Aku Memilih : Idealismeku

Hmmm…memilih, berarti harus siap dengan segala konsekuensi. Begitulah. Dan aku, memilih idealismeku.

Menyoal tentang pekerjaan (kefarmasian). Setelah mulai “menyemplungkan” diri dalam dunia pencaker (hee….) aku baru menyadari dan betul-betul paham bahwa farmasist sampai saat ini masih punya lahan yang sangat membentang luas untuk dicangkuli. (petani dong yah? Hihihi… kan S. Farm… Farm(er) kan petani. Wkwkwk….kiddin’). Tak bisa dipungkiri, meskipun lulusan pharmacist (apoteker khususnya) semakin bertambah tiap tahunnya, tetap saja ia sangat langka dan ternyata berstatus “Sangat Dibutuhkan” untuk lahan apotek, rumah sakit, PBF, dinas kesehatan dan instansi pemerintahan, gudang farmasi, industry obat tradisional maupun konvensional, BPOM, industry kosmetik, industry makanan, hingga ke MUI dan bea cukai. Mungkin masih banyak lagi.

Fakta membuktikan, Rata-rata (mungkin nyaris 99,99 %) angkatanku yang notabene tamatan apoteker paling terakhir untuk saat ini (kecuali kalo teman2 yang diwisuda februari 2011 ini sudah mendapatkan ijazah. Hmm…kayaknya belum deh), sudah memperoleh pekerjaan kefarmasian yang tersebar di berbagai lahan dan di berbagai daerah. Bayangkan, hanya dengan rentang waktu sekitar 5 bulan saja. Hmmm… baru tahu aku, ternyata begini yaaah? Hee… Ini mungkin karena aku memilih untuk berdiam diri dari segala sesuatu yang berbau farmasist dalam beberapa bulan terakhir , sehingga aku tidak memahami hal ini dengan sepaham-pahamnya. Hihi. Dan, aku (dengan ke-mengangguran-ku) bukan pula tidak ada tawaran. Banyak malah. Bahkan boleh memilih. Hihi. Juga ada yang statusnya “sangat dibutuhkan” atau “dibutuhkan cepat” yang itu artinya, peluang untuk diterima sangat besaaar. Makanya, aku tak heran, jika dalam rentang 5 bulan ini, hampir semua (kulihat dari cerita-cerita di grup fb angkatan apoteker 09/10) sudah pada bekerja. Hehe…akunya saja yang masih ketinggalan kereta dan hanya memilih PNS yang kemudian tak lulus itu (kata temanku, cita-cita PNS tu terlalu rendah. Hee….baiklah, aku sepakat!). Anehnya, malah memilih terjun ke bidang yang sama sekali bukan latar belakang ilmuku, melainkan apa yang menjadi minatku. Hihi. Tapi kembali, karena aku memang harus memilih.

Huufffttt…
Kembali tentang idealism itu. Tentang tulisan yang kutulis dulunya. “Bertahan dengan idealism atau berdamai dengan realita.” Aku….MEMILIH IDEALISMEku. Aku tidak punya pilihan lain untuk menolak tawaran itu, kecuali benar-benar harus terjun di ranah kefarmasian yang memfasilitasi idealism itu. Aku tidak ingin menerima tawaran yang mengangkangi idealism itu tapi juga tak ingin merusak hubungan sitalurrahim yang selama ini sudah terbina. Jika bukan mereka, aku tentu saja bisa menolak, seperti banyak penolakkan-penolakkan sebelumnya. Apalagi dengan posisiku (yang kata mereka) menganggur itu. Karena ini hidupku. Dan aku yang akan menjalaninya. Tapiiiiiii, sebab ini menyangkut soal hubungan keluarga… Aku jadi seperti buah simalakama. Makaaa…memang harus melarikan diri ke ranah yang bisa berdamai dengan idealism, dan tentu saja ini bukan berarti melarikan diri dari persoalan. Meski pun memilih ini, bukan tanpa konsekuensi. Sebab, memilih ini, berarti aku juga harus meninggalkan sesuatu yang selama ini sangat kuminati itu.

Sebenarnya, ini hanya soal komunikasi saja. Bisa saja dikomunikasikan. Tapiiii, terlalu sulit untuk memahamkan idealisme kepada orang-orang yang di kepalanya hanyalah uang melulu. Bagiku, saat ini masih sangat berat.

Sekali lagi, aku memilih idealismeku. Sungguh, aku tidak ingin menambah daftar panjang orang-orang yang melecehkan profesi ini meski pelakunya adalah sang pemilik gelar profesi ini sendiri. Jika bukan dari dari diri kita (diriku terutama), lalu…akan sampai kapan pembiaran ini? Akan sampai kapankah? Lalu, kapankah akan berubah? Mengapa tidak memilih menjadi agent of change saja?! kenapa tidak dengan perlahan mengubah paradigm (buruk) yang terlanjur di-cap-kan oleh banyak profesi lainnya?

Jika ini idealismenya hanya menyangkut keduniaan saja, mungkin kita masih bisa berdamai. Tapiii, ini soal SUMPAH yang dulu terucap di depan Pak Dekan, di depan pak Rektor, di depan Bapak Ketua IAI, di depan para dosen, di depan para orang tua, di depan rekan sesama mahasiswa, dan terutama sekali…..di hadapan Allah. Sumpah yang diucapkan dengan permulaan “Demi Allah”. Akankah akan menebalkan muka terhadap sumpah itu?!

Aku tahu, ranah farmasi adalah ranah yang begitu rawan. Antara hitam dan putih. Banyak kebajikan yang bisa didulang di sini, tapii….ia-nya juga adalah ranah mafia yang mungkin belum terjamah seperti layaknya kasus pajak itu. Tipis sekali bedanya antara mafia dan kebajikan itu. Tak disadari bahkan. Apalagi obat, berikut perbisnisan yang mengekor di belakangnya, adalah bisnis yang tak pernah mati meskipun dalam keadaan krisis moneter. Karena, obat bertalian dengan pertahanan nyawa. Sekalipun krisis, orang-orang tetaplah memilih penyelamatan nyawa. Maka, tak perlu heran jika banyak macam bisnis yang gugur kala krisis 98 dahulu, dan satu-satunya bisnis yang masih eksis adalah bisnis obat. Karena, sakit tak mengenal krisis. Karena itu, ranah perobatan tetap menjadi ranah yang menggiurkan. Dan tentu saja, akan banyak mafia yang melirik ranah ini. Jika tak kuat-kuat iman, bisa saja terjerumus pada mafia perubatan. Hmm…terlalu miris untuk diceritakan. Terlalu banyak kisah yang tak terungkap. Menyedihkan. Satu kesimpulan besarku adalah : Memang sangat dibutuhkan idealisme untuk ini semua.

Cukup sekian curhat dariku. Hee….
Berkali-kali aku berharap, semoga farmasist dan dunia perubatan semakin lebih baik.
Semakin aku tahu, bahwa memang perlu sekali pembenahan, mulai dari ranah birokrasinya. Sebab, birokrasilah yang menjadi hulu bermulanya.

0 Comment:

Post a Comment

Feel free to accept your comment. Spam comment will be deleted and blocked