Beberapa waktu yg lalu, singgah di Muttaqin lagih. Waaa,
sudah lama rasanya ga’ asyar di sana. Biyasanya kulii teruus. Jadih, asyar nya
sering di Mushalla Ukhuwwah saahaajaa. Beberapa “halaqoh” rapat ada di sana.
Humm…, jadi taragak jugah rapek and cuap2 di sini lagi. Sudah sangat jaraaang. Huhu.
Setelah lipat mukenah, tiba-tiba dua anak TPA Muttaqiin
mendekatiku, lalu menyalamiku layaknya seorang guru TPA. Kaget jugah siiih,
disalamin macam tu. Tapi, kemudian aku jadi tersenyum saat melihat wajah2 polos
mereka yang ceria. Masya Allah. Aku saaaangaaaat senang anak-anak. Kita orang,
seronoooook sangat! (upin ipin mode : ON). Mereka menghibur sikit
ke-paniangan-an-ku setelah melalui kuliah yang bagiku hmm…cukup berat. Kuliah
manajemen (isinya ilmu ekonomi, ekonomi makro, ekonomi mikro, farmako ekonomi.
Intinya gimana ciptain lapangan kerja yg sukses. Gak ada hubungannya dengan
farmasi-kah? Hmm…, ada siih. Farmako ekonomi. Bisnis perapotekan. Lumayan bo,
dosennya seorang eksekutif muda! Hoho).
Melihat anak-anak itu, dengan seragam mereka, dengan tawa
ceria mereka yang tanpa beban, dengan tangis mereka jika salah satu ada yang
dijailin, kembali melemparkanku pada masa-masa 15 tahun yang lalu. Lima belas
tahun??? Sudah cukup lama untuk satuan waktu dunia tentunya.
Masih sangat lekang di ingatanku, ketika itu ada program
“Wajib MDA” bagi siswa kelas 2-6 SD. (MDA = Madrasah Diniyyah Awwaliyah.
Skarang lazimnya TPA). Waktu itu, ada “sidak” dari wali kelas :
“siapa di antara kalian yang tidak ikut MDA kemaren
sore?”
Aku dengan (polos dan lugu, hehehe) waktu itu angkat
tangan. Waaa, rupanya hanya aku sendiri yang tak ikut MDA. Ibu wali kelas
bilang, “tidak boleh ikut sekolah kalo tidak ikut MDA. Silahkan pulang saja!
Boleh ikut sekolah kalau sudah ikut MDA.”
Hhwaaaa…kyaaaaaa….
Aku waktu itu pulang dengan menangis. Huuhuhu. Kan critanya
diusir dari kelas dan gak bole ikut blajar hari tuu. Eheem…, seharusnya kaan,
“Horrrreee, gak sekolah hari ini. Horreee.., bisa main-main!”. Ups! Stop!
Setooooooooop! Ini pemahaman yang keliru sangat! Hehehe.
Hummm.., bukannya apa-apa siiih, aku tidak ikut MDA bukan
karena ibuku gak seneng kalo aku ikut ngaji. Bukaaan! Tapi, aku sudah diajarin
ngaji dan baca Qur’an sama ibu di rumah, jadi gak perlu MDA lagih. Toh, kan
sama saja intinya. Sama2 blajar Al Qur’an. Iya tho?? (oooh…, ibuku
madrasatul’ulaa terbaikku. Huaaaaa…, taraagaak pulaaaang. Pengen pulkam.
Hiks..hiks..).
Karena program wajib MDA itulah akhirnya aku diantarkan
Uwo sore2nya untuk masuk MDA. Waktu itu di MDA masi Iqro’ dan juz ‘Amma yang
dibaca begini “ alif diateh aa , A. ba bawah I, Bi. Ta depan u, tu”. Hoho.
Dan seiring dengan berjalannya waktu, program wajib MDA
kemudian meluntuur. Akhirnya, muridnya semakin mengalami reduksi. Hingga, kelas
5 MDA, yang tersisa itu muridnya Cuma 3 orang. Tapi, meski muridnya Cuma 3
orang, Bu Nam (guru MDA ku itu) tetap setia mengajar kami. Terima kasih, Bu.
