Laki-laki itu benar-benar membuatku takjub! Masya Allah. Keinginan besarnya untuk belajar membuatku merasa malu pada diriku sendiri. Iya, dia laki-laki yang mengenyahkan sesuatu yang disebut “harga diri dan ego laki-laki” demi sebuah tujuan mulianya, Al Qur’an.
Ia adalah bapak dari dua anak. Umurnya mungkin berada pada kisaran 40 tahun. Pengusaha sukses yang memiliki omset besar. Waah, luar biasa! Tapi—mungkin—semenjak kecil, orang tua si Bapak itu tak pernah mengajarkannya untuk membaca AL Qur’an, pada akhirnya ia sama sekali tak mengenal huruf hijaiyah. Sama sekali.
Suatu ketika, dia melihat seorang akhwat yang kebetulan menjadi pelanggan di counter makanan miliknya, kontan ia berkata,”Mbak, bisa saya minta tolong?”
“Ya, kenapa, Pak?”
“Tolong ajarin anak saya mengaji”
Si akhwat pada mulanya agak menolak, sebab ia sangat sibuk. Tapi, si bapak berulang kali meminta untuk mengajari anaknya mengaji, dan mengeluhkan bahwa ia sudah lama mencari guru yang akan mengajarinya mengaji, tapi tak pernah ada yang bisa. Akhirnya, akhwat tersebut memutuskan untuk menerima tawaran si Bapak, mengajari anaknya mengaji. Mengajarkan Al Qur’an adalah pekerjaan mulia, begitu pikir si akhwat.
Masya Allah, betapa terkejutnya akhwat tersebut ketika mengetahui bahwa satu keluarga itu BAPAK, Ibu dan Dua anaknya sama sekali tak bisa membaca Al Qur’an, bahkan sama sekali tak mengenali huruf hijaiyah.
Sebuah I’tikad yang baik! Ia belajar mulai dari huruf-huruf itu, hingga sekarang sudah lancar Iqro’ III. Masya Allah… Keinginan yang kuat justru ada pada si Bapak itu. Sungguh, jika harus memperturutkan ego dan harga diri, sangat mungkin si Bapak memilih untuk tidak belajar saja, cukuplah anaknya saja yang belajar. Apalagi ia diajari oleh seseorang yang pautan umurnya jauuuuuuuh lebih muda dari si Bapak. Seorang akhwat yang baru lepas SMA. Tapi, melihat semangatnya itu, aku benar-benar dibuat takjub.
Ahh, mari kita petik pelajarannya. Kadang diri kita terlalu angkuh untuk bersedia belajar dari seseorang yang jauh lebih kecil dari kita. Kita termakan dogma bahwa ketuaan selalu berbanding lurus dengan kemampuan. Padahal, tak selalu begitu. Kadang, kita perlu merendahkan ambang ego kita sendiri. Tidak perlu merasa direndahkan harga dirinya dan tak perlu pula meninggikan ego, ketika kita tahu, mahasiswa kita ternyata lebih tahu dari kita. Tak perlu merasa gusar ketika seorang guru diprotes muridnya ketika sang murid lebih tahu tentang suatu hal. Tak perlulah seorang kakak merasa rendah ketika adiknya jauh lebih tahu tentang sesuatu. Setidaknya, ini semua melecuti semangat kita, bahwa memang setiap kejadian menyediakan pembelajaran. Ya, pembelajaran bagi diri kita. Ketika kita bersedia sedikit saja berdamai dengan ego dan harga diri, ketika itu pula, kita tengah menunjukkan sebuah kebesaran jiwa. Sebab, orang cerdas bukanlah orang yang selalu mengetahui segala hal, tapi, adalah ketika ia mau mengakui dan bersedia belajar dari orang lain tak peduli apakah titelnya jauh lebih rendah dari pada dirinya. Dan bapak itu telah membuktikannya.
______________________
sumber gambar di sini
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 Comment:
Post a Comment
Feel free to accept your comment. Spam comment will be deleted and blocked