Ramadhan Mubarook… Bahagiaaaanyaaa….
Heuu…, karena lagi ‘sibuk’, jadinya belum sempat meng-apdet blogku. Sebenarnya
ada banyak kisah yang ingin kubagi padamu semua. Tapi, aku belum sempat untuk
menuliskannya. Jadinya, sebagiannya menguap entah ke mana langitnya. Heuu…
Kisah Ramadhan. Hmm…ada hal ingin
kuceritakan padamu. Pertama, lagi-lagi soal tarwih kilat khusus. Masya Allah.
Ternyata begitu sulit merubahnya. Al Fatihah yang hanya satu nafas, dengan
makhraj yang (cukup) amburadul. Sebenarnya aku juga bukan orang yang faqih
yaah,hanya saja, telingaku terasa ganjil saja mendengarnya. Tiadalah salah
jumlah rakaat 8 atau 20 (toh itu hanya menyoal khilafiyah saja. ada banyak
pendapat tentangnya), namun apalah guna mengejar dua puluh jika dua puluh
rakaat terselesaikan hanya dalam waktu seperempat jam? Masya Allah… Aku sudah
berupaya untuk bicara sama pengurusnya, biar agak pelanan dikit bacanya. Biar
sholatnya bisa kita nikmati. Bukan Cuma gerakan berdiri-duduk lalu salam,
begitu saja. Tapii, sejauh ini belumlah terasa perubahan yang signifikan.
Pernah suatu ketika, yang jadi imamnya
adalah seorang pemuda pencinta Al Qur’an. Dia adalah salah satu mahasiswa di
sebuah ma’had (entah itu institute, aku juga ndak begitu tahu namanya). Ketika
dia membaca dengan makhraj yang benar, ghunnah dan mad yang benar dan konsisten. Juga tidak kilat
khusus. Akan tetapi, yang terjadi malah jama’ah yang semula mencapai 4-5 shaf,
hanya tersisa satu setengah shaf saja. “Maleh ambo mah, lamo bana.” Begitu
alasannnya… Masya Allah…
Ada lagi kisah lain. Ini soal merapatkan shaf. Shaf yang begitu
jarang-jarang. Dan tak sedikitpun bersedia untuk bergeser. Padahal, Rasulullaah
sudah tuntunkan bukan, bahwa merapatkan shaf itu adalah dengan bertemu antara
kaki dan kaki, lengan dan lengan.
“Bu, geser Bu. Ini masih kosong.” Begitu
lebih kurang yang kukatakan pada ibu-ibu di shaf sebelah. Si ibu menjawab, “Ini
juga sudah bergeser tadi. Saya malas kalo rapat-rapat begitu! Panas dan gerah!”
Duuh…duuhh…
Lain lagi cerita ini. Suatu ketika tengah
ke belakang, betapa terhenyaknya ketika
mendapati jamaah yang susunan shafnya aneh. Satu di pojok. Lalu
bolong kira-kira untuk 5 orang. Lalu,
ada shaf lagi sekitar lima
orang. Lalu bolong lagi, dan ada shaf
lagi sekitar 7 orang. Ini shafnya bagaimana?? Hadeuuhh… Ketika ditanya dan
dikatakan ke si ibunya, “Tadi shaf ini penuh kok. Tapiii, karena anak-anak itu
pada ndak sholat lagi, Cuma sampai 8 rakaat saja, makanya jadi bolong-bolong.”
“Bukannya jadi terputus shaf nya, Bu?”
“Ah, ndak lah. Kan tadi ada anak-anaknya. Sekarang aja yang
ndak ada.”
“Kenapa tak bergeser saja, Bu?”
“Saya senang di sini. Kalo rapat-rapat
begitu, gerah. Makanya saya mojok di sini sendiri.”
tuing…tuing…tuing…
Ya Allah, mungkin karena mereka belum
mengerti! Tapi, bukankah tugas kita untuk mengingatkan? Dan bukankah yang akan
dimintai tanyanya nanti adalah kita, “kenapa tidak mengingatkan dan memberi
tahu?”
Waaah, masya Allah…
Sungguh, sebenarnya diri ini pun belumlah
faqih dengan ilmunya. Sungguh, diriku pun belumlah memiliki ilmu. Oleh
karenanya, aku juga tidak memiliki cara untuk mengingatkannya. Jika secara
langsung, aku sudah berupaya untuk member tahu, tapii…jawabannya yah begitu.
Apalagi, bagi si ibu-ibu, aku ini kan
masih anak bau kencur. (heuu…abis masak gado-gado kaliiii… hihi). Maksudnya,
dalam frame berpikir masyarakat pada umumnya, “Orang tua adalah selalu benar.
Inilah tradisi dari nenek moyang dulunya. Lantas, kamuu anak yang beru lahir
kemarin, berani-beraninya menyalahkan kami!”
Ya, butuh pembenahan yang perlahan. Begitu
yang dikatakan ustadz Yassin LC, ketika ditanyai soal ini. Sebab, tidak mungkin
kita menyampaikannya dan memberitahukan jika justru akan membuat masyarakat
antipati, jika justru akan merusak ukhuwah islamiyah. Ukhuwah islamiyah adalah
sesuatu yang wajib, sementara tarwih adalah sesuatu yang sunat. Mengapa harus
mengorbankan yang wajib untuk yang sunat?
Ini adalah tantangan untuk kita semua.
Membenahinya secara bersama-sama. Membangun kedekatan hati terlebih dahulu.
Lalu, memperbaiki yang salah…
Maafkan aku jika ada yang salah dari
‘protes’ku kali ini (sebab aku hari ini, hanya bisa menuliskannya di sini), dan
aku belumlah memiliki banyak ilmu. Aku juga bukanlah orang faqih. Jadi, apa
yang kusampaikan ini, hanyalah sebab aku masih dangkal ilmunya. Mungkin engkau
punya cara yang lebih baik. Mungkin engkau dapat lebih bijaksana dalam
menyikapinya. Maka, bersediakah engkau membaginya untukku? Bersediakah engkau
mengingatkan aku?