Hari ini, aku mendapat 3 SMS pemberitahuan tentang berita duka ini....
Innalillaahi wa inna ilaihi Rooji'un....
Telah berpulang ke rahmatullaah Mba Nurul F Huda....di RSUD Sardjito Jogjakarta, 18 Mei 2011 jam 3.15
|
Mba Nurul F Huda |
Semoga segala amalan beliau diterima di sisi-Nya dan mendapatkan tempat yang mulia...
Allahumma amiin....
__________________
Ada kesedihan yang teramat sangat mendengar berita ini. Mba Nurul F Huda adalah salah satu sosok akhwat yang isnpiratif, karya-karya yang inspiratif.... Semoga, segala ilmu yang telah beliau tinggalkan lewat tulisan-tulisannya menjadi inspirasi bagi anyak orang kemudiannya...yang investasi pahalanya terus mengalir...
amiin...
Jika ada yang ingin membaca Tulisan Mba Nurul F Huda, tafadhol dikunjungi sajablog beliau : http://nurulfhuda.multiply.com/
Oh iya, aku juga ingin melampirkan dan meng-kopaskan sebuah penuturan Teh Pipiet Senja tentang Karya Terakhir Mba Nurul F Huda...
___________________
Kenangan Bersama Nurul F Huda: Buku Senantiasa Menautkan Kita
Innalillahi wa Inna ilaihi Roji’un…. Telah berpulang ke Rahmatullah : Nurul F Huda, penulis senior, aktivis Forum Lingkar Pena, 18 Mei 2011 pk. 03.15 di RSUD Sardjito Yogyakarta, akan dimakamkan di Purworejo.
Selamat jalan, adikku cinta, buku terakhirmu telah kusunting; Hingga Detak Jantungku Berhenti.
Karya terakhirmu ini seakan ingin menggemakan; inilah lakon hidupmu, sukaduka, nestapa dengan kelainan jantung bawaan, seumur hidup harus memakai obat pengencer darah, dan lelaki yang dicintai meninggalkan dirimu, demi perempuan lain. Duhai, dindaku cinta, selamat jalan, sampai jumpa bila waktuku tiba.
Aku mengenalnya pertama kali dalam komunitas Forum Lingkar Pena, ada acara bedah buku di Solo. Dia telah menantiku dengan rombongan dari Jakarta, Remon Agus dan Yusuf Mansur. Kami berkeliling Yogya dan Solo, saat itu Nurul belum lama melahirkan anaknya yang pertama.
Sosoknya sangat bersahaja dengan gamis dan jilbab lebar, terkesan low profile. Hingga Remon Agus, bos Zikrul Hakim, berkomentar begini:”Saya senang sekali bisa mengenal para penulis FLP, smart-smart, sederhana dan rendah hati macam Nurul F Huda.”
Ada buku antologi bareng, karyaku dengan Nurul F Huda, diterbitkan oleh Pak Jalal, Penerbit FBA. Editornya Asma Nadia, kalau tak salah 2003, judulnya: Kisi-Kisi Hati Bulan. Kemudian buku cerita anak-anak, karyanya, diterbitkan oleh Bestari Kid, judulnya; Ada Pocong, dan dicetak ulang.
Kutahu karyanya lumayan banyak, puluhan, dan semuanya kebanyakan inspiratif. Baik serial novel remaja, cerita anak, maupun kiat-kiat, motivasi.
Berselang tahun kemudian, kutemui sosoknya di Batam. Dia sukses dengan bisnis Herba-nya. Kami selalu berhubungan via telepon atau SMS, kami diskusi buku dan curhatan. Bahkan dia sengaja menjemputku di pelabuhan Batam, mentraktirku makan siang bersama putriku, Butet.
“Subhanallah, Teteh senang, Dek, dikau sehat dan sukses di sini,” pujiku polos. “Nah, ini mobilnya, ya, wooooow! Masih baru nih!”
Dia hanya tersenyum renyah, masih bersahaja dengan gamis dan jilbab lebarnya. Bedanya saat itu dia sudah memiliki konter Herba di 25 titik di pelosok Batam. Luar biasa!
Awal 2010, rumahku kedatangan Nurul F Huda bersama dua anak dan seorang temannya. Dia sempat curhatan mengenai kondisi kesehatan dan kemelut rumah tangganya.
“Ini hanya kepada Teteh, mohon jangan disampaikan kepada teman-teman kita, ya,” katanya sambil menahan kepedihan yang dalam di matanya. “Sepertinya, saya akan memutuskan satu pilihan dalam sejarah hidupku,” ujarnya pula.
