Cerpen (edisi khusus)
Vi Em Jie lagi????
Suatu hari, dua orang akhwat tengah berbincang-bincang dan mengeluarkan uneg-uneg mereka. Mereka adalah Naya dan Putri. Naya adalah pengurus BEM KM Unand dan Putri adalah pengurus FKI Rabbani Unand.
Ketika menuruni tangga, kedua gadis belia itu berpapasan dengan seorang ikhwan. Tapi,....tapi..., tunggu dulu? Kenapa dia seperti berwajah sungkan, bukan karena ketawadhu’an, tapi, seperti seseorang pemegang rahasia yang rahasia itu ketahuan. Dan..., dan...siapa akhwat yang jalan di belakangnya? Jalan barengkah mereka? Pacaran? Sungguh-sungguh tak enak untuk dilihat!
Ah, mungkin mereka sudah walimahan kali. Atau, saudari kandungnya?
Gadis itu berusaha untuk membuang jauh-jauh prasangka buruknya. Terlalu dini untuk menduga. Bukankah sebagian dari prasangka adalah dosa? Tabayyun terlebih dahulu tentu akan lebih baik.
”Naya..., pasti lagi mikirin ikhwan dan akhwat yang lewat barusan. Iya kan?” Putri menebak pikiran Naya.
”Hmm... iya sih.”
”Pemandangan yang sangat riskan bukan?”
”Mana tau, mereka udah walimahan.” Naya mencoba menanggapi, walau sebenarnya hatinya mengakui pernyataan Putri yang lebih mengarah kepada sangkaan buruk itu.
”Mereka seniorku. Belum walimahan.” Ujar Putri datar sambil memandang laut lepas dari puncak bukit Limau Manih. Mereka kini telah berada di belakang PKM, dekat Asrama Putri Unand. Angin segar bertiup dari arah lautan membuat jilbab mereka berkibar. Sungguh, pemandangan yang menakjubkan sekaligus membuat fikiran yang jenuh menjadi segar. Maka, syukur sudah selayaknya membasahi bibir setiap insan atas begitu besarnya nikmat yang diberikan-Nya.
”Dahulu, ketika awal masuk, aku kagum dengan kakak akhwat tersebut. Kalau boleh dibilang, kakak itu adalah representasi akhwat militan di Fakultas Hukum. Aku, bahkan sampai menganggap kakak itu nyaris sempurna. Selain militan, pintar, anak orang kaya, anggun, juga pandai menjaga hijab. Aku masih ingat bagaimana nasehatnya ketika kami pengadakan pertemuan antar sesama akhwat sefakultas. Tapi, jika dilihat sekarang kondisinya, aku lebih menilai semua itu hanya sekedar lips service saja.” Putri mengeluarkan uneg-unegnya. ”Ini semua, sebenarnya membuatku cukup jenuh dan membuatku ingin kembali ke masa-masa pertama kali ketika aku mengenal islam lebih mendalam.”
Ya, Miris! Kondisi yang sangat memilukan!
”Ya. Naya sebenarnya juga merasakan hal yang sama.”
”Tau gak Naya, Hal ini pula yang membuatku syok ketika memasuki dunia kampus dengan interaksinya yang begitu cair dan terkadang begitu dekat. Hingga masa-masa SMA seringkali begitu kurindukan. Dulu, waktu di SMA, aku merasakan hijab yang begitu kental. Bahkan, jika bertemupun, kami jarang bertegur sapa dan lebih banyak menghindar. Padahal, jika dibandingkan tingkat pemikiran antara anak SMA dan mahasiswa yang sudah tertarbiyah dengan baik, tentulah mahasiswa jauh lebih paham. Walau ada juga kekurangan dari semua ini, yaitu amal jama’i terasa sangat kaku. Entah karena bi’ah islamiyah yang terbentuk di Rohis kali ya?”
Putri melanjutkan curhatnya. ”Waktu terus berjalan, dan kondisi hijab yang kian cair saat ini. Okelah kita memaklumi adanya kondisi yang begitu heterogen membuat semua kita harus lebih konvergen dalam menyikapi sesuatu. Pintu-pintu hijab yang tadinya tertutup rapat, perlahan mulai terbuka perlahan-lahan. Kerja-kerja jama’i menjadi hal yang tidak terlalu sulit dan kaku serta beku seperti dulu. Syuro-syuro ikhwan akhwat adalah hal yang biasa. Namun, perlahan qadhaya-qadhaya mulai bermunculan, syuro berdua ikhwan dan akhwat dengan dalih amniah (terlebih tanpa hijab yang memadai, dan bukan dalam kondisi darurat), obrolan-obrolan tidak penting yang mulai sering dilontarkan, ghadul bashar yang perlahan ditinggalkan. Virus-virus Merah Jambu mulai bertebaran, dan proses pernikahan yang tidak Islami dimulai dari sini.”
