Bertahan dengan Idealisme atau Berdamai dengan Realita?

Maghrib itu di depan rak OTC suatu apotek. Biasaa…swamedikasi. Untuk penyakit ringan, mengapa harus ke dokter segala. Wong paling dokter juga kasi itu-itu aja. Dan lagii, kalo sempat “nyasar” dan terdampar di tempat praktek “dokter proyek”, bisa-bisa jadinya terapi tanpa indikasi pula. Ngejar target penjualan, biarrrrr bisa dapet fasilitas yang dijanjikan MedRep. Hee…suudzan ajah..(atau paranoid? Hihi). Gak ding! Gak semua dokter begitu. Ada banyak lagi yang baik. Bahkan sangat baik. Hanya saja….sebagiaaan keciiiiilll ada juga yang mafia tanpa terlihat sebagai mafia. Hee…

Dengan sabar aku menunggu laki-laki—yang mungkin adalah asisten apoteker di apotek itu—selesai melakukan dispensing obat asam urat kepada seorang lelaki paruh baya. Ia memperlihatkan kakinya bengkak akibat adanya hiperurisemia yang dideritanya. Aku hanya perhatikan ia. Seksama. Kulihat-lihat, hmm…sepertinya ada Na-Diclofenac, Alluporinol…hmm…ada satu lagi. Antasida. Baiklah…baiklah…

Akhirnya, tiba giliranku.
“Apa yang bisa dibantu, dik?” tanyanya.
“Hmm…obat untuk ibu, Da. Batuk…pilek…”
“ada demam kah?”
“tidak”
“mau makan yang tablet?”
“emm…” aku berpikir. “yang ada dextrometorphannya deh Da.” (halaaah, gayaa!). Nyari yang antitusifnya lah.
“eeh….tau dektromethorphan juga?”
“hehee…kan anak farmasi.”
“eh, farmasi?” uda itu kelihatan kaget.
“iya..hihi.”
“tingkat berapa?”
Nyengir…”udah tamat, Da.”
“apoteker?”
Aku mengangguk.
“serius?” seperti tak yakin dia. Aku mengangguk yakin. Huumm, apa aku kaga ada tampang-tampang apotekernya? Atau, lebih mirip tampang anak IAIN yah? Hihi. Abiisss…, banyak yang nyangka begitu. Dikirain saia anak IAIN. Hihi. Anak IAIN? Hee…
“waaah. Asli sini?”
“Yup.”
“apoteker langka yah di sini?”
“he eh.”
“trus, sekarang kerja dimana?”
“pengangguran, Da. Hihi.” Dia tertawa. Aku juga.
Hehe…akhirnya, si uda mengatakan bahwa apotekernya sudah mau habis masanya, dan udah mau balik ke kampungnya. Dan dia lagi nyariin apoteker buat APA di apoteknya.
“trus, apotekernya itu mana Da?” aku clingak-clinguk kiri kanan.
“tak ada tuh. Datengnya mah pas ngambil gaji ama nanda tangan SP doang.”
Hee…sudah kuduga! Perilaku turun menurun si apoteker.

Antara idealita dan realita. Begitulah. Akhirnya aku paham, mengapa banyak orang yang di masa-masa idealisnya—katakanlah salah satunya semasa mahasiswa—tiba-tiba menjadi pelaku apa yang ditentangnya itu ketika ia telah berada di ranah kerja. Karena duit itu sulit. Dan karena duit itu adiktif! Hmm…pantas saja, banyak orang kehilangan idealism nya ketika berjumpa dengan duit. Dan pantas pula banyak yang menggadai mahalnya harga kejujuran dan keadilan demi empat hutuf itu. Uang!

Dulu, semasa masih menjadi mahasiswa, aku pernah satu travel dengan seorang mantan aktivis 98 yang ikut menumbangkan cabinet-nya pak Soeharto. Mungkin dia melihat ke-idealis-anku atau mungkin dia (terlanjur menilai) aku sebagai seorang aktivis (hee….padahal kan aku cukup moderat yaah…gak aktivis tulen laah. Hihi), akhirnya kami bertukar cerita. Ia ikut berkoar-koar. Ikut turun kejalan. Ikut meneriakkan yel-yel. Tapi apa? Katanya, idealism tinggal lah idealism. Ketika pun ia menjadi pelaku di ranah legislative, ia pun menjadi apa yang dahulu ia tentang. Begitu ceritanya. Dan baginya, idealism hanyalah milik mahasiswa. Hmm...aku menyelami itu. Aku memahaminya. Hanya saja belum merasainya. Dan, sekarang, aku benar-benar sangat paham sekaligus merasakan…apa yang dirasakannya.

