Isya’ dengan gerimis yang membersamainya, di suatu mesjid
di kawasan Pasar Baru (hehe, tanpa menyebutkan nama mesjidnya, demi menjaga
nama baik. Cieee…). Pokoknya itu mesjid adalah mesjid yang rame disinggahi
mahasiswa kalo lagi pagi (untuk rapat), asyar untuk rapat lagi, maghrib dan
isya kalo udah telat pulang kampus. Hehe.
Ba’da salam, tiba-tiba dari barisan ibu-ibu ricuh. Ada banyak mulut di sana yang mengerutu gusar entah kepada siapa. Tampaknya kepada barisan blakang yang notabene adalah anak-anak.
Aku sedikit melengok dan menajamkan pendengaran.
“Oo…, rupanya segerombolan ibu2 itu tengah memarahi anak-anak yg meribut di waktu sholat.”
Hummm…, gimana yaaah? Aku melihat ada sedikit “stranger” di sana. Ada sekelompok orang2 dewasa yang mengomel dgn bahasa yang (hmm…, maaf, agak kurang mendidik) kepada satu orang anak. Sang anak jadi terdiam menunduk, bengong. Ia seperti terdakwa. Sednirian pula. Di antara ributnya suara “caci-maki” orang dewasa.
Satu kalimat yang aku rekam dengan persis adalah,
“Hoi, maheboh sajo mah! Rancak ndak usah se sumbayang kok ka maheboh se disiko! Kalua se lah lai. Rancak main-main di lua tu lai dari pado maeboh!!!"
(alih bahasa : hooi, meribut saja mah, bagus tidak usah saja sholat kalau ka meribut saja di sini. Keluar saja lah lagi. Bagus main-main diluar tu lagi dari pada meribut!!)hehehe.
(terjemahan : hoi, meribut ajah! Mending gak usah sholat deeh kalo emang mau meribut! Kluar sono! Mending maen di luar dari pada meribut!
Entahlah, (mungkin ini sedikit sok tau, hehehe) kalimat itu telah MEMATIKAN BEGITU BANYAK POTENSI ANAK! Maklum, mereka kan anak-anak, jadi berbuat kesalahan adalah wajar adanya selagi diarahkan saja kepada yang benar.
Mari kita ulas kalimatnya :
“Mending ga’ usah sholat kalau meribut.”
Berati, mengajarkan kepada anak, untuk tidak sholat. Berarti scara tak langsung, menjadikan anak TIDAK SHOLAT!
Hmm…, rata2 anak2 kaan untuk diajakin sholat itu bawaannnya males. Maunya maiiiin ajah. Nah, ketika dibilang, “rancak ndak usah se sholat dr pd meribut.” Berarti, bisa jadi interpretasi anak adalah, “mending saya ga’ meribut saja, biar ndak sholat.”
Atau, “Dari pada saya kena marah kalo sholat, mending saya main2 ajah.”
Atau, interpretasi lain yang mengarah kepada hal2 negatif.
Seharusnya, sebagai orang tua, orang dewasa, kita kan menyikapinya dengan lebih bijaksana. Bayangkan, di saat yg sama, mungkin teman2nya yang lain sedang asyik main PS, tidur, main mobil-mobilan atau boneka, atau nonton TV di rumah masing-masing. Bukankah kemauan mereka ke mesjid itu adalah salah satu prestasi yang pantas diapresiasi? Bukankah mereka telah belajar lebih banyak untuk bisa sholat ke mesjid? Dan bukankah ada banyak ego kekanak-kanakan yang harus mereka ‘korbankan’ demi ke mesjid? Dan bukankah kalimat di atas secara langsung mematahkan semangat mereka? Maka, tidaklah salah jika terlebih dahulu kita mengapresiasi mereka lalu sembari memperbaiki kesalahan mereka, bukan?
Bukankah akan lebih mending jika kita katakan (anggap saja namanya Melati yaah. Hehe):
“Waah…. Melati hebat yaaa, udah ke mesjid. Hmm…., bagus! Allah pasti sayang Melati. Tapi ingat yah sayang, kalo meribut, itu kan menganggu mak-mak kita yang lagi sholat. Melati mau masuk surga kaaan? Melati mau jadi anak baik kaaan? Nah…, kalo gitu, di mesjid itu kita harus tenang. Kita harus diam, dan berdo’a kepada Allah. oke sayang?”
Bahkan mengatakan “tidak” atau “jangan” saja, harus benar2 diperhatikan! Karena, alam bawah sadar tidak mengenal dua kata itu. Sedapat mungki, hindarilah dua kata itu. Cari kata yang sepadan. Misal : “Jangan meribut” diganti dengan “harus tenang”. Sebab, masa 1-6 itu adalah masa perkembangan pesat bagi sang anak dimana amiygdalanya mulai membentuk suatu prilaku.
