Ego Dua Hati

“Ma, datang yaah ke wisudaku.” Via telpon gadis itu bicara.
“Iya, Nak. Tentu saja. Mama serta ponakanmu insya Allah datang.” Jawaban dari seberang.
Lalu, gantian ia menelpon sang papa. “Pa, papa datang yah, di acara wisudaku.”
“Iya, insya Allah. Emm…Sabtu depan yah?”
“Iya, Pa.”

Beberapa hari kemudian.
“Ma, undangannya Cuma satu dan berlaku untuk 2 orang. Dan masuk ke auditorium harus dengan undangan. Mama, bisa gak, masuknya bareng sama Papa aja?”
“Wah! Tidak bisa!! Kalau papamu yang masuk, mama tidak akan datang!” Dengan emosi.
Ketika giliran sang Papa, “Pa, undangannya Cuma satu. Papa masuk bareng mama aja yah?”
“Hah?! Bareng mama kamuuuu? Kalau mama yang masuk, Papa tidak akan datang!” juga dengan nada emosi yang sama.
“Bukan begitu Pa. undangannya untuk 2 orang. Syaratnya, harus masuk barengan karena undangannya Cuma satu.”
“Pokoknya, kalau bareng mama, Papa tidak mau!”

Sahabat, menurutmu pembicaraan di atas anehkah? Heuu…tapi, itu terjadi! Di dunia nyata! Bukan rekayasa maupun fiktif belaka!!
Bagaimana nasib sang anak? Yup, sangat terpukul. Sampai-sampai ia berkata, “Kalau Mama dan Papa tidak mau datang, ya sudah! Aku wisuda tanpa dihadiri keluarga! Ya sudah!” dengan air mata, tentunya.

Sungguh menakjubkan, ketika mengetahui dua orang yang saling bersitegang urat leher itu, masih saling mencintai. Bahkan, tak satu pun di antara mereka yang menikah lagi setelah bercerainya. Yah, mereka masih saling mencintai. Itu pun diakui sang anak. Ini hanyalah perkara ego saja, barang kali. Yup, hanya masalah ego.

Heuu…aku tentu tidaklah kapabel membahas masalah ini. Wong pengalaman ajah kaga ada! Udah gitu, gak banyak jugak ngebahas nyang beginian. Ditambah lagi, ini masalah orang dewasa! Dan anak-anak dilarang ikut serta. Hehe. Berarti masi anak-anak dong, saia! Hihi. Hanya saja, aku sedang belajar mengamatinya. Heuu…penonton selalu “lebih jago” dari pemain yah?

Biacar soal ego, yaah, jelas saja, setiap manusia adalah makhluk egosentris. Hanya saja, ada yang mengendalikannya dengan baik dalam interaksi sosialnya, dan ada pula yang ke-egosentris-annya masih mendominasi. Dan, pada case diatas, sepertinya ego masing-masingnya masih sama-sama tinggi. Jika boleh berandai-andai, andai saja, salah satu di antara mereka bersedia sedikit saja menurunkan ambang rasa egonya, maka, masalah akan selesai! Yup, selesai!!

Menurunkan ambang ego itu, sama seperti analgetik menurunkan ambang nyeri! Hehe. Cara analgetik (obat-obat antinyeri) menghilangkan rasa sakit salah satunya adalah dengan menurunkan ambang nyerinya. (nyang laen jugak ada dengan memblokir syarafnya…hee). Meskipun tidak ada hitungan kuantitas untuk rasa nyeri mengingat betapa transendentalnya ia. Dengan menggunakan face book..eh…face scale dan penilaian atas rasa nyeri lainnya (yang sudah kulupa, hihi) sekalipun. Tapi, hasilnya? Yang kita rasakan adalah nyerinya berkurang. Contoh paling nyata adalah ketika sakit gigi (yang ternyata lebih sakit dari pada sakit hati. Hihihi), dan ketika memakan asam mefenamat, nyerinya berkurang.

Pun begitu halnya ego! Ego juga hal yang sama sekali tak terukur. Ia sangat transcendental. Hanya, saja, kita bisa menurunkan sedikit saja…sekali lagi sedikit saja…dari ego kita. Dan, apa hasilnya? Menakjubkan! Segalanya bisa berubah dengan sejenak. ‘nyeri’2 yang terasa dalam berinteraksi tentu saja menjadi berkurang!

Dalam hal berinteraksii sesama manusia, apalagi (seperti case di atas) suami-istri, yaah pastilah akan ditemukan segala sesuatu yang disebut inkompetibel! Ya iyalaaah! Namanya aja menyatukan dua hal yang berbeda! Sangat mustahil dan bener-bener amat sangat absurd, jika ada keluarga yang jalannya muluuuuuuuuuuuuusss bener tanpa ada pertengkaran-pertengkaran kecil! Meskipun istri and suaminya sama-sama plegmatis yang sempurna (heuu….plegmatis damai) sekalipun! Dan, kalau ada nyang mikir, “ntar saia keluarganya insya Alloh kaga pernah ada sedikitpun konflik.” Itu sama aja dengan nyari arang sebesar butir padi dalam goa yang superr duperr gelap penuh bebatuan hitam di malam hari pulak! Jarang! Amat sulit! Dan katanya lagi, justru pertengkaran kecil itu pulak nyang nambahin atawa jadi katalisator kebahagiaan dan keharmonisan. Heuu…itu sih kata orang! Aku mah ngutip aja! Dan bener atawa salahnya, ya silakan buktikan saja sendiri! Hihi. Dan, menjadi baik atau buruk pada akhirnya, barang kali erat kaitannya dengan bagaimana memenej ego itu tadi! Menjadi baik artinya nambahin keharmonisannya. Dan menjadi buruk, akhirnya…perpisahan dan perceraian! Sekali lagi, ini perkara bagaimana saling mengalah dan menurunkan sedikit saja ambang ego! Allahu’alam.

0 Comment:

Post a Comment

Feel free to accept your comment. Spam comment will be deleted and blocked