Untitled

untitled
Sesungguhnya aku tidak pernah bisa menghentikan dan me-nol-kan harap padamu. Mungkin hingga ada yang merenggut paksa harap itu dariku. Aku sadar betapa ini sesungguhnya membelenggu...sebagaimana ada sisi-sisi kenelangsaan yang menghendaki adanya sang perenggut paksa itu. Aku pun tahu, bahwa ada satu kisi yang lain pada jiwa yang tak pernah rela. Tapi, semestinya lebih baik begitu.

Aku sadar…dengan kesadaran penuh…, betapa sebenarnya aku terbelenggu…dan (mungkin juga) membelenggu diri. Apa lagi pada titik-titik kulminatif di mana aku berada pada fase lembah grafik kosinus. Sebagaimana laiknya kompetisi yang begitu niscaya bagi internal dan eksternal diri, ia pun mengambil bagian dari salah satu kompetisi itu. Kompetisi rasa dan rasio.

Aku hanya sedang berusaha kuat, menyangga jiwa agar berada dalam bibir-bibir ketegaran. Tapi, kenyataannya adalah bahwa diri ini hanyalah kumpulan kedhaifan belaka. Atau, aku yang sedang berselindung di belakang pungung kedhaifan sehingga melanggengkannya tetap ada? Ataukah aku yang terlalu merendahkan ambang toleransi bagi diriku sendiri sehingga bagaimana pun aku telah berusaha untuk berada pada garis zero, ternyata masih sepenuhnya belum bisa? Entahlah… Sungguh sangat rumit.

Aku tahu…sungguh fluktuatif ia. Seperti gelombang ultrasonic yang merambat di udara. Tak terlihat, tapi ia sampai pada alat pendeteksinya. Mungkin akan banyak yang berkata, betapa lemahnya! Ya, betapa lemahnya! Aku pun menyadari hal itu. Aku bukan tengah ingin mengambil pembenaran dari begitu banyaknya orang-orang yang juga berada pada lembah grafik kosinus yang sama. Juga sebaliknya, tidak tengah menghakimi diri.

Hmm…sudahlah.
Semestinya aku tak perlu membahas ini lagi. Semestinya. Hanya saja ia butuh muara seperti peran sang drainase dalam mengaliri perairan suatu perumahan. Hanya untuk itu saja.

0 Comment:

Post a Comment

Feel free to accept your comment. Spam comment will be deleted and blocked