“Jika menurutmu itu lebih baik, ya, ambil sajalah. Tidak mengapa hidup menjadi seorang janda, Dek. Insya Allah, Teteh percaya, dirimu tangguh, muslimah yang istiqomah.”
Sejak itulah, saya mengomporinya terus-menerus agar menuliskan kisahnya, lakon hidupnya. “Rekam sejarahmu, Dek, ayo, jangan pernah malu untuk menuliskannya!”
“Bagaimana nanti kata teman-teman kita?” tanyanya bimbang.
“Menulis ini bisa menjadi terapi jiwa untuk kita, Dek, biarlah apa kata orang. Kita menulis, menulis, menulis sajalah.”
Suatu hari, akhirnya, setelah diteror terus-menerus via SMS, duh, maafkan daku ya Dek… Terkirimlah dari tangan Nurul sebuah naskah, kisah inspirasi. Sepanjang menyunting bukunya ini, terus terang, air mataku sering mengalir deras. Sampai si Butet terheran-heran.
“Memangnya ada, ya, lakon penulis yang lebih parah dari Mama?” cetusnya.
“Psssst!” Kuusir dia buru-buru agar tak mengusik penyuntinganku.
Dan akhirnya sekitar dua bulan yang lalu, kukabarkan via SMS bahwa bukunya telah turun cetak.
“Senangnya, beneran ya Teteh?”
“Iya, nanti dihubungi Pur untuk segala sesuatunya, ya Dek.”
Terakhir kami jumpa di Kaliurang, Munas FLP. Dia tampak kurus sekali, napasnya tersengal-sengal saat menaiki undakan tangga dan dia memang khusus menemuiku.
“Demi Tetehku sayang aku ke sini,” kesahnya riang, kami berpelukan erat sekali. Seolah-olah takkan pernah berpelukan lagi, dan ternyata demikianlah adanya.
“Insya Allah karyamu akan diterbitkan,” kataku menegaskan. “Itu baru satu sekuel, ya, hayo ditambah lagi.”
“Ya, Teteh, aku akan terus menulis…yah, hingga detak jantungku berhenti!”
“Harus tebal, ya Dek.”
“Iya, Teteh…, doakan ya, doakan,” kembali ia memelukku, kami akhirnya bertangisan, entah untuk apa.
Mungkin karena merasa senasib, sebagai penulis dan punya kelainan bawaan. Sepanjang hayat kami harus terhubung dengan dokter, peralatan medis dan berbagai hal urusan obat. Kami pun sama mengalami berbagai hal keajaiban dalam hidup; pertolongan dari Sang Maha Kasih, setiap kali kami merasa terpuruk, terzalimi atau teraniaya.
“Dinda lebih hebat dariku, jantung gitu loh,” kataku selalu menyemangatinya. “Kalau Teteh kan hanya darah. Jika sudah ditransfusi, ya, segarlah. Masih bisa wara-wiri ke mana-mana.”
“Ya, Teteh sayang,” muslimah itu mengangguk perlahan. “Kalau baca kisahmu, waduuuuh, aku masih beruntung, ya….”
“Ya, tentu saja. Dikau kan sarjana, sementara daku ini ijazah SMA pun gak punya,” ujarku sambil ketawa.
Kami kembali berpelukan, ya Allah… Mengapa pertemuan terakhir kita banyak peluk-memeluknya, ya Dek? Sampai aku meledekmu: “Pssst, kita ini kok kayak teletabis saja. Nanti disangka orang, digosipkan deh, kita pasangan sejenis.”
“Iiih, Teteh, apa!” Dan kami kali ini, berpelukan sambil tertawa, meskipun kami tahu ada airmata menggenang di mata masing-masing.
Duhai, Cinta, adikku, entah siapa yang lebih beruntung. Tetapi yang jelas kita sama-sama banyak yang menyayangi, iya kan Dek? Kita memiliki dua bintang kecil, sebagai sumber kekuatan diri manakala kita merasa terpuruk. Dan terutama, kita senantiasa yakin dengan kemurahan Sang Pencipta!
“Aduh, betapa aku ingin seperti Teteh. Kelak bisa punya cucu-cucu juga, ya,” cetusnya sambil menatap wajahku dalam-dalam, seolah ingin menyelami; semesta apakah yang ada di balik sepasang mataku yang terkadang berwarna kuning, karena komplikasi ini.
“Iya, Dek, aku doakan, aku doakan, insya Allah. Kelak dikau pun akan memiliki cucu-cucu seperti Teteh, ya Dek. Makanya, jangan pernah putus asa, semangaaaat!”
Kami berdua mengaminkan segera. Kemudian masih berbincang seputar kondisi kesehatan, kepenulisan, anak-anak. Sempat kupaksa dia masuk ke ruangan yang sedang diselenggarakan Diskusi Sastra. Dia mematuhiku, beberapa saat duduk bersisian denganku, menyimak segala hal yang sedang dibincang oleh para pemateri.
