"Sesuatu yang Tak Perlu Disebut"

Beberapa hari terakhir, aku kebanjiran 'sampah spesifik' di tongku. Ya, mungkin aku pernah bercerita tentang aku dan tong sampah (lebih tepatnya, aku adalah tong sampah), tempat dibuangnya segala uneg-uneg (heuu, bukan bermaksud untuk menyatakan cerita-cerita itu adalah sampah loh yah. Ini hanya sebuah istilah lebay saja). Uneg-uneg paling spesifik itu adalah sesuatu yang tak pernah lekang dimakan jaman. Sesuatu yang 'menghidupkan' produser musik, film, dan juga novel-novel. Jika tanpanya, maka menjadi hampalah semuanya itu. Sesuatu yang dahsyat banget, melebihi tsunami, tapi tersimpan rapat-rapat. Meluap bak air bah, tapi jelmaannya hanyalah rona merah di pipi atau senyam-senyum tanpa sebab yang jelas (hoho, bukan skizofrenia loh yah, walaupun sesuatu itu memang sering membuat banyak orang skizofrenia, hihi). Ia nya tak pernah berwujud, tapi begitu berasa. Ada, tapi tak teraba (juga bukan om Jin loh yah, hihi). Dan dia lebih menyeramkan dari jelangkung. Datang tak diundang, diusir-usir ndak mau pergi. Haha. Parahnya lagi, ia tak bisa diundang kedatangannya, sebagaimana juga tak bisa diusir begitu saja jika dia telah hadir. Okeh, you know that so well lah yah, tentang apa yang sedang kumaksudkan itu. Kita sebut saja, itu adalah "sesuatu yang tak perlu disebut". Hehe...

Menyenangkannya menjadi tong sampah adalah kisah-kisah yang dipaparkan kepada kita, kemudian menjadi pelajaran berharga yang bisa kita punguti hikmahnya. Meski kita bukan solutor (ahaha, ada yah istilah solutor? kalau tak ada, biarlah aku yang membuat istilahnya sendiri. Hihi. Solutor = orang yang memberikan solusi), yaaa meskipun bukan solutor, setidaknya menjadi tempat dibuang dan dimuarakannya segala uneg-uneg telah (sedikit) mengurangi beban mereka yang sedang resah. Selain itu, menjadi sebuah pembelajaran bagi diri kita tentunya. Dan, inilah bagian paling menarik dari mendengarkan sebuah uneg-uneg.

Nah...naahh, beberapa waktu terakhir, aku kebanjiran uneg-uneg tentang "sesuatu yang tak perlu disebut" itu. Ah, lagi-lagi memang tak pernah lekang. Tak pernah basi untuk diceritakan, juga untuk didengarkan. "Sesuatu yang tak perlu disebut" itu ternyata telah menyita banyak waktu orang-orang. Sesuatu yang di banyak waktu justru merenggut rasionalitas manusia. Aku nda tau nih, apakah memang ada hubungannya dengan feniletilamin  yang memenuhi celah sinap saraf atau tidak? Menyoal sesuatu yang berkaitan dengan urusan hati kadang terlalu rumit untuk dikaitkan dengan kimia-kimia saraf. (ahaha, kimia saraf? bahasa apa pulak iniiih?). Uhm, lebih tepatnya, rumit menemukan keterkaitan antara perihal hati dengan otak. Sebab, di banyak waktu, masalah hati justru membuat otak tak lagi rasional. Nah, tentu saja aku tak tahu apakah ada kaitannya dengan serotonin, dopamin dan neurotransmitter lainnya (halaaaah, ini mah udah nyelonong kemane-mane, neng! hihi).

Uhm,,,"sesuatu yang tak perlu disebut" itu senantiasa menghadirkan harapan-harapan pada si 'hospes' nya (hoho, memangnya kuman apah? pake hospes-hospes an segala. hee.. Tapi, boleh yaa, anggap saja hospes. heuu...). Ya, harapan-harapan (yang kebanyakan semu) yang jauh dari realitas. Men-sinkron-kan segala sesuatu yang bahkan sama sekali tak sinkron. Parahnya lagi, dahsyatnya "sesuatu yang tak perlu disebut" itu justru memberikan energi (mungkin tak lagi 38 ATP, tapi jutaan ATP kali yah, hehe) untuk melakukan sesuatu yang bahkan hampir-hampir tak mungkin dilakukan seseorang secara logika. Mungkin, di sinilah letak mengapa "sesuatu yang tak perlu disebut" itu menjadi menu paling menarik dalam lagu-lagu, film-film, maupun novel-novel. Energi yang dahsyat.

Jika dikupas, mungkin jutaan huruf juga takkan mewakilinya, sebab begitu butuh banyaknya ulasan dan  pembahasan mengenai "sesuatu yang tak perlu disebut" itu. Akan tetapi, aku hanya ingin membahas salah satu side effect dari "sesuatu yang tak perlu disebut" yang sering menjadi bumerang tersendiri bagi sang hospes. Sebab aku adalah 'pihak luar' dari orang-orang yang sedang dilanda dilema tentang "sesuatu yang tak perlu disebut", maka mungkin aku bisa lebih sedikit memandang dari sudut yang berbeda. Akan lain cerita, jika aku adalah sang hospes itu saat cerita itu diceritakan (bukan berarti aku juga bukan hospes itu loh yah. Sebab, setiap manusia PASTI pernah menjadi hospes nya). Tapi ini menyoal cerita yang diceritakan kepadaku yang notabene aku tak terlibat dalam cerita-cerita hati itu. Hee (hadeeeehh, ko jadi berbelit-belit begini bahasanya? Jangan-jangan malah mirip gerakan abnormal atetosal karena kelainan saraf. Haha, nda nyambung!).

