bertambah umur, berkurang jatah |
Seperti januari-januari sebelumnya, nuansa dan cuaca hati di Januari senantiasa punya warna yang sungguh berbeda. Tentang bedanya apa, aku pun tak bisa mendefinisikannya. Tapi, selalu saja Januari punya cerita. Cerita tentang penggal-penggal yang menyejarah. Mungkin bukan menyejarah bagi kau, dia, ataupun mereka. Tapi, mungkin bagiku saja.
Cerita kali ini tentang episode seperempat abad. Hari terakhir menghabiskan seperempat abad di atas kesejenakkan dunia. Tentang seperempat abad, selalu saja ada sesuatu yang cukup mengganjali catatan asa yang dulu terukir dalam diari kehidupan. Ya, tentang catatan itu... Catatan yang belumlah menjadi wujud nyata...
Ah, saat ini aku tidak sedang ingin bercerita tentang catatan asa maupun wujud nyata. Biarlah... Biarlah Allah saja yang menetapkannya... Biarlah cinta-Nya saja yang akan mengantarkan kita pada gerbang-gerbang kanvas yang nyata. Bukan sekedar lukisan maya, seperti corat-coretku dulunya...
Hmm...mungkin ceritaku kali ini hanyalah menyoal gelegak rasa. Tentang lisanku yang terlalu kelu untuk menyarakannya, atau tangan yang terlalu kaku untuk menuliskannya. Kali saja demikian adanya... Meski demikian pun, aku tetap ingin becerita. Cerita yang entah kau, dia atau mereka pahami maksudnya. Sebab aku pun perlu mengernyitkan dahi untuk mencoba memahami, bahkan tentang diriku sendiri...
Ah...
Seperempat abad sudah... Ada satu hal yang sungguh ingin kutangisi soal seperempat abad. Tentang sebuah catatan cita yang kutuliskan 7 tahun silam. Limitnya adalah 25. Ya, angka 25 adalah batasan untuk itu, untuk mencapainya. . . Jadi, memang terlambat. Sudah terlambat untuk memanfaatkan golden age itu. Ini yang paling kutangisi. Nyatanya, belum lagi seperempat, bahkan sepersepuluh pun belumlah terlaksana... Dan, masa kian berlari kencang. Meski umur tidaklah serta-merta linear dengan kemampuan mengingat, tapi tetap saja 25 telah terlewati. Dan kini, lag-lagi, aku menyesal. Menyesalnya adalah tentang satuan masa yang terlewat, terbuang amat sangat percuma. Bukan karena waktu itu dibayarkan untuk sebuah kemanfaatan. Astaghfirullaah...
Menyesal saja, tentulah tiada berguna, bukan?
Tidak ada kata terlambat untuk orang-orang yang menyadari keterlambatannya...
Karena aku tak pernah tau, kapan umur terbaikku, maka, sejatinya, setiap tatanan masa yang dilalui, mestilah dilalui dengan seoptimal-optimalnya capaian...
Meski 25 telah berlalu, ketika azzam telah terpancang kuat, maka insya Allah aku BISA! insya Allah aku BISA! Take action or die. Take action or never being a winner.
Selamat jalan masa 25...
Aku ingin menjadi lebih baik, dari aku-aku di seperempat abad lalu...
Itu saja keinginan sederhanaku, di penghujung zona seperempat abad...
0 Comment:
Post a Comment
Feel free to accept your comment. Spam comment will be deleted and blocked