” Tapi... walau bagaimana pun tak bisa pula dipungkiri, akhwat mempunyai potensi fitnah yang teramat besar. Entahlah, namun terkadang apapun dari diri seorang wanita tampak begitu menarik. Suaranya, lemah lembut mengundang fitnah, tegaspun terkadang membuat penasaran. Tapi, kondisi itu semua tidakkah menjadi alert bagi hati kita untuk lebih wara’ dan waspada. Bukankah itu semua semata untuk menjaga diri, menjaga hati, dan menjaga kehormatan, izzah akhwat itu sendiri?”
”Naya juga merasakan seperti ada dilatasi, ada pergeseran makna yang sangat signifikan. Naya sebenarnya sangat kecewa dengan kondisi di BEM, atau di lembaga kemahasiswaan lainnya. Seoah-olah, hijab tak lagi menjadi benteng utama. Canda-canda yang begitu cair antara ikhwan dan akhwat adalah hal yang lumrah. Naya bahkan sempat mendengar adanya celoteh dari teman-teman lain, dia bilang gini, ’dulu saya salut pada orang-orang rohis karena bisa menjaga pergaulan antara laki-laki dan perempuan, namun kini mereka sama saja dengan kami. Apa bedanya orang-orang yang berjilbab lebar atau yang jenggotan dengan mengatung dengan ’kami’, jika sikap mereka kayak gitu’.”
”Bukan hanya BEM dengan tingkat heterogenitas yang tinggi. Bahkan dilingkungan LDK/LDF sendiri!” Putri segera menimpali. ”Hal ini juga linier dengan penurunan kualitas ADK itu sendiri, baik disegi ruhiyah maupun fikroh. Bahkan, saat ini halaqah bukan lagi menjadi kebutuhan kebutuhan, melainkan sambilan atau tempat mampir sepulang dari kuliah. Membina bukan lagi menjadi kewajiban tetapi paksaan atau beban yang memberatkan. Dauroh dan Tatsqifpun bukan lagi menjadi sarana untuk meningkatkan tsaqofah keislaman yang sangat dibutuhkan, tetapi program-program yang dipaksakan. Itupun diikuti dengan hati berat dan ngantuk ketika materi berlangsung.”
”Tapi, Put, bukankah rasa ketertarikan antara ikhwan dan akhwat itu juga adalah sebuah hal niscaya yang tak mungkin bisa dinafikan?”
”Yah, kita bukan malaikat. Kita juga punya rasa ketertarikan dan kecendrungan. Medan ketertarikan antara ikhwan akhwat itu jauh lebih besar dibanding antara akhwat dengan teman-teman lain, setampan apa pun dia, atau sebaliknya, ikhwan terhadap wanita cantik, secantik apapun apapun dia. Walau tak bisa pula dibilang tak mungkin hal itu terjadi. Namun, kebanyakan orang-orang, tertarik kepada orang lain tergantung orientasi terbesar yang ada dalam dirinya. Seseorang akan tertarik, jika ada persamaan antara mereka, seperti fikrohnya, fisiknya, kecerdasannya, atau apapun itu.”
”Lalu?”
”Setiap orang punya kisah yang berbeda, bukan? Bohong, jika ada yang tak mengakui kalau dia tak merasakan hal-hal tersebut. Apalagi, medan sekarang yang terlalu global, dengan kondisi hijab yang juga sangat memprihatinkan. Tapi, masalah yang paling banyak adalah penyikapan yang salah terhadap perasaan itu. Apalagi, ada feedback, ada respon balik. Percayalah, jika setiap orang mau bertanya pada hati terdalam mereka masing-masing, maka sungguh mereka akan menemukan jawaban yang sesungguhnya. Bahwa, ada rasa bersalah ketika interaksinya tidak lagi dikoridor syar’i dalam kepentingan da’wah, bahwasannya ada rasa malu yang teramat sangat jika berjalan berduaan dengan yang bukan mahrom sebelum menikah, bahwasannya ada rasa tak enak ketika SMS-an dengan lawan jenis hanya untuk bercanda-canda dan hal-hal yang tak penting. Itu semua, bagi orang yang sensitifitas hatinya masih peka.”
”Oya, satu hal lagi. Aku melihat fenomena yang mulai janggal. Masih dengan topik yang sama, hanya saja versinya berbeda. Ada pula sebagian yang bersikap cair sama teman-teman ammah, tapi, giliran ke akhwat dia godhul bashor, bener-bener kayak tembok yang tak bisa ditembus siapa pun. Mestinya kan proporsional ya?? Bukankah teman-teman kebanyakan itu juga perempuan yang sama-sama berpeluang untuk menimbulkan fitnah. Lain lagi, dengan kakak senior yang merasa ’udah senior’ yang sikapnya ke junior beda jenis cair banget! Maksudnya disini, dari senior akhwat ke junior ikhwan. Ngerasa n mengangap sebagai adek gituh. Tapi, Seolah-olah hijab tuh gak ada lagi, kendatipun dari senior ke junior. Siapa yang bisa jamin hati kita tetap akan bersih, coba? Lagian, selisih umur 2 atau 3 bahkan 4 tahunpun bukan rentang yang panjang, bukan?”