Satu hal yang kemudian benar-benar kugarisbawahi tentang "sesuatu yang tak perlu disebut" itu adalah lahirnya pengharapan. Ya, lahirnya sebuah pengharapan. Kalau katanya si UNIC, "Jika mata, diuji manisnya senyuman, terpamit rasa, menyubur harapan. Dan seketika, terlontar ke dunia khayalan. Hingga terlupa, singkat perjalanan..." (ko jadi ber-nasyid ria pula nih? hee... Tapi, setidaknya nasyid Unic ini cukup mewakili cerita kita kali ini. hehe. Ya menyoal harapan itu. Sering kali, ketika "sesuatu yang tak perlu disebut" itu kemudian menyita banyak ruang di lokus hati, harapan menjadi pengiring dan ikutan setia di belakangnya. Harapan untuk membersamai, ini lebih tepat dan gamblangnya. Harapan untuk membersamainya. Iya, dia. si dia.

Ah, tapi di sanalah letak bumerangnya si "sesuatu yang tak perlu disebut". Pada banyak case, pada banyak waktu, pada banyak orang, justru kemudian harapan itu lah kemudian justru meluluhlantakkan hati, ketika harapan hanyalah menjadi sebuah catatan asa yang tak pernah menemukan wujud nyatanya. Tak pernah ada yang salah dengan "sesuatu yang tak perlu disebut" itu. Ia nya adalah fitrah yang tak pernah mungkin manusia pangkas. Bohong besar jika ada orang berkata, "aku sama sekali tak pernah merasakannya." Ah, itu hanya kebohongan belaka. Akan tetapi, ketika harapan untuk membersamai itu telah mendominasi begitu banyak dari lokus hati, maka di sinilah letaknya.

Dari uneg-uneg yang masuk ke tongku (karena aku tong sampahnya, hee), satu pelajaran berharga yang kupetik dan ingin kubagi denganmu semua adalah, tentang harapan-harapan itu. Seperti yang sudah kusinggung di atas. Melukis asa-asa untuk membersamai itu adalah seperti menggelindingkan bola es dari atas gunung salju. Semakin menggelinding, maka semakin membesar ia. Semakin membesar dan terus membesar. Akan tetapi, bukan tidak mungkin (bahkan sangat mungkin), suatu ketika ia nya pecah, tepat ketika ia sudah sedemikian besarnya. Maka, memilih untuk tidak menggelindingkan bola es adalah lebih baik dari pada merasakan pecahnya bola yang sudah membesar. Itu lebih menyakitkan. Dan itu akan meninggalkan luka lebih lama. Ah, memang tak pernah ada yang salah dengan "sesuatu yang tak perlu disebut", akan tetapi jangan pernah biarkan harapan itu menjadi ikutan dan bahkan mendominasi sebagian besar ruang hati. Jangan pernah melabuhkan harap pada seseorang sebelum benar-benar Allah halalkan. Ya, sekali lagi, sebab ia nya akan menjadi bumerang bagi kita.

Aku tidak sedang mengatakan harapan itu salah loh yah. Juga tak pernah salah, selama harapan itu diserahkan pada Sang Maha Memberikan segala Harap. Yah, cukuplah pada-Nya saja segenap harap itu dilabuhkan. Dengan demikian, harapan itu tak pernah sekalipun menjadi bumerang bagi diri kita. Tak pernah sekalipun diri  kita kecewa dengan segala keputusan-Nya.... Segala keadaan adalah baik adanya, bukankah begitu?

Kadang, kita perlu bersiap diri untuk sebuah kemungkinan terburuk. Tetapi, kita tentu saja tak perlu bersiap diri untuk sebuah kemungkinan yang membahagiakan. Tdapi satu hal yang terpenting adalah, apapun yang terjadi, setiap kejadian itu adalah baik adanya, setidak suka apapun kita terhadapnya. Setidak ingin apapun kita, tetap saja keputusan-Nya adalah sebaik-baik keputusan untuk kita.

_________________
Solok Selatan, 27 Januari 2012
Saat mencoba kembali menulis. Hee.... Terasa 'kago'. Dan juga tak terstruktur dengan baik. Ahh, apapun itu, aku hanya ingin menuliskannya... Meskipun terasa 'kacau' kali ini...hee....

3 comments:

  1. ehm....
    sesuatu yg tak perlu disebut, memang benar22 sesuatu yg tak perlu disebutya theru......
    well. inilah ujian itu....maka ganbatte kokohkan dan kuatkan diri atas apa yg singgah di hati...

    ReplyDelete
  2. suka bgt dg analogi bola saljunya uni :)

    ReplyDelete
  3. @kak jeeend : trima kasih kunjungannya kak jeeend...^^
    qta slg mengingatkan yah kak jeeend.... :)

    dedew, syukran kunjungannya dew...mari kitakembali berbagi cerita...^^

    ReplyDelete

Feel free to accept your comment. Spam comment will be deleted and blocked