Beberapa kali kucuri pandang sosoknya dari samping, sungguh, dia sangat kurus untuk ukuran tingginya. Hanya 37 kilo, katanya, masya Allah!
“Teteh aku pamitan, ya, ndak bisa ikut Munas. Kasihan anak-anakku di rumah dengan Eyangnya. Ibuku juga sudah sepuh,” ujarnya pamitan.
Kami pun kembali berpelukan erat sekali, kudengar dengan jelas isaknya yang ditahan. Kuusap-usap punggungnya, kubisikkan kata-kata penyemangat dan doaku di telinganya. Kupandangi sosoknya saat menjauhiku, menuruni undakan, dan dia akan melakoni perjalanan ke Yogya pada petang hari yang mendung itu dengan motor.
Aneh, dia masih saja melambaikan tangannya ke arahku dengan senyumannya yang lembut dan bersahaja itu. Sungguh, tak pernah kusangka bahwa itulah lambaiannya dan senyumannya yang terakhir kali kulihat.
Ya, itulah pertemuan kami yang terakhir. Dia dibonceng adiknya dengan motor, melintasi jalanan panjang dari Yogya. Serasa terngiang-ngiang di telingaku bahwa dia datang hanya demi diriku, duhai!
Terimakasih, Dindaku sayang, persaudaraan kita ini sungguh indah.
Aduhai, daku menangis saat kutuliskan semuanya ini. Maafkan, ya Dek, waktu niatku untuk galang dana buatmu masih dipending, rencananya pekan ini akan dilaksanakan di TIM. Tetapi Allah Swt berkeputusan lain, inilah kisahmu, Dek, aku salut dan kagum kepada dirimu.
Maafkan juga, kemarin saat diriku banyak dilimpahi ucapan selamat milad, sementara dirimu sedang berjuang dan telah masuk ruang ICU RSUD Sardjito. Kita masih SMS-an, ini masih kurekam SMS darimu:”Doakan, ya Teteh, kondisiku memburuk. Jaga kesehatan, ya Teteh sayang.”
Duh, dikau masih mengingat diriku yang sedang promosi buku keliling Madura dan Jatim.
Ya, sekali lagi, selamat jalan, adikku cinta…Insya Allah, dirimu akan mendapat tempat terindah di jannah-Nya. Karena engkau muslimah yang solehah, tangguh, mandiri dan pantang menyerah.
Doaku untukmu, Dinda Nurul F Huda!
@@@
Berikut prolog bukunya yang terakhir dan kebetulan diserahkan kepada saya sebagai penyuntingnya, diterbitkan di divisi yang saya gawangi, Jendela, grupnya Zikrul Hakim.
Prolog Nurul F Huda:
Saat ini, aku menjadi single mother bagi dua anakku, Fathin (saat buku ditulis umurnya 8 tahun) dan Azizah (7 tahun). Secara fisik, anak-anakku tumbuh dengan sehat, relatif gemuk (makan sehari kadang 4 kali, pagi-siang-sore-malam). Belum termasuk cemilan dan susu. Mereka juga menikmati bermain, melakukan apa yang disenangi.
Fathin hobi ilmu pengetahuan dan teknologi, Azizah hobi seni, dan relatif tidak mengalami kendala psikologis yang berarti meski harus menghadapi kenyataan memiliki keluarga yang berbeda.
Ya, tentu mereka pernah menanyakan, dengan nada protes ataupun sedih, tetapi tidak sampai membuat mereka murung. Aku berusaha menciptakan kondisi senyaman mungkin bagi mereka agar kesedihan terkurangi. Membangun kedekatan, optimisme, dan keyakinan bahwa kondisi ini adalah yang lebih baik dari sebelumnya. Tentunya dengan terus berusaha membawa kondisi kami menjadi semakin baik, semakin baik lagi.
Fathin dan Azizah bagiku adalah mukjizat. Di saat ada ibu-ibu sehat yang melahirkan bayi cacat, ibu-ibu yang tidak mengkonsumsi obat “berbahaya” dan ternyata melahirkan bayi tidak sempurna, maka atas nama apa aku memaknai keberadaan Fathin dan Azizah jika bukan mukjizat-Nya? Karena itu, aku berusaha agar selalu ingat bahwa mereka harus aku didik menjadi hamba-Nya yang sepenuhnya mengabdikan hidup untuk jalan Tuhan. Semoga aku mampu, dengan pertolongan-Nya. Amin.
__________________________
Sumber Ceriita
di sini
Sumber Gambar
di sini