Kasidah-an

Suatu hari, pengurus masjid deket rumah datang dan bertanya, “Ada kaset kasidah tidak?” kata si Bapak. Aku yang saat itu ada di TKP, langsung nyeletuk, “kasidah mah kaga ada Pak. Yang ada Cuma nasyid.”
“Nasyid?”
“Iya….Nyanyi islami juga, Pak.”
“Bolehlah.”
Kemudian kuserahkan satu kaset SNADA kepada Bapak itu.

Uhm….ngomong-ngomong soal musik islami, nasyid memang belum populer di kampungku. Apalagi oleh generasi seangkatan si Bapak yang kluaran jaman 45 begitu (hihi..kluaran jaman?? Kaya mode ajah!). musik islami yang lebih populer itu adala kasidah (ngomong-ngomong tulisannya kasidah apah qasidah yak? Hehe). Bahkan, sampai ada latihan kasidah segala. Hee…. Bagus memang, menyemarakkan islam. Hanya saja, ada beberapa baitnya yang kedengaran rancu di telingaku. (ini tidak bermaksud menjatuhkan loh yah. Hanya ingin sedikit mengkritisi dan mudah-mudahan bisa memperbaiki….)

Ng….idealnya, tujuan seni islami (dalam hal ini adalah kasidah dan nasyid), hendaknya jangan hanya jadi konsumsi telinga, tapi juga konsumsi hati. Adanya unsur kebaikan di sanalah yang membuatnya berbeda dengan seni-seni pop lainnya. Nah… konsumsi hati, tentulah hendaknya juga bersumber dari hati, karena yang berasal dari hati, pasti jua akan sampai ke hati. Selayaknya sebuah konsumsi hati, maka Mutlaq yang disampaikan itu semestinya adalah kebenaran. Iya tho?!

Mari (sedikit) mengkritisi beberapa bait kasidah ini.

Hindarilah semua, perbuatan yang keji….
Hindarilah semua, perbuatan yang mungkar….
Amalkanlah Al Qur’an, jadikanlah pedoman…
(sampai di sini kita masih sepakat kan yah?)
Bait lanjutannya
Biarlah orang benci, asalkan Tuhan sayang….

Di sini mulai rancu. Bukankah ini kurang singkron dengan apa yang Rasulullaah sampaikan. Bahwa jika saja Allah sudah mencintai seorang hamba, maka Allah akan memanggil Jibril dan mengatakan bahwa Allah mencintai seseorang tersebut. Kecintaan itu diteruskan kepada penduduk langit dan bumi. Sebaliknya, jika Allah membenci seseorang, kebencian itu pun diteruskan hingga ke penduduk langit dan bumi. Itu artinya, cintanya Allah akan singkron dengan cintanya makhluk. Subhanallaah…, makanya ada sahabat yang hatinya begitu peka sehingga beliau dapat mendeteksi “kecintaan” itu hanya dari “sikap” hewan-hewan di rumahnya, bahkan dari cicak dan tikus saja. Masya Allah…

Yak, lanjut ke bait berikutnya….

Carilah pintu surga, dengan amal sendiri…

Yang ini juga kedengaran rancu. Bukankah, jika kita beramal spanjang hari pun takkan bisa memasuki surganya Allah, jika begitu ke-PD-an kalo surga itu karena amalan kita? Dan bukankah surga itu adalah karena rahmat-Nya?! Bukan berarti tanpa beramal kita akan masuk surga. Hanya saja, jika mengandalkan amal sendiri….mungkin tak satu pun pintu surga dapat kita masuki. Allahu’alam.

Pelajaran yang dapat diambil adalah…seni islami sebenarnya adalah sebuah pintu untuk menyebarkan kebaikan. Dan selayaknya pula, apa yang kita sampaikan itu semestinya adalah kebaikan dan kebenaran. Sebab, jika tidak hati-hati, bisa saja kemudian ia menjadi sebuah pembenaran. Allahu’alam.

2 comments:

  1. Hehe... ini dia kritikus seni...
    Qasidah emang masih eksis kok, apalagi di daerah2 pelosok Sumbar.
    Mungkin sejarah penyebarannya yang mengikuti pola suatu paham yang cukup bertahan di daerah Minangkabau *apasih*

    Btw, liriknya mungkin kadang terkesan dangkal dan lebih mengutamakan kesesuaian irama dan rima, sehingga secara substansi kadang menjadi kurang tepat

    ReplyDelete
  2. hadeuuhh....praktisi seninya angkat bicaraaa....
    hihi...


    yuppp da...
    mutawatir kali yah da...:)

    ReplyDelete

Feel free to accept your comment. Spam comment will be deleted and blocked