Semoga menjadi amalan shalih yang memberatkan timbangan kebaikan di akhirat
nanti. Amiiin.
Kembali ke kisah anak-anak TPA itu.
Aku benar2 apreciate terhadap mereka. Sungguh! Semoga
ajah mereka menjadi generasi penerus perjuangan da’wah ini kelak. Amiiiin.
Hanya saja, aku terpikirkan tentang satu hal. Kadang,
orang tua sepenuhnya menyerahkan tanggungjawab itu kepada TPA saja. Kalo udah
ngaji di TPA yaa sudah! Tak perlu lagi ngaji di rumah. Padahal, semestinya kan
orang tua ituu (terutama ibu) yang menjadi madrasatul ‘ula, sekolah pertamanya
yang ngajarin anaknya dulu. Termasuk urusan blajarAl Qur’an ini.
Kadang2 agak sikit heran. Hmm…, begini. Orang tua tuh
kepingin anaknya pinter ngaji, rajin baca Qur’an, shalih/ah tapi, ia sendiri
ga’ ngajarin. Bahkan Cuma nyuruh ngaji ajah, tapi ga’ ngasih contoh sama
anaknya dengan merutinkan baca Qur’an di rumah. Missal niiih yaaa, “Naaaak!
Ayo! Ngaji sono!” tapi mak nya sendiri kemudian (beberapa saat setelah nyuruh)
malah ngidupin tipi buat nonton sinetron. Jadi, kan kaga singkron antara
perintah sama khudwah. Iya tho?
Anak2 jaman skarang yg umurnya 3-6 tahun itu kebanyakan
sssiiiihh, lebih pinter nukar channel siaran tipi, ketimbang demonstrasi sholat.
Lebih apal nyanyi band kluaran terbaru dari pada do’a-do’a dan ayat2 pendek,
misalnya. Mungkin, niru mak nya kali yaaah? Maklum, umur2 segini mereka kaaan
jadi plagiat paling ulung sedunia.
Wadduhh, ‘afwan yaah. Ini gak menggeneric kan koq
(generic?? Obat yaah? Hihii), maksudnya gak menggeneralisir semua ibu macam
tuuu koq. Engga! Ini mungkin hanya seperskian saja dari sekian banyak ibu-ibu.
Bukan pula berlagak sok tawu (aku kan belom punya anak. Hoho. Adanya pona’an).
Setidaknya, sebagai seorang pengamat (yg bisanya Cuma ngamati doang, plus
komentar. Hihi. Bukan pemain yang terjun ke lapangan dan ikut the play. Hmm…,
insya Allah suatu saat nanti, kalo Allah menghendakinya di dunia ni. Hehe), Cuma
ini yang bisa kucermati.
Mudah2an generasi selanjutnya akan lebih baik lagih.
Maka, gak ada pilihan lain, slain membaguskan dulu calon ibunya. Pasti stiap orang pengin anaknya sekolah di skolah
paporit, bukan? Kalo ditanya, missal niih, “kenapa mau nyekolain anak di
sekolah bla..bla..bla..?”. Hampir bisa ditebak, jawabannya begini, “Ya iyalaah,
sekola bla..bla..bla…itu kan sekolah bagus! Program2nya keren, disiplin, dan
lingkungannya bagus”, serta sejuta alasan indah lainnya. Nah, bagaimana kalo
stiap ibu adalah sekola pavorit itu. Bagaimana jika madrasatul ‘ulaa itu adalah
madrasah2 paporit yang selayaknya dirindukan oleh semua orang (kalo istilah Pak
Ary Ginanjar ini adalah anggukkan universal, tho?), Tentulah out-come yang
dihasilkan juga luar biyasaa. Mereka yang insya Allah, mengusung peradaban ini
kelak! Barangkali, merekalah generasi yang ditunggu-tunggu itu. Allahu akbar!!!
0 Comment:
Post a Comment
Feel free to accept your comment. Spam comment will be deleted and blocked