Naya bungkam dengan apa yang disampaikan Putri. Gadis itu bisa merasakan resah dari hati bening milik Putri yang juga ia temukan resah itu di hatinya. Ia, Putri, dan seluruh ADK bukanlah manusia yang sempurna yang tak bisa menjamin hati masing-masing. Bukan! Sama sekali bukan. Maka, mintalah penjagaan dari Allah, jagalah Allah dihati.
Jagalah Allah ,maka niscaya Ia akan menjagamu. Jagalah Allah niscaya engkau mendapati-Nya bersamamu; jika engkau minta tolong, minta tolonglah kepada Allah…. ( H.R Tirmidzi ). Karena dengan tetap bersama Allah, kita dapat bertanya kepada hati kita saat mulai melangkah menjauh dari jalanNya. Dengan bersama Allah, maka Dia akan menjaga kita apakah lewat saudara-saudara di sekitar kita yang tetap mengingatkan kita. Sebab, hak saudara terhadap saudara lainnya yaitu nasehat menasehati karena Allah. Dalam sebuah hadits, dikatakan bahwa Allah berfirman: ”Jika Aku telah mencintai hamba-Ku, maka Aku menjadi pendengaran yang ia mendengar dengannya, menjadi penglihatan yang ia melihat dengannya, menjadi tangan yang ia memukul dengannya, sebagi kaki yang ia berjalan dengannya...” (HR. Bukhari)
Kasus itu, sebenarnya hanya sekelumit saja. Hanya sampel diantara begitu banyak akktivis da’wah lainnya yang masih memegang teguh kemurnian da’wah dan hakikat hijab yang sesungguhnya. Namun, sering kali, yang sedikit itu meninggalkan noda yang begitu besar terhadap da’wah.
Perasaan cendrung, adalah fithrah, dan merupakan sesuatu yang absurd untuk dimatikan, dibunuh, dan dienyahkan. Jika di Unand ini ada dua ribuan ADK, maka pasti ada dua ribuan pula kisah ’cinta yang fithrah’ itu. Namun, kondisi yang telah mengalami dilatasi itu sedikit banyaknya telah menciptakan moreng di wajah da’wah. Apalagi kasus itu telah begitu menjamur, dan...na’udzubillah, mulai dianggap sebagai hal yang biasa. Dan, pelakunya sendiri adalah orang-orang yang dengan pemahaman yang bagus dan tertarbiyah dengan baik. Kondisi miris, yang hanya sekelumit itu, tanpa disadari akan mengotori hampir keseluruhan ’bangunan suci’ bernama da’wah yang dari dahulu berusaha kita dan para pendahulu kita rintis bersama dengan keringat, air mata, bahkan darah.
Dan, satu hal lagi yang terkadang jarang disadari, bukankah khudwah adalah da’wah yang utama? Dan, bukankah, orang menilai dengan ’menggeneralisasi’ bahwa aktivis da’wah itu secara awam dinilai sebagai ’orang yang faham, yang tak mungkin akan melakukan hal-hal yang dilarang agama (walau, mustahil juga ADK tidak berbuat dosa). Lalu, ketika ada sekelumit oknum saja, yang berbuat kesalahan yang dilihat oleh banyak orang, --seperti kisah ikhwan dan akhwat tersebut--, maka orang akan menggeneralisasi bahwa semua ikhwan akhwat sama saja perangainya. Sedangkan aktivis da’wah aja begitu!? Masak sih kita ga boleh juga?! Bukankah itu semua akan menjadi pembenaran bagi orang lain? Lalu, apa gunanya lagi ikhwan/akhwat kita menyerukan suara kebenaran, bahwa pacaran itu haram, sementara saudaranya sendiri ’pacaran’, walau katanya sih, versinya ikhwan-akhwat. Sungguh naif!
Saatnya untuk kembali ke ashalah. Kembali, kepada kemurnian yang sesungguhnya. Begitu banyaknya media terutama buku bacaan, terkadang membuat kita sulit membedakan, manakah yang memang benar-benar murni mengajak kita kepada jalan yang hanif, dan mana cerita yang sebenarnya mengumbar syahwat, yang dikemas dengan gaya islami. Bayak sekali cerita-cerita yang berkedok islami, tapi, isinya na’udzubillah..., sama saja membenarkan tindakan nafsu syahwat. Kalaupun ingin mengungkapkan fakta dan kebenaran, maka seharusnya isi cerita itu tidak mengarahkan kepada hal-hal yang justru sebenarnya dilarang dengan disamarkan dengan topeng religius.
