"Satu-satunya penyesalan terberat dalam hidup saya adalah... karena saya memilih bukan sebab agama." Itu curhatan lirih wanita yang hampir 10 tahun beda usianya denganku itu. Aku tahu, bukan solusi yang dia minta dariku. Ia hanyalah memuarakan rasa. Memuarakan gundah. Dia hanya memintaku menyediakan dua kuping untuk mendengarkan keluh kesahnya. Itu saja.
Imbuhnya lagi, "Saat ini, yang saya inginkan adalah mencari ketenangan. Mencari tempat yang tenang. Saya sudah tak sanggup lagi jika harus menghadapi permasalahan rumah tangga yang begitu berat ini. Saya sudah tak sanggup lagi jika harus ditendang, ditampar sampai biru lebam. Saya sudah tak sanggup lagi jika tidak dinafkahi dan cuma mengandalkan gaji saya yang pas-pasan."
Aku cuma bisa menghela nafas. Tak banyak yang bisa kuberikan pada wanita itu, kecuali sepenggal kalimat, "Semangat Mba. Insha Allah mba sanggup hadapi ujian ini."
Kalimat itu kuucapkan dengan getir. Entah benar-benar menyumbangkan segenap spirit. Sepertinya justru aku yang terseret kesedihan wanita dengan wajah sendu dan sorot mata kosong itu.
Imbuhnya lagi, "Saat ini, yang saya inginkan adalah mencari ketenangan. Mencari tempat yang tenang. Saya sudah tak sanggup lagi jika harus menghadapi permasalahan rumah tangga yang begitu berat ini. Saya sudah tak sanggup lagi jika harus ditendang, ditampar sampai biru lebam. Saya sudah tak sanggup lagi jika tidak dinafkahi dan cuma mengandalkan gaji saya yang pas-pasan."
Aku cuma bisa menghela nafas. Tak banyak yang bisa kuberikan pada wanita itu, kecuali sepenggal kalimat, "Semangat Mba. Insha Allah mba sanggup hadapi ujian ini."
Kalimat itu kuucapkan dengan getir. Entah benar-benar menyumbangkan segenap spirit. Sepertinya justru aku yang terseret kesedihan wanita dengan wajah sendu dan sorot mata kosong itu.