Ketika Tangan dan Kaki Bersaksi

anakanakanak

“Pada hari ini Kami tutup mulut mereka; tangan mereka akan berkata kepada Kami dan kaki mereka akan memberi kesaksian terhadap apa yang dahulu mereka kerjakan.”
(Yaa siin : 65)

Dahulu, waktu aku masih kecil, aku ikut rombongan mengaji di sebuah rumah seorang yang dianggap pandai dalam hal agama. Kegiatannya adalah belajar tajwid dan irama Al Qur’an. Sesekali ada penyampaian tausiyah dari ustadznya. Suatu hari, ada tausiah dari si ustadz yang begitu ‘berkesan’, bagiku—juga bagi semua murid-murid sang ustadz tersebut—yang kemudian berdampak pada sikap luguku yang khas anak-anak kala itu.

Lebih kurang, begini isi “tausyiah” sang ustadz, “ Anak-anak sekalian…kelak di akhirat, semua anggota tubuh kita bicara. Mereka akan bersaksi tentang apa yang dahulu kita kerjakan. Tangan akan mengatakan apa saja yang dilakukannya. Kaki pun akan bersaksi kemana saja dilangkahkan. Mata, hidung, kecuali lidah, akan bersaksi tentang apa yang mereka lakukan.” Kami pun tersihir dengan apa yang disampaikan ustdaz. Ada ketakutan dalam hati untuk melakukan kemaksiatan (kemaksiatan versi anak-anak kala itu tentunya). Lalu sang ustadz menjelaskan, “Tapiii, jika kita mau menutup rambut kita, maka rambut akan membela. Tangan berkata…bla..bla…dan akan dibantah oleh rambut, dan rambut berkata, “saya tidak melihat koq.”

Setelah pulang dari mengaji, aku dan adikku langsung mengenakan penutup kepala ke mana-mana, bahkandi dalam rumah sekali pun. Dan itu berlangsung selama dua hari. Kontan saja ibu langsung heran, kenapa koq tumben kami nutup-nutup kepala begitu. Dan kami ceritakanlah apa yang disampaikan sang ustadz. Ibu kemudian geleng-geleng saja, sambil menjelaskan, “tidak begitu….”. Sebenarnya, dalam pikiranku waktu itu juga sempat protes, “trus, kalau maling nutup kepala, bisa bebas dosa dong yah? Bagemana dengan laki-laki yang tak pake tutup kepala?” tapi, karena yang menyampaikan seorang ustad, aku akhirnya percaya saja. Alhamdulillah, kemudian ibu menjelaskan.

Sejauh ini, apa yang ustadz itu sampaikan belumlah lagi kutemukan dalilnya demikian. Mungkin maksud sang ustadz adalah memotivasi kami untuk memakai jilbab, tapi….esensi yang disampaikan berbeda, dan bahkan tergolong sesuatu yang mengada-ada. Bagi anak-anak, dengan keluguan seperti itu, dengan mereka yang apa adanya, tentu akan menelan mentah-mentah segala yang disampaikan tanpa terlebih dahulu menganalisanya, apakah benar atau salah. Dampaknya, anak-anak akan melakukan kesalahan karena “nasihat” dari orang dewasa yang salah. Anak-anak, dengan kepolosan dan keluguan mereka, menerima begitu saja. Dan akibatnya, tentulah fatal. Apalagi anak-anak dimasa mulai meng-adopt segala sesuatu di sekelilingnya, hal-hal seperti ini akan tersimpan di alam pengertiannya. Di alam ketika dia mulai mengenali sesuatu.

Masya Allah…
Plajaran yang dapat diambil, meskipun bermaksud memotivasi, janganlah sampai memberikan nasihat yang salah pada anak-anak. Mungkin akan ada yang berpikir, “aaah, kan masih anak-anak, nanti juga paham sendiri”. Tapi….ternyata, apa yang disampaikan itu dipedomani dan ditelan bulat-bulat oleh sang anak. Al hasil, sang anak tumbuh dengan sebuah motivasi yang salah. Dan itu akan menjadi backgroud mindsetnya ketika ia mulai beranjak besar. Bukankah di masa kecil itu, akan meninggalkan kesan yang begitu dalam pada jiwa sang anak?!

Semoga ini semua mengingatkan kita untuk tidak memberikan motivasi yang salah pada anak-anak dalam bersikap. Kepada anak-anak pun, tetap harus dijelaskan kebenaran sesuatu. Dasarnya apa. Manfaatnya apa bagi kita. Akibatnya apa.

0 Comment:

Post a Comment

Feel free to accept your comment. Spam comment will be deleted and blocked