Yah, kembali ke Ashalah, makna dan penyikapan cinta yang sebenarnya. Sebab, kasus ini benar-benar telah menginvasi da’wah dari dalam. Seperti sel kanker yang sedang bertumbuh, yang jika tidak cepat-cepat dideteksi dan dipangkas dari sekarang, akan menyebar ke sel-sel sehat lainnya. Okelah, sekarang, kasusnya masih sedikit, tapi, bisa jadi suatu saat, --tanpa kita sadari--, telah mencapai stadium empat yang sulit untuk disembuhkan lagi, karena, yang awalnya masih murni, tak terkontaminasi, kini ikut terinfeksi dengan adanya pembenaran-pembenaran terhadap tindakan -tindakan yang mulai melenceng dari rel.
”Naya, ’afwan, aku harus balik ke sekre lagi nih. Mau rapat keputrian.”
”Oh...ya,..ya, tafadhol. Syukran yah, atas nasehatnya.”
“’Afwan. Sebenarnya, untuk menasehati diri sendiri kok.” Gadis itu tersenyum tulus. “Jika suatu saat, aku berada diposisi kakak seniorku itu, tolong diingatkan saja yah. Tak ada yang bisa jamin hati kita selain Allah kan? Assalamu’alaikum.”
”Wa’alaikumussalam warahmatullah.”
Sepeninggal Putri, Naya kembali tercenung. Tatapannya masih menyapu laut lepas yang terlihat biru berkilau-kilau diterpa sinaran mentari. Gumpalan awan menaungi lautan itu semakin membuat pemandangan lanskap itu terlihat menawan.
Panggilan adzan dari arah mesjid Nurul ’ilmi menyudahi lamunannya. Gadis itu beranjak. Meninggalkan sejumput asa yang menggumpal di dadanya. Segera ia mengistijabah panggilan Rabb, pemilik semesta.
***
Di lain kesempatan,
Secretariat BEM KM UNAND
”Mau kemana Kak?” Naya mendapati satu akhwat yang juga berkiprah di BEM yang wajahnya basah dengan wudhu’. Jam berapa ini? Masya Allah, jam 5 sore. Tapi, kok kakak itu...
”Mau shalat dulu.”
”Shalat?” Naya bertanya heran. Setengah terkejut. Masak sih jam segini baru shalat?
”Saya tadi rapat bareng ammah ukhti, jadi baru sempat shalat sekarang.” Sang Akhwat seolah mengerti keheranan Naya.
Masya Allah! Haruskah mengorbankan Allah? Padahal, justru ruhiyah yang bagus yang akan memberi kekuatan. Lha, kalau amalan yaumi sendiri sudah keteteran?
Memang, waktu yang tersedia adalah tidak lebih banyak dibanding agenda da’wah yang datang bertubi-tubi namun, kalau dilihat kondisi banyak saudara disamping kita, sungguh Naya merasa amat miris. Barangkali Naya juga. Bolak-balik sana sini, SMS sini situ, telpon sana sini, dan masih banyak sana sini lainnya, untuk da’wah katanya. Bagus memang, tapi, benarkah begitu?
Tanpa disadari, ternyata banyak yang terjebak agenda semacam ini. Akhirnya bagaimana? Katanya tuntutan profesinalitas, ibadah pun tergilas. Profersionalitas sempit kali ya? Apakah ini yang dimaksudkan ”rijal-rijal yang telah menjadi buih?” dulunya militan abis, sekarang, abislah militan. Nau’dzubillahi min dzalik.
Jika mesin butuh tambahan bahan bakar untuk dapat terus melaju, pun demikian, bahkan lebih dengan jiwa ini. Sungguh Allah lebih butuh bagi kita untuk diperhatikan. Semoga Naya termasuk orang yang menjaga Allah. ”Jagalah Allah, maka Allah akan menjagamu.”
Argumen-argumen itu bermunculan di relung fikirnya. Tiba-tiba, gadis itu merasa seolah-olah ada kekuatan energi yang menjadi dopping bagi ruhiyahnya. Gadis itu segera menyelesaikan pekerjaannya dan beberapa saat kemudian mulai tenggelam dengan tilawah Qur’an.
***
Be continue dengan kisah-kisah Naya yang lain....Sabar yaa nunggunya…hehehehe…
Nb: Kita saling mengingatkan ya Akhwat, jika nasehat adalah hak saudarimu, maka sudah menjadi kewajiban bagimu untuk memberikannya.
Dikutip dari Novel ”Rapsodi Sepotong Hati”, karangan Urang Keren Dari Syakuro
Vi Em Jie lagi????
