Episode Angkot Ungu

Suatu hari, di angkot ungu, menuju Lubuk Minturun. Penumpang yang sepi, membuat si angkot jalannya begitu merayap. Tiba-tiba saja sang supir menyerahkan sebuah buku padaku. “Coba baca halaman 61 sampai 64, Nak. Lalu, kalau sudah selesai, baca halaman 21 yah.” Kata si bapak yang sebagian besar rambutnya sudah dipenuhi uban itu.

“Eh, iya Pak.” Aku segera membuka halaman yang disebut si bapak. Isinya tentang haramnya berjabat tangan dengan non mahram. Dan, kedua adalah larangan untuk berdua-duaan (khalwat) dengan non mahram tanpa ditemani oleh keluarga. “Anak-anak sekarang yah, aneh-aneh sekali. Tayangan di televisi itu loh, banyak yang merusak generasi muda. Itu, lihat saja. Banyak generasi muda yang berdua-duaan, batasan-batasan yang dilanggar.” Si bapak memberikan wejangan ketika aku selesai membaca halaman yang disebut. “Dan, beginilah salah satu cara Bapak buat mengingatkan, Nak. Kalo dari mulut sendiri, Bapak ini mah bukan siapa-siapa. Bukan ustadz juga. Bukan orang alim juga. Tapi, kalo buku sudah bicara, secara tidak langsung akanmengingatkan mereka.”

Masya Allah…
Bapak itu telah mengajarkanku tentang amar ma’ruf dan nahi mungkar. Sesuatu yang aku dan kebanyakan orang belum tentu juga bisa suarakan dan hanya bisa bungkam, jika aku berada di suatu angkot misalnya, dan melihat ada yang berdua-duaan dan melampaui batas-batas bersikap antar non mahram. Masya Allah… bukankah semestinya diingatkan yah? Semestinya? Apakah ini adalah selema-lemahnya iman. Ataukah, pemandangan ini menjadi hal yang sangat lumrah di lingkungan masyarakat saat ini? Astaghfirullaah…

Sungguh, ini semua mengingatkan kita, tentang pentingnya mengingatkan, pentingnya amar ma’ruf dan nahi mungkar. Baik di dunia nyata, maupun dunia maya.

0 Comment:

Post a Comment

Feel free to accept your comment. Spam comment will be deleted and blocked