Dari sepuluh penumpang, akhirnya…gugur tiga. Satu penumpang tujuan Maninjau memilih untuk kembali pulang. Dua penumpang lain, sepasang suami istri di mana sang istri sedang hamil tua, tujuan Payakumbuh memilih untuk berpindah ke mobil lain. Aku, dan enam penumpang lainnya yang kemudian bertahan dengan travel yang kehabisan nafas itu. Dua penumpang tujuan Bukittinggi yaitu gadis berusia 19 tahun. Satunya adalah pekerja bordiran Bukittinggi yang memilih tidak tamat SMP, anak ke 6 dari 9 bersaudara di mana ibunya sudah berpulang. Satu lagi, gadis dengan usia yang sama. Ia adalah mahasiswi sebuah sekolah Keperawatan Swasta di Bukittinggi. Lalu, satu lagi, seorang laki-laki. Tujuan Bukittinggi juga. Alumni Fakultas Teknik sepertinya. Hee… Kalau yang ini, aku tak begitu tau. Tiga sisa lainnya adalah sepasang suami istri beserta ibu mertua mereka, tujuan Payakumbuh. Mereka adalah pasangan baru yang baru dikaruniakan anak perempuan umur 4 bulan. Tiga hari sesudahnya mereka akan berangkat ke Batam. (Waaaah…..sampai kenal semuanyaaa, saking lamanyaaa berada di atas travel itu, hihi).
Hmm…dalam kondisi begini, apalagi tangisan sang bayi yang melengking dan ditambah pula agen yang bikin ulah, benar-benar memancing emosi kebanyakan penumpang. Apalagi, bapak si bayi itu. Bermacam sumpah serapah yang keluar, yang sangat tak tega untuk kutuliskan di sini.
Aku hanya ingin berbagi hikmah tentang sepanjang perjalanan ini. Seperti yang sudah kuceritakan sebelumnya bahwa perjalanan akan selalu menceritakan watak pelakunya.
Ini tentang seni memanajemen emosi. Masya Allah, banyak sekali pelajaran yang bisa dipetik dari penggal perjalanan
Kejadian yang cukup menggelitik adalah, ketika sang agen mengkorupsi uang penumpang. Hmm…setengah dari uang yang semestinya disetorkan ke supir, hilang entah ke mana. Namun, di saat penumpang lain sudah geraah dan begitu emosi melihat ulah si agen, justru sang supir dapat mengendalikan emosinya. Sebuah manajemen emosi yang sangat baik. Sungguh. Aku kagum.
Dari sini, aku belajar tentang filosofi air dan api itu. Api ketika bertemu api, tentulah akan menjadi sebuah kobaran besar yang begitu ganas. Pun begitu air, yang jika bertemu air besar, maka menjadi banjir pula lah ia. Maka, api harus bertemu air. Jika saja api yang sedang membaranya, dihadapkan dengan air, maka…menjadi redamlah ia. Masya Allah…
Dahulu, uni psikologku pernah bilang, “orang keras…sangat bisa ditaklukkan.” Katanya. Aku mengernyitkan dahi. “Bagaimana caranya, Uni?” Tanyaku. “Orang yang begitu keras, akan takluk dengan kelembutan.” Yup, benar sekali. Kekerasan, akan bertekuk lutut di hadapan kelembutan.
Uhm….dalam manajemen komunikasi juga. Emosi…sesuatu yang begitu mudah terpancing, hingga melahirkan konflik. Jika emosi berbalas emosi….sungguh kemudian tidak akan berjumpa titik temu. Maka, ini semua mengajarkan tentang bagaimana memenej emosi itu sendiri. Ketika emosi disambut dengan kelembutan. Aku tahu, ini sulit! Sulit sekali. Tapi, bisa! Seorang supir travel itu telah membuktikannya.
Seperti Kata Rasulullaah, “Laa taghdab….Laa Taghdab….Laa taghdab…”
-------------------
Sumber gambar di sini
Subhanallah kak.. ^^ hikmah dari pengalamannya sangat menginspirasi..
ReplyDeleteSemoga kita bisa menahan amarah sehingga mendapatkan jannah seperti sabda Rasulullah..
amiiin....
ReplyDeletewaaah..trima kasih Maisyah yaaah, atas kunjungannyaaa...:)