Suatu hari, dua orang akhwat tengah berbincang-bincang dan mengeluarkan uneg-uneg mereka. Mereka adalah Naya dan Putri. Naya adalah pengurus BEM KM Unand dan Putri adalah pengurus FKI Rabbani Unand.
Ketika menuruni tangga, kedua gadis belia itu berpapasan dengan seorang ikhwan. Tapi,....tapi..., tunggu dulu? Kenapa dia seperti berwajah sungkan, bukan karena ketawadhu’an, tapi, seperti seseorang pemegang rahasia yang rahasia itu ketahuan. Dan..., dan...siapa akhwat yang jalan di belakangnya? Jalan barengkah mereka? Pacaran? Sungguh-sungguh tak enak untuk dilihat!
Ah, mungkin mereka sudah walimahan kali. Atau, saudari kandungnya?
Gadis itu berusaha untuk membuang jauh-jauh prasangka buruknya. Terlalu dini untuk menduga. Bukankah sebagian dari prasangka adalah dosa? Tabayyun terlebih dahulu tentu akan lebih baik.
”Naya..., pasti lagi mikirin ikhwan dan akhwat yang lewat barusan. Iya kan?” Putri menebak pikiran Naya.
”Hmm... iya sih.”
”Pemandangan yang sangat riskan bukan?”
”Mana tau, mereka udah walimahan.” Naya mencoba menanggapi, walau sebenarnya hatinya mengakui pernyataan Putri yang lebih mengarah kepada sangkaan buruk itu.
”Mereka seniorku. Belum walimahan.” Ujar Putri datar sambil memandang laut lepas dari puncak bukit Limau Manih. Mereka kini telah berada di belakang PKM, dekat Asrama Putri Unand. Angin segar bertiup dari arah lautan membuat jilbab mereka berkibar. Sungguh, pemandangan yang menakjubkan sekaligus membuat fikiran yang jenuh menjadi segar. Maka, syukur sudah selayaknya membasahi bibir setiap insan atas begitu besarnya nikmat yang diberikan-Nya.
”Dahulu, ketika awal masuk, aku kagum dengan kakak akhwat tersebut. Kalau boleh dibilang, kakak itu adalah representasi akhwat militan di Fakultas Hukum. Aku, bahkan sampai menganggap kakak itu nyaris sempurna. Selain militan, pintar, anak orang kaya, anggun, juga pandai menjaga hijab. Aku masih ingat bagaimana nasehatnya ketika kami pengadakan pertemuan antar sesama akhwat sefakultas. Tapi, jika dilihat sekarang kondisinya, aku lebih menilai semua itu hanya sekedar lips service saja.” Putri mengeluarkan uneg-unegnya. ”Ini semua, sebenarnya membuatku cukup jenuh dan membuatku ingin kembali ke masa-masa pertama kali ketika aku mengenal islam lebih mendalam.”
Ya, Miris! Kondisi yang sangat memilukan!
”Ya. Naya sebenarnya juga merasakan hal yang sama.”
”Tau gak Naya, Hal ini pula yang membuatku syok ketika memasuki dunia kampus dengan interaksinya yang begitu cair dan terkadang begitu dekat. Hingga masa-masa SMA seringkali begitu kurindukan. Dulu, waktu di SMA, aku merasakan hijab yang begitu kental. Bahkan, jika bertemupun, kami jarang bertegur sapa dan lebih banyak menghindar. Padahal, jika dibandingkan tingkat pemikiran antara anak SMA dan mahasiswa yang sudah tertarbiyah dengan baik, tentulah mahasiswa jauh lebih paham. Walau ada juga kekurangan dari semua ini, yaitu amal jama’i terasa sangat kaku. Entah karena bi’ah islamiyah yang terbentuk di Rohis kali ya?”
Putri melanjutkan curhatnya. ”Waktu terus berjalan, dan kondisi hijab yang kian cair saat ini. Okelah kita memaklumi adanya kondisi yang begitu heterogen membuat semua kita harus lebih konvergen dalam menyikapi sesuatu. Pintu-pintu hijab yang tadinya tertutup rapat, perlahan mulai terbuka perlahan-lahan. Kerja-kerja jama’i menjadi hal yang tidak terlalu sulit dan kaku serta beku seperti dulu. Syuro-syuro ikhwan akhwat adalah hal yang biasa. Namun, perlahan qadhaya-qadhaya mulai bermunculan, syuro berdua ikhwan dan akhwat dengan dalih amniah (terlebih tanpa hijab yang memadai, dan bukan dalam kondisi darurat), obrolan-obrolan tidak penting yang mulai sering dilontarkan, ghadul bashar yang perlahan ditinggalkan. Virus-virus Merah Jambu mulai bertebaran, dan proses pernikahan yang tidak Islami dimulai dari sini.”
