Ini bukanlah sesuatu yang perlu engkau baca, kawan. Mungkin tidaklah banyak manfaatnya jika kau baca ini. Sebab, aku hanya sedang memuarakan apa yang kurasakan. Hanya membiarkan jemari menari di atas keybord. Tanpa memunguti begitu banyak hikmahnya. Jadi, mungkin hanya membuang waktumu saja, jika engkau putuskan untuk meneruskan membaca ini. hehe…
Sama seperti sore-sore sebelumnya, hujan di sore ini begitu derasnya. Fluktuatif tapi. Sejenak menggerimis, lalu beberapa saat kemudian kembali menderas. Setelah menunaikan asyar di mushalla FKM, akhirnya kuputuskan untuk pulang saja. Pulang ke kosan. Dan, kuberjalan sore itu, dengan langkah gontai dan pelan. Bukan, bukan sedang menikmati sore bersama sang hujan. Tapi, hanya karena sepatuku yang telapaknya sudah gundul itu sangat berpotensi untuk membuatku kepeleset… Hehe…
Kesendirian bersama payung dan hujan, kadang membuatku begitu melankolik dan cengeng. Menangis tanpa sebab. Padahal, hampir semua orang mengenaliku sebagai sosok yang ceria dan suka tertawa. Kadang lebih iseng lagi, mereka menyebutnya “penghibur”. Aku tentu tak perlu marah dengan sebutan itu, karena nyatanya, ketika kami bersama, suasana tawa itu adalah sesuatu yang tak pernah absen. Tapi, kala kesendirian, mungkin aku lebih banyak menikmati tangis. Dan, itu memang tak banyak orang mengetahuinya. Sedalam apapun permasalahan dan kesedihanku, biasanya tak banyak orang bisa mendeteksinya ketika aku bisa tertawa. Aku adalah orang yang bisa tertawa, bahkan dalam kesedihan sekalipun. Kentaranya hanyalah sebab aku kadang suka mood depending. Ini bukanlah terus menerus. Kurasa hanyalah pengaruh fisiologis saja. Secara fisiologis sih, mungkin bisa diterima, karena pada umumnya (bahkan hampir semua perempuan), moodnya dikendalikan oleh suatu neurotransmitter 5-HT yang menurun drastis per kali sebulan. Itu saja. Ya, itu saja yang bisa merubah cuaca hatiku di hadapan orang banyak. Sisanya, kesedihan apapun itu, bahkan tak merubah sedikitpun bentuk tawaku. Sama cerahnya. Sesedih apapun itu. Tak pernah merubah tawaku. Segalau apapun itu. Juga tak merubah tawaku.
Melewati tikungan jalan yang basah itu, juga membuat mataku basah. Entah mengapa. Aku bahkan tidak mengerti kenapa tiba-tiba aku sangat ingin mengeluarkan air mata. Aku ingin menangis. Ya, aku ingin menangis saja. Mungkin karena aku sedang sendiri. Tidak dengan mereka yang selalu membuat hari-hariku selalu ceria dan penuh tawa. Sebenarnya, bukan juga tanpa sebab. Mungkin, karena aku belum sepenuhnya bisa me-recovery luka-luka itu. Kadang mengering. Kadang basah. Sesembuh apapun luka, tetap saja ia meninggalkan sequele di hatiku. Ini bukan perkara dendam, kawan. Sebab, memang tidak ada satu pun orang lain yang bersalah padaku dalam luka-luka itu. Jika pun ada, aku juga tidak sedang ingin mempersalahkan siapapun. Karena, jika pun ada yang salah, sedari dulu aku sudah memaafkannya. Tapi, begitu sulit untuk kubisa memaafkan diriku sendiri. Sejauh apapun masa lalu, aku kadang tidak bisa begitu serta merta mengusirnya dari ingatanku seingin apapun aku untuk mengenyahkannya. Aku, masih saja membawa sang luka. Dan sebagai akibatnya, aku ternyata begitu trauma dengan luka. Dan sungguh, aku tak ingin lagi terluka. Ketidak-inginan-ku untuk terluka, kadang membuatku begitu takut untuk melangkah. Aku begitu ketakutan ketika harus berhadapan lagi dengan luka yang sama. Ah, aku takut kembali terluka. Mungkin adalah suatu hal yang sangat pengecut, ketika aku mencoba berhenti dan tak ingin jauh melangkah. Sebab, aku begitu trauma dengan luka. Aku begitu takut, ketika banyak tempat dan banyak sudut meninggalkan cerita masa lalu yang sungguh-sungguh sangat ingin aku enyahkan dari ingatan. Sungguh, aku tak lagi ingin mengingatinya, barang secuilpun.
Ah, semestinya luka itu sudah tertinggal begitu jauh. Telah luruh bersama hujan. Dan seharusnya telah lenyap bersama satuan waktu yang berlari sedemikian kencang. Kata orang, waktu adalah obat paling mujarab. Tapi, aku bahkan tak dapat mengkalkulasikan waktu, hendak berapa lama lagikah untuk melenyapkan luka bersama sequelenya itu?
Mungkin memang aku sedang cengeng saja. Sedang ingin menikmati air mata. Sebab, di banyak waktu, aku memang lebih suka menangis ketimbang tertawa. Semestinya, cerita luka bukan lagi cerita-cerita yang aku catatkan di sini, se-trauma apapun aku untuk menghadapi luka. Sebab, aku yakin, bahwa berat beban yang Allah letakkan di pundakku pasti hanyalah sebesar kemampuanku saja. Pastilah takkan pernah melebihi itu…
Sebab Allah telah memberiku kepercayaan untuk mengikuti ujian-Nya ini, maka aku sungguh ingin lulus. Sebab, ini sebuah peluang untuk memasuki kelas yang lebih tinggi. Jika aku tak lulus, maka aku PASTI akan dihadapkan-Nya dengan ujian-ujian yang sama, hingga aku lulus dan mampu melewatinya. Seharusnya aku bersyukur, menjadi orang yang Allah pilih untuk mengikuti ujian ini. Dengannya, Allah berikan aku kesempatan, untuk berlatih lebih keras, tentang banyak hal, apakah itu kesabaran, ataupun kesedihan.
Ah, luka-luka itu hanyalah sebuah kesedihan kecil saja. Begitu banyak hal-hal besar yang seharusnya kuperjuangkan, lebih dari pada sekedar memikirkan luka. Ada cinta-Nya yang begitu ingin kukejar. Aku hanya tak ingin lengah dengan tujuanku yang sesungguhnya hanya karena aku terluka. Luka kecil itu, meski kadang terasa berat… Tapi, ini memang tak seberapa. Mungkin memang aku yang terlalu cengeng menyikapi luka. Ya, luka-luka yang masih ber-sequele ini…
Tetaplah bersemangat wahai diriku!
Assalamu'alaikum...wr wb...
ReplyDeletekak...
ko amel yang patang tu awak basuo kak...
disebabkan oleh alun dapeknyo nomor hape kakak (lupo mananyo waktu tu kak)
jadilah dicari blog ko kak...
ingin manyampaian kalau info tentang S2 tu ndak ado dapek samo mel do kak...
afwan kak...
#maaf kak messagenyo lewat blog =D
wa'alaykumussalaam wr wb....
ReplyDeleteiyo mel ndak baa doh...
syukran yah mel....
'afwan klo smpt merepotkan