Hatiku Teriris Sembilu


Jika hati sudah teriris sembilu…ooh sungguh pedihnya…
Apalagi, ditambah air asam…
Bertambah pedihlah ia…

Eits….tapiiiii, belum tentu pedih juga!
Apalagi jika ditambahkan lado giliang, irisan bawang merah dan tomat lalu dimasukkan ke minyak panas…
Jadilah ia sambalado ati…
*lebih badaceh jika ditambah sedikit patai dan santan…hmm…

Hmm…nyammmy!

===============================================================================

Hahaha!
Ngaur! Sotoy! Asoy!
Hihihi…gak ding!

Itulah salah satu contoh ‘labelling’ yang membuat kata-kata ‘hati teriris sembilu’ senantiasa dilekatkan dengan makna ‘kesedihan, kepedihan, keterpurukkan, kecewa dan rasa-rasa sejenis’ Tapi toh, hati yang teriris sembilu, jika ditambahkan asam (malah tambah pedih?), haha gak jugak!, apalagi ditambahkan komponen lain seperti lado giliang, irisan bawang merah dan tomat (ditambah pula sedikit patai dan santan) lalu dimasukkan ke minyak panas, apakah itu juga sebuah kepedihan? Tentu tidak! Justru lebih nyummmy!

Terkadang, kita—termasuk dan terutama yang nulis ini—terlalu cepat mengambil kesimpulan. Kata-kata yang terpolarisasi menuju energy negative itu seperti T-sel (bukan telk*msel loh yah!) sel-T maksudnya, pada reaksi immunologi di mana ia melakukan memory sehingga suatu saat, jika terpapar lagi, dia akan langsung merememory! Seperti itulah, jika ‘memory’ pada chip hati kita telah meletakkannya pada folder polarisasi energy negative itu. Maka, satu kata saja yang terucap, (jika bisa di ctrl+F , hihi) akan menunjukkan arah negative itu.

So what?
Ah, ini sebenarnya soal bagaimana membuat lingkupnya tidak hanya terdefinitif pada pemaknaan yang sempit sahaja kali yah?
Allahu’alam

0 Comment:

Post a Comment

Feel free to accept your comment. Spam comment will be deleted and blocked