” Tapi... walau bagaimana pun tak bisa pula dipungkiri, akhwat mempunyai potensi fitnah yang teramat besar. Entahlah, namun terkadang apapun dari diri seorang wanita tampak begitu menarik. Suaranya, lemah lembut mengundang fitnah, tegaspun terkadang membuat penasaran. Tapi, kondisi itu semua tidakkah menjadi alert bagi hati kita untuk lebih wara’ dan waspada. Bukankah itu semua semata untuk menjaga diri, menjaga hati, dan menjaga kehormatan, izzah akhwat itu sendiri?”
”Naya juga merasakan seperti ada dilatasi, ada pergeseran makna yang sangat signifikan. Naya sebenarnya sangat kecewa dengan kondisi di BEM, atau di lembaga kemahasiswaan lainnya. Seoah-olah, hijab tak lagi menjadi benteng utama. Canda-canda yang begitu cair antara ikhwan dan akhwat adalah hal yang lumrah. Naya bahkan sempat mendengar adanya celoteh dari teman-teman lain, dia bilang gini, ’dulu saya salut pada orang-orang rohis karena bisa menjaga pergaulan antara laki-laki dan perempuan, namun kini mereka sama saja dengan kami. Apa bedanya orang-orang yang berjilbab lebar atau yang jenggotan dengan mengatung dengan ’kami’, jika sikap mereka kayak gitu’.”
”Bukan hanya BEM dengan tingkat heterogenitas yang tinggi. Bahkan dilingkungan LDK/LDF sendiri!” Putri segera menimpali. ”Hal ini juga linier dengan penurunan kualitas ADK itu sendiri, baik disegi ruhiyah maupun fikroh. Bahkan, saat ini halaqah bukan lagi menjadi kebutuhan kebutuhan, melainkan sambilan atau tempat mampir sepulang dari kuliah. Membina bukan lagi menjadi kewajiban tetapi paksaan atau beban yang memberatkan. Dauroh dan Tatsqifpun bukan lagi menjadi sarana untuk meningkatkan tsaqofah keislaman yang sangat dibutuhkan, tetapi program-program yang dipaksakan. Itupun diikuti dengan hati berat dan ngantuk ketika materi berlangsung.”
”Tapi, Put, bukankah rasa ketertarikan antara ikhwan dan akhwat itu juga adalah sebuah hal niscaya yang tak mungkin bisa dinafikan?”
”Yah, kita bukan malaikat. Kita juga punya rasa ketertarikan dan kecendrungan. Medan ketertarikan antara ikhwan akhwat itu jauh lebih besar dibanding antara akhwat dengan teman-teman lain, setampan apa pun dia, atau sebaliknya, ikhwan terhadap wanita cantik, secantik apapun apapun dia. Walau tak bisa pula dibilang tak mungkin hal itu terjadi. Namun, kebanyakan orang-orang, tertarik kepada orang lain tergantung orientasi terbesar yang ada dalam dirinya. Seseorang akan tertarik, jika ada persamaan antara mereka, seperti fikrohnya, fisiknya, kecerdasannya, atau apapun itu.”
”Lalu?”
”Setiap orang punya kisah yang berbeda, bukan? Bohong, jika ada yang tak mengakui kalau dia tak merasakan hal-hal tersebut. Apalagi, medan sekarang yang terlalu global, dengan kondisi hijab yang juga sangat memprihatinkan. Tapi, masalah yang paling banyak adalah penyikapan yang salah terhadap perasaan itu. Apalagi, ada feedback, ada respon balik. Percayalah, jika setiap orang mau bertanya pada hati terdalam mereka masing-masing, maka sungguh mereka akan menemukan jawaban yang sesungguhnya. Bahwa, ada rasa bersalah ketika interaksinya tidak lagi dikoridor syar’i dalam kepentingan da’wah, bahwasannya ada rasa malu yang teramat sangat jika berjalan berduaan dengan yang bukan mahrom sebelum menikah, bahwasannya ada rasa tak enak ketika SMS-an dengan lawan jenis hanya untuk bercanda-canda dan hal-hal yang tak penting. Itu semua, bagi orang yang sensitifitas hatinya masih peka.”
”Oya, satu hal lagi. Aku melihat fenomena yang mulai janggal. Masih dengan topik yang sama, hanya saja versinya berbeda. Ada pula sebagian yang bersikap cair sama teman-teman ammah, tapi, giliran ke akhwat dia godhul bashor, bener-bener kayak tembok yang tak bisa ditembus siapa pun. Mestinya kan proporsional ya?? Bukankah teman-teman kebanyakan itu juga perempuan yang sama-sama berpeluang untuk menimbulkan fitnah. Lain lagi, dengan kakak senior yang merasa ’udah senior’ yang sikapnya ke junior beda jenis cair banget! Maksudnya disini, dari senior akhwat ke junior ikhwan. Ngerasa n mengangap sebagai adek gituh. Tapi, Seolah-olah hijab tuh gak ada lagi, kendatipun dari senior ke junior. Siapa yang bisa jamin hati kita tetap akan bersih, coba? Lagian, selisih umur 2 atau 3 bahkan 4 tahunpun bukan rentang yang panjang, bukan?”