Katanya siih, banyaknya kesalahan dalam pola asuh anak telah melahirkan anak-anak remaja dengan kepribadian yang kurang matang. Allahu’alam…
Hmm…, ada banyak hal lagi siiih sebenarnya sola mendidik anak niiih. Salah satu ringkasannya pernah kuposting di sini kalo ga salah. J
Kutulis sepulang Iftor Jama’i yang tlah lama kurindukan ngumpul bareng mereka, 28 Dzulqo’dah 1430 H
Ba’da salam, tiba-tiba dari barisan ibu-ibu ricuh. Ada banyak mulut di sana yang mengerutu gusar entah kepada siapa. Tampaknya kepada barisan blakang yang notabene adalah anak-anak.
Aku sedikit melengok dan menajamkan pendengaran.
“Oo…, rupanya segerombolan ibu2 itu tengah memarahi anak-anak yg meribut di waktu sholat.”
Hummm…, gimana yaaah? Aku melihat ada sedikit “stranger” di sana. Ada sekelompok orang2 dewasa yang mengomel dgn bahasa yang (hmm…, maaf, agak kurang mendidik) kepada satu orang anak. Sang anak jadi terdiam menunduk, bengong. Ia seperti terdakwa. Sednirian pula. Di antara ributnya suara “caci-maki” orang dewasa.
Satu kalimat yang aku rekam dengan persis adalah,
“Hoi, maheboh sajo mah! Rancak ndak usah se sumbayang kok ka maheboh se disiko! Kalua se lah lai. Rancak main-main di lua tu lai dari pado maeboh!!!"
(alih bahasa : hooi, meribut saja mah, bagus tidak usah saja sholat kalau ka meribut saja di sini. Keluar saja lah lagi. Bagus main-main diluar tu lagi dari pada meribut!!)hehehe.
(terjemahan : hoi, meribut ajah! Mending gak usah sholat deeh kalo emang mau meribut! Kluar sono! Mending maen di luar dari pada meribut!
Entahlah, (mungkin ini sedikit sok tau, hehehe) kalimat itu telah MEMATIKAN BEGITU BANYAK POTENSI ANAK! Maklum, mereka kan anak-anak, jadi berbuat kesalahan adalah wajar adanya selagi diarahkan saja kepada yang benar.
Mari kita ulas kalimatnya :
“Mending ga’ usah sholat kalau meribut.”
Berati, mengajarkan kepada anak, untuk tidak sholat. Berarti scara tak langsung, menjadikan anak TIDAK SHOLAT!
Hmm…, rata2 anak2 kaan untuk diajakin sholat itu bawaannnya males. Maunya maiiiin ajah. Nah, ketika dibilang, “rancak ndak usah se sholat dr pd meribut.” Berarti, bisa jadi interpretasi anak adalah, “mending saya ga’ meribut saja, biar ndak sholat.”
Atau, “Dari pada saya kena marah kalo sholat, mending saya main2 ajah.”
Atau, interpretasi lain yang mengarah kepada hal2 negatif.
Seharusnya, sebagai orang tua, orang dewasa, kita kan menyikapinya dengan lebih bijaksana. Bayangkan, di saat yg sama, mungkin teman2nya yang lain sedang asyik main PS, tidur, main mobil-mobilan atau boneka, atau nonton TV di rumah masing-masing. Bukankah kemauan mereka ke mesjid itu adalah salah satu prestasi yang pantas diapresiasi? Bukankah mereka telah belajar lebih banyak untuk bisa sholat ke mesjid? Dan bukankah ada banyak ego kekanak-kanakan yang harus mereka ‘korbankan’ demi ke mesjid? Dan bukankah kalimat di atas secara langsung mematahkan semangat mereka? Maka, tidaklah salah jika terlebih dahulu kita mengapresiasi mereka lalu sembari memperbaiki kesalahan mereka, bukan?
Bukankah akan lebih mending jika kita katakan (anggap saja namanya Melati yaah. Hehe):
“Waah…. Melati hebat yaaa, udah ke mesjid. Hmm…., bagus! Allah pasti sayang Melati. Tapi ingat yah sayang, kalo meribut, itu kan menganggu mak-mak kita yang lagi sholat. Melati mau masuk surga kaaan? Melati mau jadi anak baik kaaan? Nah…, kalo gitu, di mesjid itu kita harus tenang. Kita harus diam, dan berdo’a kepada Allah. oke sayang?”
Bahkan mengatakan “tidak” atau “jangan” saja, harus benar2 diperhatikan! Karena, alam bawah sadar tidak mengenal dua kata itu. Sedapat mungki, hindarilah dua kata itu. Cari kata yang sepadan. Misal : “Jangan meribut” diganti dengan “harus tenang”. Sebab, masa 1-6 itu adalah masa perkembangan pesat bagi sang anak dimana amiygdalanya mulai membentuk suatu prilaku.
Katanya siih, banyaknya kesalahan dalam pola asuh anak telah melahirkan anak-anak remaja dengan kepribadian yang kurang matang. Allahu’alam…
Hmm…, ada banyak hal lagi siiih sebenarnya sola mendidik anak niiih. Salah satu ringkasannya pernah kuposting di sini kalo ga salah. J
Kutulis sepulang Iftor Jama’i yang tlah lama kurindukan ngumpul bareng mereka, 28 Dzulqo’dah 1430 H
0 Comment:
Post a Comment
Feel free to accept your comment. Spam comment will be deleted and blocked