….
Aku melihat ada yang berpikir begini…, “Ah, aku kan tidak ‘diakui’ di sini. Yang diakui kan Cuma si A, si B, si C saja. Aku mah, masih di anggap begini… Memangnya mereka saja yang berhak?”. Artinya, itu pikiran-pikiran tereleminasi. Bukan tak sedikit akhirnya yang menjadi BSH dan bahkan berbalik menjadi penentang setelah adanya rasa-rasa tereliminasi ini.
Kemudian, kita jadi belajar dari sini. Bahwasannya itu semua adalah parameter uji ketangguhan kita. Meskipun secara dasarnya, manusia membutuhkan pengakuan eksistensi diri, tapi, ini sama sekali tidak berlaku bagi para AD. Sebab, pengakuan eksistensi bersumber dari manusia. Dalam da’wah BUKAN pengakuan eksistensi dari manusia yang diperlukan, pengakuan eksistensi di hadapan Allah saja!
Yaph! Ini akan menjadi salah satu quality assurance bagi pelaku da’wah. Bahwasannya, sampai di manakah ia mampu bertahan? Sampai di manakah? Yang sangat linear dengan pemahaman dari AD itu sendiri. Apakah selama ini ia berbuat hanya karena qiyadah, hanya karena jamaah, karena MS, atau murni karena Allah saja.
Sungguh, Allah tidak akan pernah bertanya, “pada posisi amanah apa kau berjuang dulunya,” melainkan “apa-apa saja yang telah kau perbuat dan apa-apa saja yang telah kau berikan.” Percayalah, bahwa bukan menyoal “di mana posisi kita”, tapi ini tentang “kerja apa saja” tak peduli, di manakah kaki kita berdiri!
Sosok Mulia Khalid bin Walid telah mencontohkannya pada kita. Bahwa, ketika beliau tak lagi dipilih menjadi seorang panglima perang oleh Sang Khalifah, Umar, padahal beliau adalah orang yang sangat kompetibel, beliau sama sekali tidak bersedih hati, menjadi BSH bahkan penentang. Satu kalimat saja, “Aku tidak berjuang karena Khalifah Umar, melainkan karena Allah!”
Nah, ini semua menjadi filter, menjadi membrane semi permeable, tentang siapa-siapa saja yang benar-benar berbuat karena Allah, bukan karena yang lain, dengan orang-orang yang berbuat hanya karena pengakuan eksistensi itu! Allahu’alam.
وَقُلِ اعْمَلُوا فَسَيَرَى اللَّهُ عَمَلَكُمْ وَرَسُولُه ُُ وَالْمُؤْمِنُونَ وَسَتُرَدُّونَ إِلَى عَالِمِ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ فَيُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنتُمْ تَعْمَلُونَ
Dan katakanlah: "Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Mengetahui akan yang gaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan".
(Qs. 9 : 105)
0 Comment:
Post a Comment
Feel free to accept your comment. Spam comment will be deleted and blocked