Naya bungkam dengan apa yang disampaikan Putri. Gadis itu bisa merasakan resah dari hati bening milik Putri yang juga ia temukan resah itu di hatinya. Ia, Putri, dan seluruh ADK bukanlah manusia yang sempurna yang tak bisa menjamin hati masing-masing. Bukan! Sama sekali bukan. Maka, mintalah penjagaan dari Allah, jagalah Allah dihati.
Jagalah Allah ,maka niscaya Ia akan menjagamu. Jagalah Allah niscaya engkau mendapati-Nya bersamamu; jika engkau minta tolong, minta tolonglah kepada Allah…. ( H.R Tirmidzi ). Karena dengan tetap bersama Allah, kita dapat bertanya kepada hati kita saat mulai melangkah menjauh dari jalanNya. Dengan bersama Allah, maka Dia akan menjaga kita apakah lewat saudara-saudara di sekitar kita yang tetap mengingatkan kita. Sebab, hak saudara terhadap saudara lainnya yaitu nasehat menasehati karena Allah. Dalam sebuah hadits, dikatakan bahwa Allah berfirman: ”Jika Aku telah mencintai hamba-Ku, maka Aku menjadi pendengaran yang ia mendengar dengannya, menjadi penglihatan yang ia melihat dengannya, menjadi tangan yang ia memukul dengannya, sebagi kaki yang ia berjalan dengannya...” (HR. Bukhari)
Kasus itu, sebenarnya hanya sekelumit saja. Hanya sampel diantara begitu banyak akktivis da’wah lainnya yang masih memegang teguh kemurnian da’wah dan hakikat hijab yang sesungguhnya. Namun, sering kali, yang sedikit itu meninggalkan noda yang begitu besar terhadap da’wah.
Perasaan cendrung, adalah fithrah, dan merupakan sesuatu yang absurd untuk dimatikan, dibunuh, dan dienyahkan. Jika di Unand ini ada dua ribuan ADK, maka pasti ada dua ribuan pula kisah ’cinta yang fithrah’ itu. Namun, kondisi yang telah mengalami dilatasi itu sedikit banyaknya telah menciptakan moreng di wajah da’wah. Apalagi kasus itu telah begitu menjamur, dan...na’udzubillah, mulai dianggap sebagai hal yang biasa. Dan, pelakunya sendiri adalah orang-orang yang dengan pemahaman yang bagus dan tertarbiyah dengan baik. Kondisi miris, yang hanya sekelumit itu, tanpa disadari akan mengotori hampir keseluruhan ’bangunan suci’ bernama da’wah yang dari dahulu berusaha kita dan para pendahulu kita rintis bersama dengan keringat, air mata, bahkan darah.
Dan, satu hal lagi yang terkadang jarang disadari, bukankah khudwah adalah da’wah yang utama? Dan, bukankah, orang menilai dengan ’menggeneralisasi’ bahwa aktivis da’wah itu secara awam dinilai sebagai ’orang yang faham, yang tak mungkin akan melakukan hal-hal yang dilarang agama (walau, mustahil juga ADK tidak berbuat dosa). Lalu, ketika ada sekelumit oknum saja, yang berbuat kesalahan yang dilihat oleh banyak orang, --seperti kisah ikhwan dan akhwat tersebut--, maka orang akan menggeneralisasi bahwa semua ikhwan akhwat sama saja perangainya. Sedangkan aktivis da’wah aja begitu!? Masak sih kita ga boleh juga?! Bukankah itu semua akan menjadi pembenaran bagi orang lain? Lalu, apa gunanya lagi ikhwan/akhwat kita menyerukan suara kebenaran, bahwa pacaran itu haram, sementara saudaranya sendiri ’pacaran’, walau katanya sih, versinya ikhwan-akhwat. Sungguh naif!
Saatnya untuk kembali ke ashalah. Kembali, kepada kemurnian yang sesungguhnya. Begitu banyaknya media terutama buku bacaan, terkadang membuat kita sulit membedakan, manakah yang memang benar-benar murni mengajak kita kepada jalan yang hanif, dan mana cerita yang sebenarnya mengumbar syahwat, yang dikemas dengan gaya islami. Bayak sekali cerita-cerita yang berkedok islami, tapi, isinya na’udzubillah..., sama saja membenarkan tindakan nafsu syahwat. Kalaupun ingin mengungkapkan fakta dan kebenaran, maka seharusnya isi cerita itu tidak mengarahkan kepada hal-hal yang justru sebenarnya dilarang dengan disamarkan dengan topeng religius.