Aku…dengan ke-idealis-spontan-an-ku.
Apa karena aroma kemahasiswaan masi berasa atau karena aku benar-benar idealis?
Entahlah.

Sekarang—setelah jadi pengangguran—baru berasa, duit itu sulit. Dan aku sangat memahami mengapa perilaku sejawatku itu adalah demikian. Meski mungkin melecehkan—atau dengan bahasa lebih lembutnya—sedikit bertolak belakang dengan peran yang seharusnya, tapi…lagi-lagi karena duit itu sulit! Coba saja, setamat apoteker, masi bingung pengin mengadu nasib ke mana, lalu tiba-tiba ada yang menawarkan untuk bekerja sebagai APA di apoteknya. Hanya saja. pada hakikatnya bukan APA melainkan “pinjam nama”. Sebab, peran sang apoteker di sana mulai dari perencanaan, pengadaan, pergudangan, pemesanan, dispensing, hingga pelaporan….DINISBIKAN! apoteker cukup datang sekali sebulan, ambil gaji dan tanda tangan SP. Cukup dengan gaji 700 ribu (bahkan ada yang hanya 500ribu). Karena sulitnya duit, pada akhirnya…diterima jua. APA tak dapat berkutik. Semuanya dikuasai PSA. Hmm…parraaah!

Sekarang, aku mengajakmu berada di posisiku.
Sama seperti case di atas. Belum bekerja. Lalu tiba-tiba ada tawaran demikian. Apa yang hendak kau lakukan? Sementara kau tak punya duit.

Hee…di sinilah “genderang perang” itu ditabuh. Mau menuruti idealism kah? Atau berdamai saja dengan realita? Hmm… Bertahan dengan idealism membuat tak bisa ‘bertahan idup’. Tapi, berdamai dengan realitas, seperti seolah-olah menutup mata dari sumpah yang dulu terucap.

Hee…memang sulit!

Hmm…sebenarnya, kita bisa saja idealis sekaligus berdamai dengan realita. Asalkan berani dengan tegas menyatakan bahwa “jika saya menjadi APA di sini, saya harus laksanakan peran sebagai APA dan diberikan jasa profesi menurut aturan yang berlaku. Jika tidak, yaah, silahkan saja cari yang lain.” Tapi itu tadi, kadang kita “terlalu” mengasihi diri kita dengan sebuah kekhawatiran “huwaa…nanti kalo tak terima ini, bagemana yah? Apa masi ada apotek lain?”. Atau dengan kekhawatiran jenis lain, “ini kan sebuah peluang. Ngapain juga ditolak?”. Atau dengan bahasa lain “aah, lumayan lah. Nambah-nambah pemasukan. Wong Cuma dateng skali sebulan ajah. Gitu ajah koq repot.” Hmm….hmm….Bukankah lebih baik jika semuanya kompak dengan jawaban yang benar-benar lebih nge-farmasist (hedeeh…ngefarmasist? Hmm maksudnya..profesional sebagaimana profesi kita)? Jika semuanya sama dan seragam…, maka masih adakah celah buat terjadinya hal-hal di atas? Insya Allah tidak.

Sesulit apapun, sebenarnya kitalah yang akan “mengangkat” harkat dan martabat profesi ini. Asalkan bisa komitmen dengan itu. Jika mata rantai yang ‘turun menurun’ ini tidak diputus, maka ia akan terus ada. Terus begitu. Lantas sampai kapaaaan? (hee..idealism!). Perubahan bukan sesuatu yang instan. Mestilah perlahan-lahan. Iya kan?

Hmm…kadang, memang realitas mengalahkan idealitas kita. Memang. Aku pun, sering goyah. Tapiii, di saat pengangguran begini, aku telah menolak tawaran apotek?! Hmm…hmm…sebuah keputusan yang berat. Sebuah pilihan yang sulit sebenarnya. Di saat idealism itu benar-benar belum bisa diterapkan!

Eh, sebentar…sebentar…
Barang kali kultur demikian(seperti yang kuceritakan di atas), tidak banyak. Alhamdulillah, dunia kefarmasian sudah merangkak (hee….koq merangkak yah?) Melaju ding, menuju perbaikan… Aku pun berharap begitu. Agar peran farmasis itu bisa berada di posisinya, demi kesejahteraan ummat. Hehe. Sebab, farmasis (seharusnya) punya peran besar dalam dunia kesehatan. Peran yang selama ini mungkin terabaikan, atau mungkin belumlah tergeletak pada tempatnya.

Hayuuuk….hayuuk…farmasist’ers….
Semangaaattt!!

0 Comment:

Post a Comment

Feel free to accept your comment. Spam comment will be deleted and blocked