Kesedihan

Seperti biasa, Ahad malam adalah jadwal halaqohnya Ketapunk'ers (kosan kitaa :) ), dan ini bagiku adalah agenda yang sangat menyenangkan. Mirip-mirip agenda Rohis jaman-jaman masih di wisma gitu. Hiks, jadi kangen Wisma'ers niih, Syakuro dan Hurriyah. Tapi bener deh, sepotong episode hidup di wisma benar-benar telah menjadi pembelajaran yang sangat berharga bagiku. Mulai dari hal yang sederhana, hingga hal luar biasa. Belajar berbagi, memahami, bersabar, mendewasakan, mengatasi konflik, mengingatkan, sampai belajar masak (walau aku masih jauh dari baik dan mesti belajar buanyaaaak)  karena ketika setingkat SMP dan SMA aku tinggal di Asrama yang notabene tau beres doang, tinggal makan. Hehe. Maka, bagiku, kehidupan wisma itu adalah kuliah tanpa SKS dan sarat pembelajaran yang tak akan di dapatkan kecuali di wisma itu sendiri. *btw, ko jadi bahas wisma yah? hihi :D

Okeh, back to topic, tentang halaqoh Ketapunk. Pembahasan pekan ini diangkat oleh Riza dengan tema "Kesedihan". Wahh, temanya bikin sedih ya? Hehe, namanya juga "kesedihan". Dan tidak seperti mater-materi sebelumnya, untuk tema ini aku tertarik menuliskan dan mengulasnya di blog. Kalo tidak salah dulu aku juga pernah ngaplod materi yang dibawakan oleh Ayu. Ya, cuma dua tema ini yang aku tuliskan di blog. Heheuu...

Nah, tentang kesedihan itu, di sini dicontohkan dengan kesedihan yang dialami oleh nabi-nabi--yang sama seperti manusia lainnya juga merasakan kesedihan. Dicontohkan pada 4 orang Nabi dan Rasul Allah. Pertama Nuh 'alaihissalaam, yang bersedih karena setelah sekian ratus tahun hanya sedikit pengikut beliau, selebihnya kafir. Nabi Nuh ternyata merasakan kesedihan yang mendalam karena hal ini. Kedua nabi Luth 'alaihissalaam yang sangat bersedih ketika para tetamu beliau datang dan 'diserbu' kaum beliau yang homo bahkan termasuk istri beliau yang menyebarkan berita kedatangan tamu tersebut. Saat itu, beliau merasa bersedih dan merasa tidak punya 'power' untuk melawan serbuan kaum beliau yang brutal dan ganas 'menyerang' tamu beliau. Ketiga, kesedihan Nabi Ya'qub 'alaihissalaam yang bertahun-tahun berpisah dengan anak beliau Yusuf dan setiap hari beliau menangis karena ingin bertemu Nabi Yusuf hingga mata beliau tak lagi dapat melihat. Dan terakhir, nabi Ayyub 'alaihissalaam, yang ditinggalkan istri beliau lantaran sakit berpuluh-puluh tahun.
Dari semua kesedihan yang ada pada sosok-sosok mulia di atas, dapat ditarik satu benang merahnya yaitu :
Bahwa sosok-sosok mulia itu, senantiasa memulangkan dan mengembalikan kesedihan itu pada Allah, Rabb yang Maha Penyayang. Ya, inilah kuncinya, mengembalikan kesedihan itu pada Allah yang jiwa kita ada dalam genggaman-Nya.

Jika sosok-sosok mulia itu yang keimanannya jauh melebihi diri kita, yang kita belumlah apa-apa jika dibandingkan beliau, juga pernah bersedih, apalagi diri kita. Kita pasti juga pernah (atau sering?) bersedih dengan sesuatu yang menimpa diri kita. Akan tetapi, barang kali ini adalah tentang bagaimana kita menyikapi sebuah kesedihan.

Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (Tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan Telah tertulis dalam Kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. (Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri. (Qs. Al Hadiid : 22-23)

Sungguh, tiada sesuatu pun terjadi di muka bumi ini, bahkan semut yang berjalan dalam kegelapan gua, daun yang jatuh, burung yang terbang, apalagi segala sesuatu yang terjadi pada diri kita, sosok yang telah Allah jadikan khalifah di muka bumi ini, melainkan telah Dia catatkan di kitab lauh mahfudz, bahkan sebelum Dia menciptakan kita, jauh masanya sebelum kita ada. Jadi, apapun yang terjadi pada diri kita, sesuatu yang tidak kita ingin, agar kita tidak terlalu bersedih atas itu. Ataupun, segala yang membahagiakan yang bersesuaian dengan ingin kita, agar kita tak terlalu bergembira (berlebihan), hingga sampai melahirkan kesombongan dan ke-arogan-an.

Dalam kehidupan ini, mungkin kita (ya, aku terutama) sering mengkhawatirkan sesuatu. Semisal ada semacam Evidence Base Life kali yah dari kisah-kisah orang-orang sebelumnya, atau bahkan yang juga terlampir dari jurnal-jurnal ilmiah sekalipun yang mendukung 'vonis' terhadap sesuatu yang terjadi pada diri kita, walaupun itu belum benar-benar terjadi, katakanlah baru dugaan, mungkin sering kali kita akan berpikir dan menyikapinya sebagai mana kerangka pikir yang sudah ter-influence dengan Evidence base tersebut. Padahal diri kita adalah kumpulan keterbatasan yang tak pernah dapat mengetahui dengan pasti apa yang terjadi esok, bahkan hanya 1 detik setelah saat ini. Jadi, sesungguhnya satu hal yang harus kita ingat (terutama diriku), bahwa segala sesuatu adalah MUDAH BAGI ALLAH. Jika Dia kehendaki maka pasti akan terjadi. Jika tidak Dia kehendaki, pasti takkan pernah terjadi. Dia telah mengadakan ketentuan bagi setiap sesuatu dan segalanya telah Dia catatkan di lauh mahfudz. Dengan ini, agar kita tak terlalu bersedih dengan apa yang luput dan tak terlalu berbahagia dengan apa yang kita dapat, serta senantiasa berusaha melakukan yang terbaik. Yak, ini pengingat buatku terutama.

0 Comment:

Post a Comment

Feel free to accept your comment. Spam comment will be deleted and blocked