Yah, kembali ke Ashalah, makna dan penyikapan cinta yang sebenarnya. Sebab, kasus ini benar-benar telah menginvasi da’wah dari dalam. Seperti sel kanker yang sedang bertumbuh, yang jika tidak cepat-cepat dideteksi dan dipangkas dari sekarang, akan menyebar ke sel-sel sehat lainnya. Okelah, sekarang, kasusnya masih sedikit, tapi, bisa jadi suatu saat, --tanpa kita sadari--, telah mencapai stadium empat yang sulit untuk disembuhkan lagi, karena, yang awalnya masih murni, tak terkontaminasi, kini ikut terinfeksi dengan adanya pembenaran-pembenaran terhadap tindakan -tindakan yang mulai melenceng dari rel.
”Naya, ’afwan, aku harus balik ke sekre lagi nih. Mau rapat keputrian.”
”Oh...ya,..ya, tafadhol. Syukran yah, atas nasehatnya.”
“’Afwan. Sebenarnya, untuk menasehati diri sendiri kok.” Gadis itu tersenyum tulus. “Jika suatu saat, aku berada diposisi kakak seniorku itu, tolong diingatkan saja yah. Tak ada yang bisa jamin hati kita selain Allah kan? Assalamu’alaikum.”
”Wa’alaikumussalam warahmatullah.”
Sepeninggal Putri, Naya kembali tercenung. Tatapannya masih menyapu laut lepas yang terlihat biru berkilau-kilau diterpa sinaran mentari. Gumpalan awan menaungi lautan itu semakin membuat pemandangan lanskap itu terlihat menawan.
Panggilan adzan dari arah mesjid Nurul ’ilmi menyudahi lamunannya. Gadis itu beranjak. Meninggalkan sejumput asa yang menggumpal di dadanya. Segera ia mengistijabah panggilan Rabb, pemilik semesta.
***
Di lain kesempatan,
Secretariat BEM KM UNAND
”Mau kemana Kak?” Naya mendapati satu akhwat yang juga berkiprah di BEM yang wajahnya basah dengan wudhu’. Jam berapa ini? Masya Allah, jam 5 sore. Tapi, kok kakak itu...
”Mau shalat dulu.”
”Shalat?” Naya bertanya heran. Setengah terkejut. Masak sih jam segini baru shalat?
”Saya tadi rapat bareng ammah ukhti, jadi baru sempat shalat sekarang.” Sang Akhwat seolah mengerti keheranan Naya.
Masya Allah! Haruskah mengorbankan Allah? Padahal, justru ruhiyah yang bagus yang akan memberi kekuatan. Lha, kalau amalan yaumi sendiri sudah keteteran?
Memang, waktu yang tersedia adalah tidak lebih banyak dibanding agenda da’wah yang datang bertubi-tubi namun, kalau dilihat kondisi banyak saudara disamping kita, sungguh Naya merasa amat miris. Barangkali Naya juga. Bolak-balik sana sini, SMS sini situ, telpon sana sini, dan masih banyak sana sini lainnya, untuk da’wah katanya. Bagus memang, tapi, benarkah begitu?
Tanpa disadari, ternyata banyak yang terjebak agenda semacam ini. Akhirnya bagaimana? Katanya tuntutan profesinalitas, ibadah pun tergilas. Profersionalitas sempit kali ya? Apakah ini yang dimaksudkan ”rijal-rijal yang telah menjadi buih?” dulunya militan abis, sekarang, abislah militan. Nau’dzubillahi min dzalik.
Jika mesin butuh tambahan bahan bakar untuk dapat terus melaju, pun demikian, bahkan lebih dengan jiwa ini. Sungguh Allah lebih butuh bagi kita untuk diperhatikan. Semoga Naya termasuk orang yang menjaga Allah. ”Jagalah Allah, maka Allah akan menjagamu.”
Argumen-argumen itu bermunculan di relung fikirnya. Tiba-tiba, gadis itu merasa seolah-olah ada kekuatan energi yang menjadi dopping bagi ruhiyahnya. Gadis itu segera menyelesaikan pekerjaannya dan beberapa saat kemudian mulai tenggelam dengan tilawah Qur’an.
***
Be continue dengan kisah-kisah Naya yang lain....Sabar yaa nunggunya…hehehehe…
Nb: Kita saling mengingatkan ya Akhwat, jika nasehat adalah hak saudarimu, maka sudah menjadi kewajiban bagimu untuk memberikannya.
Dikutip dari Novel ”Rapsodi Sepotong Hati”, karangan Urang Keren Dari Syakuro